Seminggu sudah Olivia berusaha menutupi kehamilannya dari sang suami dan mertuanya. Akan tetapi sepertinya usaha ia seminggu ini akan sia-sia ketika usai sarapan bersama, mual yang ia rasakan kini tidak dapat ditahannya lagi.
"Hoek...Hoek...," rasa mual itu membuatnya langsung berdiri dan berlari kecil ke kamar mandi dekat dengan ruang makan. Melihat apa yang terjadi pada Olivia, membuat ketiga orang yang ada di ruang makan tersebut seketika mematung. Sepertinya mereka sadar akan situasi saat ini, melihat gerak gerik Olivia barusan, membuat Farida memicingkan mata ke arah putra nya. "Jangan sampai apa yang mama pikirkan saat ini benar-benar terjadi Renald!" Ujar Farida. "Kau benar-benar sudah gegabah nak." Sambung Alex yang melihat putranya hanya diam dengan kepala tertunduk. Merasa terpojok dan disudutkan dengan melemparkan semua kesalahan padanya, Renald seketika merasa geram, dengan kuat ia mendorong kursi makan yang masih ia duduki hingga terbalik ke belakang dengan suara keras yang membuat kedua orang tuanya kaget. Renald pun melangkahkan kakinya menuju kamar mandi dimana kini Olivia masih berusaha membuang isi dalam perut yang membuatnya merasa mual, namun hanya cairan bening yang keluar dari mulutnya meninggalkan rasa pahit dan perih di tenggorokannya. Bahkan kini kepalanya mulai terasa pusing, ia pun membasuh mulutnya dan hendak berdiri. Olivia terpekik saat melihat tubuh besar Renald telah berada di belakangnya, dengan raut wajah memancarkan kemarahan. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya nya dengan suara dingin. Oliv yang menyadari aura dingin pada diri suaminya hanya bisa menundukkan kepalanya dengan tangan bergetar memegang ujung gaun yang d kenakannya. "Jawab!" teriak Renald padanya. Olivia pun tercekat dan langsung memandang wajah suram suaminya seraya berkata, "A-aku hamil Ren." gagap olivia. "Apa kau bilang?" Gertak Renald pada Olivia seraya menjulurkan tangannya pada leher Olivia dan langsung mencekik leher halus istrinya dengan kuat. "sa,sa-yang, a-apa yang k-kau lakukan?" Ucapan Olivia yang terbata dan tangan kecilnya berupaya melepaskan cekikan telapak tangan besar suaminya itu. Amarah yang begitu besar, membuatnya seolah tuli dan buta karena tidak menggubris suara Olivia yang sudah tercekat dan wajahnya yang pias hampir membiru. Tangan Renald terlepas saat Alex yang kaget melihat apa yang dilakukan putranya itu menarik kuat tangan Renald dari leher Olivia. "Apa yang kau lakukan hah?", teriak Alex. Farida hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya dengan mata terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka bahwa putranya itu akan kalap dan berusaha membunuh Olivia. Meski Farida tidak menyukai istri anaknya itu, tetapi tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk menghilangkan nyawa seseorang, dua nyawa bahkan, karena ia tahu Olivia pasti sedang hamil. Tak ada seorangpun yang melihat kejadian tersebut berusaha mendekatkan diri pada Olivia hanya untuk sekedar membantunya berdiri atau hanya sekedar menanyakan keadaannya. Selepas kepergian Renald dan kedua orang tuanya, Olivia pun berusaha berdiri dengan tangan yang berpegangan pada pinggiran wastafel dalam kamar mandi. "Ya Allah, Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Ujarnya dengan lirih, dan tanpa mampu menahannya lebih lama, air matanya pun turun membasahi pipinya. Dengan langkah kaki tertatih, Olivia yang masih merasa lemas pada kakinya terus memaksakan diri berjalan menyusuri tangga menuju kamarnya. setibanya di kamar, ia melihat Renald sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Memakai jam tangannya, suaminya itu melirik sinis ke arahnya, dan melangkah menuju keluar. Saat tangannya hendak membuka pintu, gerakannya terhenti dan kemudian tanpa menoleh ke arah Olivia ia berkata, "Mulai detik ini, kau urus semua keperluanmu sendiri. Jangan harap aku akan meluangkan waktuku untuk menemanimu memeriksa janin yang sedang kau kandung itu, Mengerti!" Sentak Renald. Mendengarnya, membuat hati Olivia terasa di tusuk sembilu, sakit, perih, air matanya pun kini tak terbendung lagi, semakin mengalir deras membasahi pipinya. Pintu kamar yang terbanting menimbulan suara yang sangat keras, membuat Olivia terkejut dan tubuhnya luruh seketika ke lantai. "Ya Allah, apa salah hamba? Mengapa semuanya jadi begini." Ujarnya dalam hati. Sungguh Olivia tidak menyangka, bahwa umur pernikahannya yang masih terbilang muda, harus menerima semua rasa pahit ini. Disaat istri yang sedang hamil seharusnya di rawat dan dilindungi, serta penuh curahan kasih sayang, tidak di alami oleh Olivia sedikitpun. Sampai saat ini, ia masih berusaha mencerna dan memikirkan apa yang menyebabkan semua perubahan yang terjadi dalam pernikahannya. Bukan hanya suaminya, namun kehangatan Kedua mertua nya bahkan hilang tak tersisa. "Aku tahu aku istri dan menantu yang tidak sesuai dengan harapan kalian, tapi mengapa tidak menolakku dari awal saja, apa salahku?" Tangisnya kini semakin pecah, tak ada siapapun yang bisa di jadikannya tempat bersandar, kecuali pada Sang Pemilik hati, Sang Pencipta.Olivia memasuki apartemen miliknya sepulangnua dari supermarket, langsung memasuki area dapurnya, ia membereskan seluruh barang belanjaannya kedalam kitchen set dan lemari es. "Huuft,,akhirnya selesai juga." Ujarnya, kemudian membuat secangkir teh hangat karena dirasa dirinya perlu merilekskan tubuh dan pikirannya. Membawa cangkir tehnya, Olivia duduk di ruang tamu. Membuka ponselnya dan mencari beberapa info lowongan pekerjaan, Hingga akhirnya ia menemukan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, sesuai bekal pendidikannya dulu saat kuliah. Namun, hanya ada lowongan sebagai Office girl disana. ia pun tak banyak berpikir, ia akan memgambil jalan itu. tak mengapa ia menjadi Office girl, toh itu pekerjaan baik juga, tidak ada yang salah. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia harus mendapat uang sebanyak-banyaknya agar bisa bertemu kembali dengan sang putra, Keenan. menyeruput teh hangatnya hingga cangkir itu kosong, ia pun berniat membersihkan diri
Tak menyangka, kini Olivia sedang terduduk dalam kursi penumpang di sebuah pesawat. mata nanarnya menatap keluar jendela di sebelahnya. "Semoga langkah yang ku pilih ini sudah tepat, dan selalu dalam lindungan Mu ya Allah." Gumam Olivia dalam hatinya. Memilih Los Angeles sebagai kota tujuannya untuk memperbaiki kehidupannya agar lebih baik lagi. dikenal dengan julukan City of Angels, kota tersibuk di Amerika serikat karena dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Ia sungguh berharap, bekerja di salah satu kota terbesar di Amerika serikat itu mampu membuat dirinya bisa kembali mengambil hak asuh sang putra. Tidak ada dendam dihatinya, karena yang ada dalam pikirannya saat ini adalah sang buah hati yang baru berumur 5 bulan itu. "Semoga jika kau sudah tumbuh besar nanti, kau masih menganggap bahwa ibu masih ada nak". kembali pada realita kehidupannya, begitu tiba di Bandar Udara Internasional Los Angeles, wanita itu sempat kebingungan harus pergi kemana terlebih dahulu.
Hari ini merupakan sidang perceraian pertamanya, masih ada beberapa kali lagi pertemuan. Namun, sulit bagi Olivia dapat memenangkan hak asuh anaknya. Karena, sudah dapat dipastikan keluarga besar mantan suaminya itu sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Terbukti dari tidak adanya keadilan kala hak asuh anaknya sepenuhnya jatuh ke tangan sang mantan suami, padahal tidak ada bukti kesalahan apapun yang dilakukan dirinya sehingga ia harus berpisah dengan anaknya yang baru berusia 5bulan itu. Hingga, tak terasa hari penentuan dirinya resmi menjadi seorang janda terjadi hari ini. Seharusnya ia mendapatkan bantuan Tuan Daniel, pengacara Almarhum Tuan besar Adijaya. namun entah, sosok pria paruh baya itu tidak hadir hingga persidangan terakhirnya ini. "Reyn, kumohon, beri aku keringanan agar selalu dapat bertemu dengan putraku." Pinta Olivia kala mereka telah selesai menjalani sidang perceraian mereka. "Jangan Harap Oliv, kau bilang sangat enggan menerima harta waris
5 Bulan berlalu begitu cepat bagi seorang Olivia, tentu saja hal itu dirasa terlalu singkat untuk kebersamaannya bersama sang buah hati. Selama dalam pengasuhan Oliv, Keenan kecil sangat baik, tidak rewel sama sekali. Mungkin, karena instingnya bersama sang ibunda membuatnya merasa tenang, nyaman dan aman. Begitu pula dengan Olivia, kebersamaannya bersama Keenan membuatnya serasa sangat bahagia, tak ingin semuanya berlalu, tapi apa mau dikata, malang tak dapat ditolak. subuh ini, ia sudah bersiap membereskan semua pakaian dan perlengkapan miliknya. Ia harus menghadiri sidang perceraiannya siang ini di pengadilan agama. Apa yang diucapkan Reynald kala itu benar-benar terjadi, tepat 5 bulan sejak kejadian itu, suaminya benar-benar memberikannya surat perceraian. "kau harus menjadi anak yang kuat nak, ibu akan tetap menyayangi mu tak peduli dimanapun ibu berada." Bisik Olivia pada sang putra yang terlihat sedang tertidur lelap. "ibu harap kau tidak melupakan ibu nak jika suatu
Beberapa menit berlalu, tak terasa putra yang berada dalam dekapan hangatnya itu pun telah tertidur lelap. tersenyum hangat, tangan Olivia membelai lembut pipi halus putra tampannya itu. Tubuh oliv menegang kala mendengar suara teguran dari arah belakang, "Cepat masuk, taruh anak ku di kamarnya." Ucap dingin pria itu, "Reyn, apa, anak kita ini sudah di beri nama?" tanya Olivia pada Reynald, "Jangan, berani, sebut bayi ini anak kita di depan siapapun mulai saat ini. Paham!" Ancam Reynald, "tapi dia juga anak ku Reyn, sampai kapanpun itu, ini adalah darah dagingku, aku yang mengandungnya selama ini dan melahirkannya langsung Reyn!" Geram Olivia, dia merasa ini sudah sangat keterlaluan, putra dalam pelukannya inilah yang ia kandung selama 9 bulan kemarin. "setidaknya biarkan aku yang memberikannya nama pada putra ku Reyn, aku tidak akan meminta lebih." Bujuk Olivia, "Baiklah, ku beri kau waktu 5bulan untuk bisa bersamanya, namun, setelah waktu itu habis, jangan pernah mem
Hari-harinya Olivia kini terasa lebih hampa dari biasanya, perut besarnya kini sudah tidak ada, kegiatannya dalam bekerja memang terasa lebih ringan, tapi langkahnya selalu terasa lebih berat dari biasanya. Sedari subuh ia sudah beraktifitas di paviliun itu, membersihkan segala sesuatunya disana. Saat sedang serius membersihkan area dapur, tiba-tiba suara Lily yang menegurnya membuat kegiatannya terhenti. "Kau disuruh Nyonya untuk membuat sarapan di rumah besar saat ini juga." Ujarnya dengan ketus. "sekarang masih jam 6?" Tanya Olivia, "ya mana aku tau, nyonya besar sendiri yang tadi memintaku memberitahumu." Ucap Lily sambil melangkah keluar meninggalkan Olivia yang masih merasa bingung. Tapi, tanpa berpikir lama, ia pun beranjak dari paviliun itu menuju rumah utama. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah besar itu dari area dapur, sudah terdengar jelas ditelinganya suara tangisan kencang bayi, langkah kakinya sontak terhenti, ia yakin bahwa itu adalah suara anaknya