Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.
Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.
Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.
Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku.
"Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum.
"Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya.
"Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya.
"Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku.
"Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"
Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga.
"Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku.
"Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Tak terasa hari demi hari berganti, bulan demi bulan bertambah, dan tahun demi tahun berlalu, masih tidak ada yang berubah dengan kehidupanku.Sudah hampir empat tahun aku berada di rumah Gus Ibrahim, sikap Mbak Zahra masih sama padaku, dingin dan sinis. Ya sudahlah, aku terima perlakuannya itu, karena usahaku untuk melunasi hutangku pada Gus Ibrahim pun belum terealisasi, namun aku yakin, pada saatnya nanti tuhan akan kabulkan doaku untuk pergi dari rumah ini entah dengan caranya yang bagaimana, karena sejuta usaha dan doa selalu aku panjatkan untuk bisa keluar dari rumah ini tanpa beban hutang dan dosa.Kini usia Aisyah sudah 16 tahun. Dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan juga Salehah. Sekolah di sekolah Islam favorit dengan pendidikan full day school, dan dengan prestasi yang membanggakan.Begitu juga dengan Umar dan Usman diapun tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar, dan rajin belajar.Sementara bayi mungil yang dilahirkan Mbak Zahr
Akhirnya operasi transplantasi ginjal pun dilakukan, aku dan Aisyah melakukan puasa selama kurang lebih delapan jam sebelum operasi ini dilakukan.Dalam kegugupan, aku mencoba menenangkan diri, menenangkan pikiran, memasrahkan semua pada tuhan, agar operasi ini dapat berjalan lancar.Dengan Rahmad dan ridho Allah akhirnya operasi ini pun berjalan lancar. Alhamdulillah tubuh Aisyah dapat menerima ginjal yang telah aku donorkan.Dan saat ini aku masih berada di rumah sakit, di atas bad kamar pasien untuk pemulihan paska operasi.Kulihat Gus Ibrahim dan Mbak Zahra masuk ke dalam kamarku."Bagaimana keadaanmu?" tanya Mbak Zahra dengan ramah padaku."Aku sehat kok mbak, sudah lebih baik," kataku pada Mbak Zahra dengan tersenyum, seraya berusaha bangkit untuk duduk tegak dari posisiku yang semula berbaring.Saat ini aku memang merasa sehat meskipun hidup dengan satu ginjal. Kalaupun aku masih dirawat di rumah sakit, itu karena jahitan di pe
Hari terus berganti, kini aku telah selesai diwisuda. Aku telah menjadi sarjana dan aku telah siap untuk mengamalkan ilmuku."Nak, adikmu Asyifa, sudah ada yang melamar, bagaimana menurutmu?" tanya ibu saat kami berdua makan siang."Alhamdulillah, diterima saja bu jika Syifa setuju," jawabku."Kamu bagaimana?" tanya ibu dengan menggenggam tanganku. "Masak adikmu melangkahi kamu untuk menikah dulu," lanjutnya."Ibu, ibu lupa kalau aku sudah pernah menikah," jawabku. "Aku bahagia jika adikku sudah ada yang menghitbah, aku juga senang jika ada yang ingin segera dihalalkannya," jawabku sembari tersenyum.Ibuku terlihat membalas senyumku."Ibu, jika nanti Asyifa jadi menikah, acara pernikahannya, sederhana saja ya, jangan sampai ibu menghutang lagi!" kata Alifah dengan menyentuh tangan ibunya."Iya," sahut ibunya dengan mengangguk."Tapi, bagaimana dengan kuliah Asyifa bu, dia kan masih semester dua?" tanyaku."Kata nak Iqbal
Hari demi hari telah berganti, sudah satu Minggu Ustadz Mirza menjadi direktur di yayasan tempatku mengajar.Kuakui aku tidak pernah bertemu dengan beliau karena memang ruangan tempat kerja kita yang berbeda, ruang kerja Ustadz Mirza ada di gedung utama yang berdekatan dengan ruang tata usaha, staf keuangan, dan staf administrasi yang lainnya.Sementara ruang kerjaku ada di gedung belakang bersebelahan dengan gedung sekolah bersama dewan guru yang lainnya."Ustadzah Alifah, dipanggil bapak direktur!" kata salah seorang ustadz yang baru masuk ruang guru, saat aku sedang mengerjakan penilaian lembar tugas siswa."Ada apa ya ustadz Yusuf?" tanyaku sedikit penasaran bercampur rasa cemas."Mungkin mau dikasih bonus bu," sahut Ustadz Yusuf teman sejawatku dengan meringis menggoda.Aku bergegas beranjak dari kursiku, dengan rasa cemas aku berjalan menuju ruang direktur pendidikan yayasan ini."Assalamualaikum!"Aku beruluk salam seray
Seperti biasa aku selalu datang lebih awal di sekolah ini, mungkin karena tempat kostku dekat dengan sekolah, selain itu aku masih lajang, dan tidak punya tanggung jawab mengurus keluarga seperti teman-temanku yang lain."Assalamualaikum Ustadzah Alifah!" sapa Ustadz Yusuf ramah.Aku yang saat itu tengah duduk di meja kerjaku mempersiapkan bahan ajar untuk murid-murid, hanya tersenyum menanggapi sapaannya."Dijawab dong salam saya ustadzah!" katanya dengan lebih mendekat ke mejaku."Ustadzah, awas lo! Ustadz Yusuf itu pinter ngegombal!" seru salah seorang ustadzah yang juga sudah ada di ruangan ini.Aku yang saat itu mendengar seruannya seketika menoleh sembari menggangguk."Salam saya belum dijawab lo ustadzah," kata Ustadz Yusuf lagi."Waalaikum salam," sahutku."Ustadzah, saya ini kagum sama Ustadzah Alifah, meskipun cantik, pintar, tapi sangat sederhana, dan bukan wanita materialis."Kata-kata Ustadz Yusuf seketika m
Hari itu telah berlalu, pagi ini seperti biasa aku sudah sampai lebih awal di sekolah."Ustadzah Annisa sudah dari tadi?" tanyaku saat melihat Ustadzah Annisa yang sudah duduk manis di kursinya."Kemarin-kemarin saya sering telat, nggak enak ditegur kepala sekolah," sahutnya."Ooo...""Eh, gimana hubungan kamu dengan Ustadz Yusuf, kayaknya Ustadz Yusuf suka dengan ustadzah?"Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Ustadzah Annisa. Dan tak lama setelah kami berbincang, tampak Ustadz Yusuf masuk ke dalam ruangan kami."Assalamualaikum Ustadzah Alifah!" sapanya dengan melangkah mendekati mejaku."Waalaikum salam," jawab aku dan Ustadzah Annisa."Ustadzah Alifah, semakin hari semakin cantik ya?" puji Ustadz Yusuf dengan nada bercanda."Semua wanita itu memang cantik, Ustadzah Annisa juga cantik," sahutku."Iya, aku juga cantik kata suamiku," celetuk Ustadzah Annisa."Bukan begitu maksud sata Ustadzah Annisa,