LOGIN
Merebut Hati Sang Direktur
*** "Transfer aja, Bun. Kasian," ucap suami, yang membuat darahku makin mendidih! Transfer dari Hongkong! Dipikir nyari duit gampang! Nganggur aja banyak gaya! "Ya itu, kamu punya duit nggak?" Itu kan adeknya, ya kali harus aku juga yang bayarin! "Adekku ya adek kamu juga, Bun. Jangan pelit-pelit ah, kita ini suami istri. Kamu wajib bantu keluarga aku," katanya lagi, yang membuatku bertambah mual. "Ok, dia emang adekku juga. Tapi, si Mila ini udah nikah. Ya dia mintalah sama suaminya, jangan ke aku teruuuus!" Aku berdecak kesal, dipikir aku banting tulang pagi pulang malem buat ngehidupin mereka?! "Tapi, suaminya itu belum kerja, Bun. Ayolah, itu barang CO jumlahnya cuma ratusan, nggak akan sebanding sama gaji kamu." "Gak peduli! Aku nggak mau bayarin barang CO si Mila, urus aja sama suaminya. Kenapa aku yang dikejar terus? Kalau kamu kerja, dan kamu yang mau bayarin silakan!" Aku bangkit, lama-lama begini membuat hidupku menjadi tak nyaman. Dari mulai Ibunya, Bapaknya, sampai ke adeknya kepengen banget dinafkahin! Untuk Ibu Bapak sih ok, tapi, untuk si Mila dan suaminya ya buat apa? Mereka masih muda, masih bisa bekerja. Aku juga punya kebutuhan! "Bun, ayolah kamu jangan kayak gitu. Aku pinjem dulu deh, nanti biar aku ganti kalau udah kerja." Mas Arfan terus mengikutiku, begitu semangat dia kalau untuk urusan keluarganya! "Kerja apa? Kamu jangan kebiasaan manjain mereka, Mas. Kamu ini pengangguran sekarang, harusnya mereka ngerti jadi nggak usah banyak nuntut!" Jantungku berdetak tak karuan, bisa-bisa aku mati muda! Pantas saja aku susah punya anak, ternyata aku disibukkan dengan hal yang begitu membuat hidup tak lagi nyaman. "Aku pinjem sejuta, Bun. Janji, pas aku kerja lagi aku ganti," rengeknya lagi, dengan mengatupkan kedua tangan. "Dari ratusan, sekarang jadi jutaan. Minjem terus, kapan ngembaliinnya?" "Kamu kenapa jadi pelit gini sih, Bun? Pantes kita susah punya anak, ternyata kamu yang kayak gini!" "Loh, kayak gini gimana sih? Kenapa kamu jadi bahas masalah anak? Dengan sikapmu yang begitu membuatku semakin nggak ingin, meminjamkan bahkan memberi untuk adekmu yang satu itu. Udah sana keluar, aku mau tidur!" "Argggggggh." Suamiku tampak frustasi, bahkan ia menutup pintu dengan suara yang cukup kencang. Shit! Semua ini gara-gara si Mila! Bocah ingusan itu emang bener-bener bikin rumah tanggaku nggak nyaman! Netraku baru saja akan tertutup, saat kudengar bunyi suara mobil. Hendak ke mana dia malam-malam begini? Bawa mobilku pula? Ish, sial aku lupa mengamankan semua yang berkaitan dengan milikku. Aku takut, Mas Arfan sampai melakukan hal yang tak terduga. Aku tahu betul, Mas Arfan itu sangat sayang keluarga. Saking sayangnya, lupa sudah punya istri. Selama bekerja, dia tak pernah memberiku nafkah lahir. Semua gajinya habis untuk keluarganya, dia selalu bilang, aku tak butuh uang darinya, sebab, aku punya gaji yang lebih besar. Lalu, apa gunanya kami menikah? Ini sih, jadi kayak dia numpang hidup ke aku. Sedangkan uangnya untuk keluarga sendiri, pernikahan macam apa ini?! Kuelus perutku, kalau begini keadaannya lebih baik aku nggak usah punya anak. Aku saja tersiksa, gimana nanti anakku. Apalagi si Mila, dia sedang mengandung. Aku yakin, perhatian Mas Arfan akan jauh lebih besar pada anak adiknya. Dan dia akan sukarela menelantarkan anak kandungnya sendiri, inilah hidup begitu kejam! *** "Lima puluh juta itu duit Bu, banyak loh. Aku mana ada!" Si Mila yang mau bikin acara, kenapa aku yang diteror? "Pinjem dulu, Nes. Nanti juga kalau suaminya si Mila kerja, pasti dibayarin. Kamu tahu nggak? Heru itu pekerja keras, dia juga lulusan sarjana. Jadi kamu nggak perlu takut," ungkap mertua, dengan kelihaiannya dalam berbicara. "Mau buat acara tujuh bulanan doang, Bu. Kenapa harus ngabisin budget sebanyak itu? Bikin acara sederhana aja sih, undang keluarga juga beres." Muak muak rasanya! "Masa bikin acara sederhana sih, kan ada kamu, Nes. Kamu itu Sekretaris Direktur, lulusan Sarjana terbaik kan? Ibu tahu kok, gaji kamu tuh gede." Kalau pun gede, itu uangnya buatku sendiri! "Kasih aja, Nes. Kasihan Ibu," senjata Mas Arfan, kembali menguar. Aku menghela nafas panjang, ini orang pada nggak ngerti bahasa Indonesia kali ya? Aku bilang nggak ya nggak! "Itu tabunganku, Mas. Buat kita juga kedepannya, bukan untuk acara Mila. Kita udah terlalu sering dibebankan hal seperti ini, jujur aku capek!" "Ini gimana sih, Arfan? Kok, istri kamu jadi pelit?! Cuma lima puluh juta aja susah, gimana minta. Minjem aja nggak dikasih," cecar mertua, yang begitu marah. "Makannya sekali-kali kamu tuh ikut pengajian, biar tahu dosanya seorang menantu bila menyakiti hati mertua!" Mulai deh ceramah! Aku juga tahu, aku kerja tapi, ilmuku nggak seminim itu. Mentang-mentang jilbabku, nggak selebar beliau! "Udahlah, Ibu mau pulang! Sakit hati Ibu!" teriaknya, berlalu dengan menghentakkan kaki. Syukurlah, kenapa nggak dari tadi. Bikin pagiku runyam saja! "Tega kamu, Nes!" Ini lagi anaknya, pasti dia sibuk menenangkan hati Ibunya. Hati yang nggak boleh tergores sedikit pun, ibarat kaca kudu dijaga bener-bener. Terserah kalian! Aku juga punya mimpi, meski belum punya anak. Aku juga ingin punya simpanan, siapa yang tahu kehidupan besok. "Pantas saja istrimu itu mandul, sikapnya ya begitu. Durhaka!" Deggg. Astagfirullah, entah kenapa bila disinggung perihal anak. Hatiku terasa tercubit, siapa yang nggak ingin punya anak? "Udah ibu pulang dulu, nanti aku kabari kalau uangnya udah ada." "Bener ya, Arfan? Ibu, tunggu. Kasihan adikmu, dia sudah mengundang orang sekampung. Maklumlah, anak pertama. Kamu kapan nyusul adekmu, Fan? Kasihan Ibu tuh sama kamu." Wow, ngundang orang sekampung? Apa nggak salah? Tujuh bulanan doang, mengalahkan orang yang mau nikahan. Ini sih gila! Bener-bener nggak ngotak! "Kamu dengerkan tadi? Kirim ya uangnya, jangan sampai orangtuaku malu. Kamu tahu sendiri, Bapak itu amat disegani." "Kenapa harus aku sih? Kan si Mila juga punya mertua, kenapa nggak minta ke mereka sih?" "Mertua Mila itu gak sekaya kamu, Nes. Ayolah kamu jangan pelit-pelit, aku bisa aja ninggalin kamu kalau kamu susah diatur kayak gini!" Netraku membeliak kaget, apa katanya? Dia mau ninggalin aku? "Kalau kamu mau ninggalin aku, demi mereka Silakan! Pintu ini terbuka lebar. Aku nggak mau lagi nampung suami pengangguran!" "Bun!" "Lepasin!" Malam itu Mas Arfan terus mengejarku, seolah tak ingin kehilanganku. Padahal dia sendiri yang ingin pergi, selama ini cintanya terhadap keluarga lebih besar dibanding aku istrinya! ***Merebut Hati Sang Direktur (5)***"Masih sore, udah tidur aja kamu, Mas." Aku mengendikan bahu, ia tampak membelakangiku. Capek kali ya, abis acara tujuh bulanan? Pasti badan remuk, mungkin acaranya lebih mirip ke pesta nikahan kalau aku nggak salah nebak."Kasihan aku sama Ibu, abis acara bukannya seneng. Utang malah di mana-mana," katanya, membuatku terkikik pelan. "Kamu seneng, Ness? Bisa-bisanya!""Ya gimana nggak? Aku bahkan udah pernah bilang, tujuh bulanan tuh biasa aja. Nggak usah yang heboh gimana-gimana," sahutku, merasa puas mendengarnya.Andai aku ada di acara itu, setidaknya aku bisa menyaksikan wajah-wajah keluarga Mas Arfan yang panik, hahhahaa."Ini soal harga diri, Ness. Kamu nggak akan ngerti, percuma punya banyak duit kalau cuma buat ditimbun. Dosa kamu, nggak bantuin mertua!" Mas Arfan menatapku nyalang, apa katanya dosa?!"Aku bahkan baru sekali ini aja nggak bantu kamu, Mas. Tapi, kamu bicara seakan aku nggak pernah bantu." Miris!Aku melipat kedua tangan di d
Merebut Hati Sang Direktur (4)***"Oh really? First time loh, anaknya Pak Direktur mau diatur begitu." Reina tampak antusias, usai mendengar penuturanku pagi ini."Maybe, dia lagi capek aja nggak sih? Kemarin tuh aku cuma ngasih makanan yang dia suka, terus aku juga nggak banyak omong. Takut dianya nggak nyaman, dia lebih banyak main gadget sih." Aku pikir, anak kecil itu fotocopyan Bapaknya banget. Jadi akunya yang harus paham, kapan masuk. Kapan cuma diam aja ada untuk menemani, meksipun lelahnya bukan hanya di fisik aja kemarin tuh."Ness, andai aja kita berdua tuh masih single. Kita sama-sama bersaing buat dapetin hatinya Pak Direktur, aaaaaaah gemeees." Aku mendelik heran, Reina masih saja menggatal!"Dan untungnya, kamu udah punya laki! Udah deh nggak usah halu!" Capek banget tiap hari, harus ngeladenin omongan-omongan Reina yang kadang di luar nalar itu.Aku dan Reina berpisah, kembali pada ruangan masing-masing. Hari ini aku harus lebih fokus lagi, nggak peduli dengan perdeb
Merebut Hati Sang Direktur (3)**"Sepet banget liat muka Direktur kita," ucap Reina sembari berjalan menuju kantin."Udah biasa itu, kenapa juga masih dibahas?" Aku tak mau ambil pusing, yang penting kerjaan beres gaji lancar."Ya iya sih, Nes. Padahal dia itu cakep pake banget, tinggal ditambahin senyum dikit bikin cewek tambah klepek-klepek." Aku terkikik, Reina ini ada-ada saja.Aku nggak mau bikin masalah apapun sama Direktur yang satu itu, juteknya memang bikin kesel. Jangan lupa dia juga terus bergonta ganti Sekretaris, dan sepertinya aku yang paling lama menghuni tempat itu."Aku sih sampai hari ini masih heran sama kamu, Nes." Usai memesan kami duduk di kursi paling ujung, menikmati suasana istirahat."Heran kenapa?""Kamu nggak ada rasa tertarik gitu sama Sang Direktur? Udah cakep, tajir, duda, ya walaupun ada anak sih satu. Tapi, bisalah diatur." Dahiku mengernyit bingung, lagi-lagi Reina mempertanyakan hal yang sama."Kalau kamu suka, yaudah suka aja sendiri, Rei. Nggak us
Merebut Hati Sang Direktur (2)***"Tadi Ibu bilang, katanya kamu nggak usah hadir di acara tujuh bulanannya Mila!"Degh!Apa-apaan ini?!"Ibu terlanjur kecewa sama kamu, Nes. Sebagai menantu kamu dinilai nggak bisa membahagiakan hati mertua!" Aku meneguk ludah, apakah aku berkewajiban membahagiakan hati mertua hingga harus membuat tabunganku melorot?!Aku menghela nafas panjang. Jadi, aku betul-betul tak diinginkan di acara tersebut?!"Baik, jika itu yang Ibu inginkan. Aku nggak akan datang," sahutku, kembali menikmati tontonan televisi yang sedang berlangsung.Jantungku berdegup lebih kencang. Sejujurnya aku ingin marah, semarah-marahnya. Namun, energiku sudah habis. Kerjaan di kantor, dan beban yang begitu berat. Membuatku tak ingin kembali menguras tenaga!"Kamu tahu? Ibu, sampai harus minjem ke rentenir demi keberlangsungan acara Mila. Hal yang sebelumnya nggak pernah Ibu lakuin," ucapnya lagi, dengan nada yang mulai meninggi. Dahiku mengernyit, oooh jadi beliau sampai segitunya
Merebut Hati Sang Direktur***"Transfer aja, Bun. Kasian," ucap suami, yang membuat darahku makin mendidih!Transfer dari Hongkong!Dipikir nyari duit gampang!Nganggur aja banyak gaya!"Ya itu, kamu punya duit nggak?" Itu kan adeknya, ya kali harus aku juga yang bayarin!"Adekku ya adek kamu juga, Bun. Jangan pelit-pelit ah, kita ini suami istri. Kamu wajib bantu keluarga aku," katanya lagi, yang membuatku bertambah mual."Ok, dia emang adekku juga. Tapi, si Mila ini udah nikah. Ya dia mintalah sama suaminya, jangan ke aku teruuuus!" Aku berdecak kesal, dipikir aku banting tulang pagi pulang malem buat ngehidupin mereka?!"Tapi, suaminya itu belum kerja, Bun. Ayolah, itu barang CO jumlahnya cuma ratusan, nggak akan sebanding sama gaji kamu.""Gak peduli! Aku nggak mau bayarin barang CO si Mila, urus aja sama suaminya. Kenapa aku yang dikejar terus? Kalau kamu kerja, dan kamu yang mau bayarin silakan!"Aku bangkit, lama-lama begini membuat hidupku menjadi tak nyaman. Dari mulai Ibuny







