Share

Raka Sakit

Tak mau membuang banyak waktu, aku bergegas ke pasar dengan naik ojek yang mangkal di depan gang.

Begitu sampai, kubayar ojek dengan uang pas. Tempat pertama yang kutuju adalah penjual bumbu.

Kupesan apa yang sudah terdaftar di catatan belanja yang tadi diberikan ibu mertua. Bawang merah, bawang putih, lombok, tomat, berbagai macam bumbu, sayuran seperti kentang, wortel,buncis dan lain-lain.

Alhamdulillah pasar sedikit sepi karena sudah agak siangan. Setelah dirasa semua bahan dan keperluan untuk masak besok sudah terbeli akupun pulang.

****

Kurang beberapa meter dari rumah aku mendengar suara bayi menangis kencang. Dan aku mengenali suara itu. Iya itu suara Raka, anakku.

"Gimana Raka bisa jatuh, Mbak?" Lihat ini kepalanya benjol," kata Bulek Ida.

Hatiku juga sempat bertanya, seingatku sebelum pergi sudah aku beri guling disisi kiri kanan juga bawah anakku. Apa karena dia sekarang sudah bertambah aktif. Ah ... entahlah.

Lekas aku berlari menghampiri Raka yang menangis kencang. Bulek Ida menggendongnya dengan sesekali mengusap kepalanya.

"Kamu udah nyampe, Nai? Cuci tangan dulu habis dari pasar," perintah Bulek Ida.

Aku yang panik hampir lupa mencuci tangan, rutinitas yang selalu aku lakuin setelah keluar rumah.

"Kenapa Raka bisa jatuh, Bu? Apa Ibu tidak menengoknya selama aku tinggal?" tanyaku sesaat setelah menggendong bayiku.

Aku takut jika terjadi apa-apa dengan Raka.

" Gak usah lebay deh, udah biasa bayi jatuh begitu," kata Ibu sewot. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Dia malah terlihat santai.

"Ibu menyuruhku pergi ke pasar tapi tak mau menjaga bayiku. Jelas saja aku marah jika terjadi apa-apa sama Raka," ucapku sambil menangis.

Mungkin karena kekecewaan yang menumpuk aku jadi seemosianal ini.

"Mbak, jangan kurang ajar sama ibu ya, ingat kamu disini itu cuma numpang," sela Irda yang dari tadi cuma diam aja.

"Bagaimana aku gak marah, kalau posisi kita dibalik bagaimana. Yang punya acara siapa yang repot siapa." ucapku tegas.

"Tapi menjaga bayiku saja kalian tidak mau, Raka juga bagian dari keluarga kalian!" Dan satu lagi aku disini karena keinginan suamiku," teriakku tak terkendali.

" Udah, Nduk ... tenangin diri kamu. Ini minum dulu, kamu pasti haus to." Bulek Ida mencoba menenangkanku.

Aku minum segelas air yang disodorkan Bulek sampe tandas. Rasa haus yang tadi kurasakan seketika hilang.

" Sabar ya, Nduk ... semoga aja Raka tidak apa-apa. Udah kamu mending tenangin Raka di kamar kasihan dia pingin minum asi sepertinnya," saran Bulek.

****

"Tumben Raka tidurnya nyenyak banget," batinku sesaat setelah kutinggal sebentar untuk mandi.

Biasanya aku mandi dengan kilat karena khawatir jika meninggalkan putraku terlalu lama sendirian. Jika kebetulan ada Bulek Ida, aku lebih suka menitipkan kepadanya daripada kepada ipar atau mertuaku.

"Sayang ... nyenyak banget sih," bisikku pelan di telinga bayiku sambil membelai pipi gembulnya.

Dan kenapa pipi Raka terasa panas. Sejenak kuraba kening dan seluruh tubuhnya. Iya memang badan Raka panas saat ini. Apa karena jatuh tadi ya, batinku.

Sebaiknya aku membawa Raka ke dokter setelah Mas Ikhsan pulang nanti. Dengan gelisah aku menunggu kedatangannya hingga hampir maghrib belum ada tanda-tanda dia pulang.

Kucoba menghubungi ponsel Mas Ikhsan dan diangkta olehnya."Halo?" suara di seberang sana.

"Halo, Mas. Kenapa belum pulang? Raka badannya panas, tolong anterin aku ke dokter ya ...." pintaku.

"Naila, aku masih di luar gak tau balik jam berapa. Kamu minta anterin Bapak atau siapa dulu gitu," jawabnya.

Terdengar suara Mas Ikhsan di tengah keramaian. Sedang dimanakah dia? Ah ... nanti saja aku bertanya, sekarang urusan Raka lebih penting.

Sesaat sebelum menutup telepon, aku mendengar ada seorang wanita berbicara dengan suamiku," Mas, siapa yang telepon, istrimu ya? Baru terlambat bentar udah dicari ...." selorohnya dengan ketawa cekikikan.

Deg!

Suara siapakah itu? Sedang bersama siapa suamiku saat ini? Apakah ada hal yang lebih penting daripada anak kami? Seketika rasa curiga membuat hatiku panas.

Apa Mas Ikhsan sedang bersama Vanya? Bukankah ini sudah diluar jam kerja. Berbagai pikiran buruk mulai berkelebat di dalam pikiranku.

Oek ... Oek ... suara tangis Raka menyadarkanku dari lamunan. Saat ini yang terpenting adalah anakku. Masalah Mas Ikhsan aku akan menanyai dia nanti.

****

Tanpa banyak kata lagi, aku mencari ayah mertua untuk mengantarku ke klinik terdekat.

Setelah menunggu beberapa saat, tiba nomer antrianku. Aku masuk dan menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi pada bayiku hingga dia deman.

"Bu, anak saya demam setelah tadi terjatuh dari tempat tidur," jelasku pada Bu Dokter yang sedang menangani Raka.

"Coba saya periksa dulu anaknya ya, Bu," kata dokter itu lembut.

"Bayinya tadi sempat muntah atau tidak, Bu?" lanjut Bu Dokter.

" Tidak, Bu. Cuma menangis aja mungkin karena kesakitan," jelasku

"Bayi Ibu tidak apa-apa. Gejala demam ini wajar sebagai respon rasa sakit yang dialami bayi saat terjatuh." Demikian penjelasan Dokter.

Akupun bisa bernafas dengan lega. Setidaknya tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan.

"Ini saya kasih obat untuk panas dan pereda nyeri ya, Bu? " imbuhnya.

"Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu," pamitku dan Dokter itu mempersilahkan dengan tersenyum ramah.

****

Raka tertidur pulas usai kuminumkan obat. Tak lama terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Aku yakin itu itu motor suamiku.

Sesaat dia memasuki kamar dan menaruh tas kerjanya di atas nakas. Saat dia hendak mencium Raka, aku mencegahnya.

"Bersihkan dirimu dulu, Mas? Siapa tahu ada virus yang kau bawa dari luar rumah." Tatapan mataku tajam menatap bola matanya.

"Dek ... aku--"terbata Mas Ikhsan berkata.

Kusela ucapannya," Bersihkan dirimu dulu," pintaku.

Dengan menghela napas panjang dia berlalu ke kamar mandi. Tak berapa lama suamiku itu kembali dengan tubuh yang sudah segar.

"Dek, tadi aku--." Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya lagi aku memotongnya. Sebenarnya aku sudah sangat geram hanya dengan melihat wajahnya. Tapi aku harus bisa mengendalikan diri.

"Kamu sudah makan, Mas?" tanyaku masih tetap dingin.

"Sudah tadi dengan Vanya." Mas Ikhsan berkata spontan dan lalu menutup mulutnya.

Sepertinya dia keceplosan. Dan aku hanya bisa menggelengkan kepala.

"Bisa ya kamu makan saat belum tahu bagaimana kondisi anakmu?" kataku.

"Aku berusaha menghubungimu agar lekas pulang karena Raka sakit. Tadi siang dia terjatuh dari tempat tidur waktu aku tinggal pergi ke pasar atas perintah ibumu," lanjutku berang.

"Bagaimana bisa dia jatuh, kamu ceroboh Naila." Mas Ikhsan malah balik menyalahkanku.

"Tanya pada ibumu bagaimana bisa putraku terjatuh."ucapku.

"Jangan selalu menyalahkan ibuku," balas Mas Ikhsan.

"Lalu kenapa dia menyuruhku tapi tidak mau menjaga Raka. Di sini aku selalu salah, Mas. Apapun yang aku lakukan salah. Mereka bilang aku gak boleh marah hanya karena aku numpang di sini. Kalian tahu bagaimana perasaanku saat ini?"Teriakku padanya tak tertahan.

"Dan iya ... kenapa kamu memilih tetap bersama temanmu Vanya saat aku bingung karena anakmu sakit?"

"Eh itu ... dia memintaku mengantarnya mencari makan. Sekalian jalan pulang kerja." jelasnya.

"Apa kamu gak bisa menolaknya, Mas? Apa dia lebih penting daripada anakmu? Setidaknya kau bisa memikirkan Raka jika sudah tidak ada aku di hatimu." Emosiku tak tertahan.

"Dek, aku hanya kasihan dengannya. Cuma itu dan kamu jangan mikir macam-macam," ucapnya.

Dia berusaha merengkuhku dalam pelukannya. Aku tak bisa menolaknya seketika aku manangis meluapkan emosiku dalam pelukannya.

"Kau selalu ada di hatiku, dek. Jangan pernah bicara seperti itu lagi." bisik suamiku.

Biasanya aku selalu luluh dengan rayuannya. Tapi kenapa sekarang sisi hatiku sulit untuk mempercayainya.

Ting!

Ting!

Ting!

Ponsel mas Ikhsan berdering tanda ada panggilan masuk. Saat dia mau mengangkatnya sepintas aku lihat tertera nama Vanya di layarnya.

"Bentar aku terima telepon dulu, dek," ucapnya seraya menjauh dariku.

"kenapa lagi dengan perempuan itu," batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status