Mas Ikhsan berjalan keluar dan mengangkat ponselnya. "Halo ... iya ada apa, Van? "Maaf sepertinya aku gak bisa keluar lagi. Anakku sakit." ucap Mas ikhsan dengan lawan bicaranya. Setidaknya aku bisa bernafas lega. Mas Ikhsan tidak lagi menuruti permintaan temannya itu.**** Tok! Tok! Tok! Kami yang sedang rebahan di ranjang saling menoleh. Kira-kira siapa yang bertamu di jam 9 malam. Saat Mas Ikhsan hendak beranjak, ternyata Irda sudah membukakan pintu terlebih dahulu. Rupanya adik iparku itu masih menonton televisi bareng Ibu Mertua. Ibu Mertua mengupas bawang merah dan bawang putih, mungkin akan dibuat masak untuk pengajiannya besok. Aku sengaja tak membantu karena Raka lebih membutuhkanku. Suami Irda memang jarang di rumah di jam-jam segini. Dia lebih suka nongkrong bersama temannya diluar. Hampir tengah malam dia baru pulang. "Maaf ganggu malam-malam, Mas Ikhsannya ada?" "Ada, Mbak. Silakan
"Nak Vanya, cantik sekali ... gamisnya juga bagus," ucap Ibu Mertua. "Terima kasih, Bu ...," jawab perempuan itu malu-malu. Setelah itu Irda dan Mbak Ima bergabung bersama Vanya dan Ibu. Entah apa yang mereka obrolkan terlihat seru sekali hingga melupakan aku yang juga anggota keluarga ini. Bapak Mertua datang menyerahkan Raka padaku. Bocah itu tersenyum sumringah kala melihatku. Saat ini dialah pelipur laraku. "Naila, temani Vanya di sini saja ya karena sebentar lagi banyak tamu berdatangan di depan." ucap suamiku basa-basi. "Kau tidak perlu khawatir, Mas. Dia sudah mendapatkan banyak teman," jawabku sambil menatap ke arah Vanya dan kedua iparku. "Seharusnya kau bisa seperti dia agar bisa diterima keluargaku," imbuh Mas Ikhsan. Aku mengernyit menatap Mas Ikhsan. Apa maksud dari perkataannya itu. Aku harus cantik? Atau aku harus berpenghasilan supaya bisa diterima keluarganya? Begitukah. "Jika aku menjadi seperti dirinya,
Adzan subuh membangunkanku dari tidur nyenyakku. Kulirik bayi mungilku ternyata dia masih tertidur lelap. Lekas menuju ke kamar mandi mengguyur tubuh dengan air dingin dan mengambil wudhu. Dua raka'at aku tunaikan, setelah itu kumengangkat tangan di hadapan Penciptaku. Aku berdoa kepadanya agar diberikan petunjuk untuk keberlangsungan rumah tanggaku. Meminta kepadaNya agar dibukakan apa yang selama ini tertutup, dijelaskan apa yang selama ini masih samar. Aku yang lemah agar diberikan kekuatan dan keikhlasan. Puas telah mencurahkan isi hati kepada Yang Maha Pendengar, aku lanjutkan aktifitas pagiku.**** Entah energi darimana aku dapatkan, dengan semangat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa merasa berat. Kumasak makanan kesukaan Ibu Mertua. Sayur lodeh, perkedel jagung, dan ikan goreng. Setelahnya kubersihkan bekas peralatan masak. Saluruh rumah kubersihkan dan lantai pun terlihat sudah berkilau. Anggap saja ini baktiku untuk
Ya Allah ... kuatkan aku. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan suamiku bermesraan dengan perempuan lain. Kuhirup udara sebanyak mungkin, tak mau kelihatan lemah di hadapan mereka. Vanya duduk diatas pangkuan suamiku, saling berpelukan dan mereka berci*man. Kubuka pintu semakin lebar dan tanpa ragu aku masuk ke dalam. Tak kupedulikan baju yang basah karena air hujan. Kuambil high heels yang ada di lantai lalu melemparnya ke arah mereka. Aarghh!! Dengan serta merta pasangan laknat itu melepaskan diri. Vanya berteriak kesakitan karena wajahnya kuhantam dengan sepatunya sendiri. Mas Ikhsan tak percaya aku ada di depannya. Matanya melotot seperti melihat setan. Tanpa banyak kata aku maju ke depan dan menamparnya dengat sekuat tenagaku. Plak! "Itu untuk pengkhianatanmu, Mas!" ucapku. "Dek--," belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menambahinya reward sekali lagi. Plak! "Dan ini untuk harga diriku,"
Plak! Tanpa kuduga Ibu Mertua menamparku keras hingga ujung bibirku berdarah. Sakit sekali, namun lebih sakit lagi hati ini. Suamiku hanya diam tak berusaha melindungiku. Bapak mertua yang melihat tindakan istrinya, serta merta menjauhkannya dariku. Takut dia akan berbuat lebih. "Jangan main pukul anak orang, Bu," ucap Bapak. "Dasar mantu gak tahu diri! Beraninya kau memfitnah anakku, hah?!" teriak Ibu dengan pandangan nyalang. "Kenapa kau berani mengangkat tangan pada anak orang lain, Bu? Bahkan ibu kandungku sendiri tak pernah melakukan ini. Tanyakan pada anakmu yang bersih ini apa yang telah diperbuatnya," tanyaku dengan pandangan nanar. Percuma aku menjelaskan panjang lebar padanya. Hanya kebencian yang ada di mata Ibu Mertuaku. "Maaf Pak, sepertinya hanya Bapak yang menganggap aku manusia di rumah ini. Aku pamit membawa Raka bersamaku malam ini juga," jelasku. "Naila, aku mohon ... kita bisa bicara dulu," pinta
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, setelah sholat subuh beranjak ke dapur untuk membantu Mbak Nisa menyiapkan sarapan. Ternyata Mbak Nisa sudah di sana dan sedang asyik menyeduh teh. "Udah bangun, Nis? Ini Mbak buatin teh hangat buat kamu dan Mas Azam. "Ngrepotin aja, Mbak. Ini pisangnya apa mau digoreng, aku bantu ya?" tanyaku. "Eh iya ... gak apa-apa kalau kamu mau bantu gorengin. Biar Mbak Nisa bikin nasi goreng buat sarapan aja ya," ucapnya. Kami pun asyik dengan pekerjaan masing-masing. Tak butuh waktu lama semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mas Azam sudah duduk menunggu kami. Sambil minum secangkir teh hangat, dia memintaku bercerita tentang apa yang terjadi pada rumah tanggaku. Kuceritakan semuanya mulai dari awal hingga akhir. Bahkan perlakuan Ibu Mertua dan Saudarinya pun tak ketinggalan. Mereka mendengarkan dengan seksama. Sesekali kakakku menghela nafas panjang dengan ceritaku itu. "Apa menu
POV Vanya Akhir-akhir ini aku mengagumi teman kerjaku, Iksan. Di saat lelaki lain berlomba untuk mendekatiku, dia malah terlihat cuek terhadapku. Aku mulai sering mengajaknya bicara, meminta pertolongan darinya tapi tetap saja dia bersikap biasa saja denganku. Bahkan jika makan siang tiba, aku sering mengajaknya menemaniku untuk makan di luar. Awalnya dia selalu menolak, tapi aku terus memohon kepadanya hingga dia mengiyakan permintaanku. Meskipun begitu, tak ada tanda-tanda dia menaruh hati padaku. Benar-benar kesal aku dibuatnya. Hingga hari itu suamiku mengusirku dari rumah karena melihatku sedang bermain api dengan Rudi teman kerjaku. Jujur dengan Rudi aku hanya bermain-main karena aku perlu memuaskan diriku sendiri. Tak peduli dia suami orang. Dan Iksan pria yang membuatku penasaran. Akan aku lakukan apapun untuk bisa bersamanya. Dengan alasan yang tepat, aku mengutarakan padanya untuk membantuku mencari kos yang dekat dengan rumahnya. Tak perlu waktu lama aku mendapatka
Hari ini aku mengajak Rani- saudara sepupuku yang masih gadis-berbelanja bahan crafter ke pasar induk. Selain harganya lebih murah, bahan yang tersedia juga lebih lengkap. Aku memilih semua bahan yang diperlukan. Mulai dari pita satin, pita organsa, bahan stoking, dan masih banyak perlengkapan lain yang diperlukan. Puas berbelanja banyak bahan yang diperlukan, aku mengajak Rani untuk mengisi perut di rumah makan dekat pasar. "Banyak banget belanjanya ini, mbak?" ucap Rani. "Sebenarnya ini masih kurang banyak, Ran. Tapi gak apa-apa sebagian nanti pesan lewat online aja,"jawabku. "Nanti begitu tiba di rumah, Mbak mau langsung bongkar dan rapikan. Besok bisa langsung eksekusi," ucapku. "Besok ke rumah pagi ya, biar Mbak bisa ajarin kamu," lanjutku. "Siap, bosku," jawab Rani sambil tertawa.**** "Raka rewel gak, bu? tanyaku pada Ibu yang menjaga Raka. "Alhamdulillah anakmu anteng, paling nangis kalo buang air atau min