Share

Mყ ɱαιԃ, My future Wife
Mყ ɱαιԃ, My future Wife
Penulis: Noona Nani

1. Bad start

Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam.

"Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal.

"Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel.

Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.

Di area luar Bandara.

Azel dan Rose duduk bersandingan di kursi yang terbuat dari besi yang diapit pilar beton. Keduanya sedang menunggu Go Car yang sudah di pesan Rose.

Bermenit-menit menunggu, Azel mulai resah karena ia ingin segera pergi dari tempat itu. Azel menarik rambut merah panjangnya ke depan, guna menutupi wajahnya. Ia takut jikalau tiba-tiba ada paparazi lewat, maka mereka tidak akan mengenalinya.

Di saat bersamaan, di dalam bandara ada sekelompok orang yang membawa kamera sedang mencari keberadaan Azel. Beruntung sekelompok paparazi itu tidak menyadari keberadaannya, dan melanjutkan pencarian yang sia-sia di dalam bandara.

"Lama banget sih mobilnya?" Azel mulai lesu karena menunggu. Meskipun ia tipikal orang yang sabar, tapi menunggu selama itu tentu membuatnya lelah.

"Itu mobilnya." Rose menunjuk mobil sedan hitam, yang sedang berjalan melambat mendekati arah mereka.

Mobil sedan hitam yang mengkilap itu berhenti di depan keduanya. Seorang supir laki-laki mengenakan setelan jas hitam turun dan membukakan pintu penumpang.

Tanpa basa-basi, Azel dan Rose bergerak menarik koper masing-masing, lalu berjalan mendekati mobil sedan. Azel masuk ke dalam mobil lebih dulu, sementara Rose memasukkan koper mereka ke bagasi.

"Terima kasih," ujar Azel ramah kepada supir, sebelum ia memasuki mobil.

Azel sedang duduk di kursi penumpang dengan anggun saat seseorang tiba-tiba datang dan berteriak padanya.

"Turun!" perintah laki-laki yang tiba-tiba muncul.

Azel menoleh ke sumber suara. Ia menangkap wajah laki-laki yang berdiri dengan gagah di luar mobil. Dilihat dari tampang dan tampilannya, jelas jika laki-laki ini jauh lebih tampan dan berkelas dari supir tadi.  

"Siapa kamu?" tanya Azel ramah.

"Turun!" perintah laki-laki itu lagi dengan nada yang sudah naik satu oktaf.

Azel merengut, ia kesal jika seseorang dengan sengaja mengabaikan perkataannya. Dan lagi, punya hak apa laki-laki ini? sampai-sampai berani memintanya untuk turun dari mobil yang sudah ia order lebih dulu. Dengan nada yang sama, ia berkata: "Aku tanya kamu siapa?" Azel ingin memastikan jika pria ini bukanlah paparazi.

"Punya status sosial apa kamu? sampai berani bertanya siapa saya," timpal laki-laki itu sombong. 

Keluar suara decakan dari mulut Azel. "Saya ini ar," artis internasional lanjut Azel dalam hati. Untung saja ia ingat untuk berhenti bicara, jangan sampai indentitas yang dengan mati-matian dia tutupi malah dibongkar sendiri olehnya.

"Ar-ar apa? huh?" tanya laki-laki itu jengah. "Turun kamu, keluar dari mobil sekarang juga! Nggak usah banyak bacot!" Kini Laki-laki itu marah.

"Nggak mau turun, nggak mau keluar juga. Lagian ini mobil udah saya pesan duluan, punya hak apa kamu nyuruh saya turun?" Kini Azel juga disulut amarah karena laki-laki itu terus-menerus memintanya turun dari mobil dengan sangat kasar. Sampai mati pun ia tidak akan mengalah dan patuh dengan perkataan orang asing yang tidak punya sopan santun ini.

Laki-laki itu tertawa. Jenis tawa yang merendahkan. "Sejak kapan mobil pribadi saya menjadi mobil sewaan?" Tangannya berpegangan pada pintu mobil, tubuhnya merunduk, wajahnya mendekati wajah Azel yang ada di dalam mobilnya. Lalu ia berkata dengan sinis, "Dan lagi, apa kamu pikir supir online di luaran sana mampu membeli mobil mewah seperti punya saya ini?"

Azel meneguk ludahnya dengan susah payah. Bukan karena terintimidasi, melainkan karena jarak wajah keduanya terlalu dekat, hanya satu jengkal tangan. Dari jarak itu, ia dapat melihat betapa tampannya laki-laki ini. Sungguh definisi dari pria tampan dan mapan, dambaan semua wanita di dunia.

"Bukannya jawab, malah bengong. Hei! ... saya tanya mau berapa lama lagi kamu menatap wajah saya?"

Perkataan laki-laki itu membuyarkan lamunan Azel, lalu ia berkata. "Aku nggak akan turun! terlepas dari ini mobil kamu atau bukan. Karena saya sudah naik, kamu harus antar saya sampai rumah." Azel menebalkan muka saat mengatakan itu. 

Laki-laki itu mengalah, ujung matanya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Ia menyesal telah membuang banyak waktunya untuk berdebat. "Karena saya hampir telat, kamu boleh ikut saya." Laki-laki itu masuk ke mobil. Gerakannya memaksa Azel untuk bergeser ke samping, bahkan tanpa diminta.

"Jalan." Laki-laki itu berkata seolah-olah ia adalah raja yang dengan satu kata dapat menggerakkan seluruh bawahannya.

Azel merasa malu sekali saat ini. Siapa yang sangka jika mobil yang ia naiki sekarang bukanlah mobil pesanan Rose. Melainkan mobil pribadi milik laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Pantas saja Pak supir itu bersetelan jas rapi, ternyata supirnya orang kaya.

Beberapa saat kemudian.

Sial! 

Umpat Azel dalam hati. "Dimana Rose?" pekiknya tanpa disengaja, karena baru sadar jika bukan Rose yang sedang duduk di kursi depan melainkan laki-laki yang tampak seumurannya. 

Laki-laki berjas itu menoleh Azel dan berkata "Maksud anda wanita rambut pirang sebahu tadi?" 

Azel mengangguk sebagai jawaban.

"Saya memintanya turun saat kita masih di bandara tadi." 

"Apa?!"

Azel terkekeh. Jemarinya mengusap lembut wajah glowing-nya. Bagaimana bisa ia melupakan sepupunya?

Rasa khawatir segera memenuhi kepala Azel, tanpa melihat keluar jendela terlebih dahulu, ia meminta Pak supir untuk menepikan mobil. Sayang si supir tidak merespon bak orang tuli. Dengan berat hati Azel memohon kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya itu.

Lalu laki-laki itu melambaikan tangannya.

Hebatnya, hanya dengan satu tangannya itu terangkat, supir itu langsung menurut.

Mobil sudah berhenti di tepi jalan. "Cepat turun!" ujar Laki-laki di sebelah Azel, sudah dapat dipastikan jika dia lah bosnya.

"Baik! turun ya turun, nggak perlu marah-marah. Galak banget jadi laki-laki. Aku berharap nggak punya jodoh kayak kamu, kasar!" Azel menekan satu kata terakhirnya. Ia membuka pintu, dan lekas bergerak keluar dari mobil itu.

"Terima kasih," ujar Azel sopan dengan senyuman tipis. Meski laki-laki ini galak terhadap dirinya, mengucapkan 'terima kasih' harus tetap ia lakukan sebagai orang yang punya tata krama.

"Sama-sama." Laki-laki itu mengukir senyuman lembut, menambah satu tingkat lagi nilai ketampanan-nya di mata Azel.

"Aku harap kamu nggak akan menyesal sudah berkata demikian." Tangan laki-laki itu menarik pegangan pintu mobil sampai pintunya tertutup rapat. Pak supir segera melajukan mobilnya, tanpa menunggu diperintahkan.

Semenit kemudian.

"Kesel!" Azel mengumpat, hampir semua kata-kata kasar ia sebutkan dan ditujukan untuk laki-laki tadi, dia pria kasar dan tidak punya hati.

Bagaimana tidak marah, gadis cantik itu diberhentikan di jalan tol. Ia di tinggal sendirian di sana. Tidak ada satupun mobil yang mau berhenti, walaupun ia sudah mencoba menghentikan mereka.

Azel menghela nafas kasar. Ia sadar bahwasanya jika dirinya sedang di jalan tol, supir bodoh mana yang mau berhenti hanya karena diberhentikan olehnya. 

Jika laki-laki tadi orang baik, seharusnya dia mengingatkan dirinya jika mereka sedang di jalan tol. Azel menyesal, karena sempat kagum akan wajah tampan laki-laki itu. Percuma saja punya wajah tampan rupawan jika hatinya tidak sebaik wajah malaikatnya itu. 

"Sial!!!" umpatnya keras.

"Aku harap Rose lebih beruntung dari aku." Azel menyerah. Ia membuka sling bag yang melingkar di pundaknya dan mengambil ponsel dari dalamnya. Ponsel yang baru ia beli beberapa hari yang lalu itu juga tidak berpihak padanya, dayanya habis. Bisa-bisanya daya baterai ponselnya habis di saat-saat Azel sangat membutuhkan kegunaan benda itu.

Azel merasa kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya ia lebih dulu khawatir pada dirinya sendiri sebelum mengkhawatirkan orang lain.

Berjam-jam Azel menyusuri trotoar jalanan tol dengan berjalan kaki. Meski sesekali ia sempat duduk berjongkok untuk istirahat sebentar.

Saat ia berhasil keluar dari neraka itu, Azel berdiri di tepi jalan untuk menghentikan sebuah taksi. Taksi berhenti di depan Azel dan tanpa basa-basi ia segera masuk ke mobil. "Green House Village bangunan nomor satu," ujarnya pada Pak supir taksi dan mobil itu segera melaju ke tempat tujuan.

Azel merasa terselamatkan oleh kesejukan udara di dalam taksi. Beruntung cuma kulit wajah dan lengannya kebawah saja yang gosong karena terpapar sinar matahari. Kalau ia mengetahui hal ini akan terjadi, tentu saja dirinya akan mengenakan jaket atau hoodie dari pada kemeja berlengan setengah ini. Ia juga bersyukur karena hari ini ia memakai sepatu kets dan bukannya high heels seperti biasanya. Kalau tidak, mungkin betisnya sudah meledak sekarang, karena high heels.

Beberapa jam kemudian, taksi yang dinaiki Azel sudah memasuki gerbang kediaman orang tuanya. Taksi berhenti di depan pintu utama.

Karena tidak punya uang tunai, Azel berniat untuk membayar supir taksi via transfer bank mobile. Tetapi ia baru sadar jika ponselnya habis daya. Azel pun bertanya "Bisa tunggu sebentar nggak pak?"

"Maaf, Bu?" tanya pak supir belum paham.

"Saya nggak ada uang kes, apa bapak bisa tunggu sebentar? saya akan masuk untuk mengambil uang dan kembali lagi untuk membayar ongkos taksinya," jelas Azel merendah.

"Bisa, dari pada Ibunya nggak bayar." Supir itu terkekeh di akhir.

Azel ikut tertawa kecil. "Kalau begitu, tunggu sebentar ya Pak." Azel melihat supir itu mengangguk sebagai jawaban. Azel pun bergegas turun dari mobil dan memasuki rumah.

"Selamat datang, Nona Azel." Sebelas pelayan di kediaman itu berdiri membentuk 2 barisan dan menyambut Nona mereka dengan serempak.

Azel berhenti sejenak untuk menanggapi mereka. "Iya, terima kasih atas sambutan kalian." Azel meneruskan jalannya untuk mencari keberadaan orang tuanya. 

Tapi baru dua kali melangkah, ia kembali berhenti di tempatnya dan tersenyum kepada pria paruh baya di ujung barisan yang juga sedang melihatnya.

"Pak Ahmad, dimana Bunda?" tanyanya kepada laki-laki yang menjabat sebagai Kepala pelayan di rumah orang tuanya.

"Ada di ruang keluarga, Nona," jawab Kepala pelayan.

"Oke! terima kasih." Azel tersenyum lalu berjalan menuju ruangan keluarga, ia ingin segera meminta uang untuk membayar ongkos taksinya.

***

Ruangan keluarga berada di sebelah kiri ruangan TV. Sofa hitam serta meja kaca mengisi ruangan itu, tiga lemari kayu jati berisi buku dan foto-foto keluarga disusun sampai membentuk kotak, lalu terciptalah ruangan keluarga itu. 

Ayah, Ibu dan kakak laki-laki Azel ada di sana. Begitu juga dengan Rose yang baru datang dan bergabung.

"Kenapa kamu pulang sendirian? Dimana Azel?" tanya Arumi kepada Rose yang baru saja duduk di sofa.

"Nggak tau, Bun. Tadi aku dan Azel salah naik mobil, terus waktu aku disuruh turun dari mobil, ternyata Azel malah di bawa sama mobil itu." jawab Rose kepada bibinya. Ia sudah beberapa kali menelepon Azel, tapi sepertinya ponsel sepupunya itu kehabisan daya, mati.

Mereka sekeluarga merasa khawatir kepada Azel. Takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada puteri mereka.

Sebagai Ayah yang begitu menyayangi putrinya, Satrio pun segera memberikan perintah untuk mencari Azel. "Azka, ajak Pak Sarwan dan anak buahnya untuk mencari adik kamu. Hari ini juga Azel harus ketemu. Kalau perlu! minta bantuan polisi," tutur Satrio tegas. 

"Baik, Yah. Aku jalan dulu," Azka pamit kepada istrinya, Liona. Sebelum ia bangkit dan pergi dari ruangan itu.

Beberapa saat setelah kepergian Azka.

Arumi menatap sang suami dan berkata dengan cemas. "Kalau sampai besok nggak ketemu ... bagaimana kita bisa bertemu Pras dan istrinya untuk membahas pernikahan Azel."

"Pernikahan siapa, Bun?!" 

Suara Azel menggema dan menyita perhatian semua orang untuk melihat ke arahnya. Ia dan Azka baru tiba di ruangan keluarga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status