Share

Sarapan yang Berisik

Matahari yang semakin tinggi di luar mengembalikan kesadaran Wilona secara perlahan. Cahaya terang yang menyelinap di balik tirai membuat mata wanita itu mengerjap.

Silau dan hangat. Itulah kesan sesaat yang ia rasakan. Sebelum bagian kosong di samping akhirnya menyadarkannya.

“Arjuna!” Wilona memekik kaget. Tempat yang semalam masih dipenuhi dengan kehangatan tubuh Arjuna kini kosong, bahkan sudah terasa dingin.

Mendadak perasaan cemas menggerayangi hati Wilona. Terlebih saat ia menatap seluruh ruangan, dan batang hidung putranya sama sekali tidak bisa ditemukan. “Jangan-jangan mereka berbuat sesuatu pada putraku.”

Tak sempat menunggu detik beralih, Wilona segera menyingkap selimut. Langkah besar diambil, dengan terburu-buru ia membuka pintu sambil meneriakkan nama sang anak.

“Arjuna! Arjuna!” panggilnya seraya terus melangkah menyusuri lorong yang terlihat asing.

Apakah ke kiri atau ke kanan. Wilona tidak sempat berpikir, kemanapun kakinya pergi, ia hanya berharap segera menemukan Arjuna.

Rumah besar dengan banyak ruang kosong membuat Wilona semakin kewalahan. Ia betul-betul panik, bagaimana jika orang-orang itu membawa pergi Arjuna?

“Sial! Bagaimana aku bisa tertidur pulas seperti orang mati?” keluhnya, mengutuk diri sendiri.

Namun menyesal pun tiada arti, ia harus segera menemukan Arjuna, atau setidaknya seseorang dari rumah itu.

“Arjuna!” Pandangan Wilona mengedar dari sudut ke sudut. Sedangkan kaki terus berjalan mengikuti insting. “Arjuna! Mama di—”

Mendadak langkahnya berhenti. Jika benar, telinganya menangkap suara samar-samar dari satu arah. Apakah itu terdengar seperti orang yang bersenang-senang?

Semakin Wilona mengikuti asal suara, bukan hanya obrolan yang terdengar tambah keras, melainkan aroma susu hangat juga ikut menguap di udara.

Ah, benar. Harusnya ia mengecek tempat yang diketahui lebih dulu. Saking paniknya, dapur dan ruang makan sampai terlewat dari kepalanya.

“Arjuna!”

Bocah lelaki yang tengah menggigit roti menoleh. “Mama?” sapanya. “Mama sudah bangun? Mau sarap—”

“Arjuna ….” Namun Wilona tak sempat menunggu sang anak menyelesaikan kalimat. Ia yang kadung lega langsung memeluk Arjuna. “Syukurlah. Mama pikir kamu tidak ada di sini.”

Meski ekspresinya masih bingung, anak itu tetap membalas pelukan sang mama. Sambil memberikan tepukan kecil, ia berkata, “Aku tidak kemana-mana, Ma.”

Wilona mengangguk-angguk. Lega sekali rasanya mendapati Arjuna baik-baik saja.

Sementara di sisi meja yang lain, Arshaka yang kebetulan juga tengah sarapan hanya menatap dengan ekspresi tidak banyak berubah.

“Kau takut aku akan menjual anakmu?” ucap pria itu.

Sontak Wilona terbelalak. Matanya menatap tajam ke arah pria yang terlihat lebih santai dari pengangguran.

Melihat itu, sudut bibir Arshaka terangkat. “Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apapun, selama kamu bersikap baik di sini.”

Tak ada kata yang keluar, wanita itu hanya memberikan picingan mata seolah-olah tak percaya dengan apapun yang muncul dari mulut rentenir seperti Arshaka.

Sampai-sampai, Wilona tidak sadar jika putranya mulai gerah terdiam cukup lama dalam pelukan.

“Mama. Aku mau makan,” ucap Arjuna.

“Oh!” Wilona terperanjat. Ia segera melepaskan lengan dari tubuh sang anak. “Benar. Habiskan sarapanmu.”

Anggukan kecil diberikan, anak itu tampak riang.

Namun saat Arjuna kembali berbalik menghadap meja, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. Jika hidungnya tidak salah, aroma yang tercium dari Arshaka dan sang mama sama.

“Apa kalian mandi bersama?” 

Wilona tertegun, begitu juga dengan Arshaka yang langsung menghentikan gerakan pisau di tangan.

Sementara Arjuna, kening anak itu terlihat semakin terlipat. “Kalian semalam mandi bersama, kan?” tanyanya dengan sikap curiga. “Mama dan Om Arshaka baunya sama. Kenapa kalian tidak mengajakku mandi bersama?!”

“Eh?” Wilona mendadak panik. Reaksi bingung antara menenangkan Arjuna atau mengendus baunya lebih dulu membuatnya terlihat sedikit lucu. “Apa yang kamu katakan? Mana mungkin mama dan Om Arshaka mandi bersama?”

“Tapi bau kalian sama.” Arjuna mulai mengendus ketiaknya sendiri. “Kan, cuma aku yang tidak bau wangi di sini!”

Ludah di dalam mulut Wilona mendadak terasa kering. Bagaimana bisa anaknya tiba-tiba tantrum mempermasalahkan bau seperti itu?

“Arjuna, dengar.” Suara Wilona sengaja dibuat tegas. Dengan begitu, Arjuna akan menaruh perhatian padanya. “Mama dan Om Arshaka tidak mandi bersama. Kami hanya menggunakan sabun yang sama. Paham?”

“Benarkah?” Wajah yang tadinya cerah, kini berubah suram. Bahkan bibir Arjuna sekarang turun.

Wilona segera mengiyakan. “Benar. Tidak boleh bagi orang dewasa mandi bersama.”

Seolah-olah belum puas hanya mendengarnya dari sang mama, Arjuna menoleh. Kali ini tatapannya seakan meminta penjelasan dari pria di seberang meja.

“Apa yang ingin kamu dengar, Bocah?” ucap Arshaka dengan sikap acuh.

“Benar yang mamaku katakan, Om?”

Arshaka yang awalnya tidak terlalu ingin terlibat, sekarang berubah pikiran. Alisnya terangkat, kemudian bertanya, “Yang mana maksudmu? Benar mamamu dan aku tidak mandi bersama. Kalau itu soal orang dewasa yang tidak boleh mandi bersama ….” 

Pria itu sengaja memberi jeda untuk melihat bagaimana reaksi Wilona.

Benar saja, wanita di seberang meja sudah mendelik, mengancam agar Arshaka tidak mengatakan hal aneh di depan Arjuna.

Melihatnya membuat hidung Arshaka melebar menahan tawa. Sementara di samping Wilona, Arjuna masih menunggu jawaban selanjutnya.

“Sebenarnya orang dewasa boleh mandi bersama kalau mereka pas—”

Glubrak!

Wilona sengaja menendangkan kakinya ke meja, berharap Arjuna tidak mendengar kalimat terakhir yang Arshaka katakan.

“Mama oke?” tanya Arjuna sedikit panik. Bagaimana tidak, suara benturan barusan terdengar sangat renyah di telinga.

“Itu pasti sangat menyakitkan,” timpal Arshaka. Namun untuk pihak yang menyampaikan simpati, bukankah ekspresinya terlalu menyebalkan?

Benar, tulang kering Wilona terasa nyeri. Ia sedikit menyesal membenturkan kaki alih-alih benda mati di sekitarnya.

Tak mau menanggapi Arshaka, wanita itu hanya menoleh pada sang anak. Senyum terpaksa ditampilkan. Sambil mengangguk, ia berujar, “Mama oke. Cepat habiskan makananmu.”

Beruntung, Arjuna tumbuh menjadi anak yang penurut. Tanpa banyak tanya, anak itu segera menghabiskan sarapan seperti yang mamanya minta.

Kemudian, sarapan yang sedikit berisik itu berakhir setelah susu di gelas Arjuna habis.

Wilona segera membawa Arjuna untuk mandi. Sementara Arshaka yang juga ada urusan pagi itu ikut berdiri.

Wajah pria yang dua detik lalu masih terlihat menahan tawa, kini berubah garang seketika.

“Pras!”

Pras segera mendekat. “Ya, Bos?”

“Ganti semua sabun yang ada di rumah ini. Tidak ada yang boleh menggunakan sabun yang sama denganku ataupun wanita itu. Mengerti?”

Meski sedikit terkejut dengan permintaan Arshaka, Pras tetap mengangguk dan langsung menghubungi seseorang untuk mengganti sabun di rumah itu.

***

Di sebuah gedung tinggi di pusat kota. Seorang pria babak belur duduk bertumpu lutut menghadap pria garang dengan tongkat kayu selalu di tangan.

“Kau bilang sudah tidak punya apa-apa untuk membayar hutang?” tanya pria yang duduk di kursi dengan nada mengintimidasi.

Pria yang tubuhnya gemetar menahan rasa takut dan sakit mengangguk. “Maafkan saya. Saya akan melakukan apapun, tapi tolong jangan bunuh saya.”

“Apa yang bisa kau lakukan? Bahkan tubuhmu tidak berguna untukku. Kecuali jika kau punya penawaran seorang wanita cantik yang bisa kau berikan, aku akan mempertimbangkan nyawamu.”

Sesaat keheningan menerpa. Namun tak lama, pria yang di sudut bibir terluka mengangkat wajah dengan senyum percaya diri. “Kalau itu, saya bisa membawanya. Apa wanita dengan anak satu tidak masalah?”

Senyum licik dan puas tergambar di wajah pria garang. “Selama tubuhnya bagus, aku tidak masalah.”

“Saya yakin Anda akan menyukainya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status