Gerald menatap intens gadis yang berdiri di hadapan nya itu, pria itu mengamati sebentar lalu mengangguk.
“Duduklah, apa kau tidak lelah berdiri dan hanya menatapku?” Gerald memberi isyarat pada Amora, membuat gadis itu duduk dengan gerakan sedikit canggung. “Kau tidak bersikap dingin karena keterlambatanku bukan?” tanya Amora sekali lagi, meyakinkan perasaan nya sendiri karena takut membuat suasana hati pria itu memburuk. Bisa kacau rencana yang sudah disusun itu jika tidak mendapatkan bantuan dari Gerald. Gerald mengangkat satu alisnya dengan ekspresi bertanya, “Kenapa kau berpikir seperti itu?” “Ya, kupikir kau adalah musuh tunanganku dan aku juga penasaran apa yang membuatmu mau bertemu denganku berdua dan ….” Amora melihat sekeliling, “Di tempat seperti ini.” “Kau terlalu meremehkan profesionalitas, Nona.” Gerald terkekeh, kemudian menyodorkan segelas whisky yang baru saja dia tuangkan pada Amora. “Minum?” tanya Gerald dengan nada menawarkan. “Tentu saja, mengapa harus kutolak?” Amora mengambil gelas itu dari tangan Gerald, kedua nya mendentingkan gelas berisi Whisky dan meneguknya sampai habis. Wajah gadis itu seketika memerah dan dirinya tersedak sedikit. Gerald hanya memperhatikan saja, bertanya-tanya sampai kapan gadis di depannya ini bisa bertahan. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Amora dengan sedikit canggung. “Kau cantik. Apa salah aku mengagumi kecantikan yang dikirim Tuhan?” Gerald tersenyum tipis menatap semburat merah yang muncul di pipi Amora, entah itu karena ucapannya atau karena gadis itu mulai mabuk. “Wow, ternyata Tn.Gerald tidak semenyeramkan kata orang. Kau bahkan bisa memuji wanita dengan kata-kata semanis itu.” Amora berkata dengan tidak jelas, sekarang wajah nya sangat merah dan Gerald bisa memastikan bahwa gadis itu telah mabuk. Amora menundukan kepalanya, menatap heels merah menyala yang melekat di kakinya. Gerald memperhatikan gadis itu, dahinya mengerut saat melihat bahu gadis itu bergetar. “Amora... kamu nangis?” Amora tidak bergerak, berusaha menyembunyikan wajahnya. “Aku... aku cuma capek,” gumamnya lirih. Gerald tak menjawab. Ia hanya menunggu. Butuh waktu satu menit sebelum suara Amora pecah lagi. “Kamu pernah dikhianati?” Gerald mengangkat alis. “Aku pernah... Tapi kurasa tidak seburuk kamu.” Amora tertawa kecil, getir. “Aku... mati, Gerald. Beberapa tahun kemudian di kehidupanku sebelumnya.” Gerald diam. Menatapnya penuh tanya, tapi tidak menyela. “Aku mati karena dua orang yang paling aku percaya—Ken dan Angel.” Suaranya mulai goyah. “Dia suamiku... dan dia sahabatku.” Gerald membeku. Amora menatap lurus ke depan, seolah semua itu terpahat di langit malam. “Aku pernah mencintai Ken sepenuh hatiku. Bodohnya, aku pikir kami akan bersama sampai tua. Tapi dia … dia dan Angel menyiksaku secara perlahan. Bukan dengan pukulan, tapi dengan pengkhianatan. Dengan racun yang tak terlihat.” Amora mengusap air matanya, namun tak bisa menghentikannya. “Aku tahu... mereka ingin aku mati. Dan aku mati, Gerald. Dalam versi hidupku yang pertama. Tapi entah bagaimana, aku hidup lagi. Terlahir kembali. Dan saat aku membuka mata, aku tahu—aku diberi kesempatan kedua. Untuk balas dendam.” Gerald menghela nafas pelan. “Dan kamu baru saja menceritakan semua itu... ke pria yang baru kamu temui lagi.” Amora tersenyum lelah. “Lucu, ya? Aku bahkan nggak tahu kenapa aku bisa cerita semua ini ke kamu.” “Karena mungkin kamu lelah menyimpannya sendirian,” sahut Gerald pelan. “Dan kamu butuh seseorang... yang nggak terikat masa lalumu.” Hening lagi. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena luka itu masih terlalu dalam untuk dijelaskan. “Aku nggak minta kamu percaya. Aku tahu ini kedengaran gila,” ucap Amora. “Aku percaya,” jawab Gerald cepat. “Dan kalau kau butuh bantuan... aku di sini.” “Jadi Amora, bantuan apa yang kamu butuhkan dariku?” Gerald menatap mata Amora dengan tatapan teduh, pria itu menahan diri agar tidak membawa Amora ke dalam dekapannya. Amora menoleh padanya, matanya merah karena tangis. “Aku …, bantu aku membuat Ken menderita, bantu aku untuk membalaskan dendamku.” Keadaan menjadi hening setelah ucapan Amora. Gerald menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia menatap Amora lalu bertanya, “Sudah jam 11 Amora, ingin kuantar pulang?” ___ Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai jendela, menerpa wajah Amora yang masih tertidur pulas di atas ranjang queen-size bernuansa putih gading. Nafasnya teratur, tetapi dahinya mengernyit seolah dalam mimpi buruk. Ketika sinar itu makin menyengat mata, kelopak matanya perlahan terbuka. “Aduh…” desisnya pelan, menekan pelipisnya dengan jemari. Kepalanya berdenyut seperti habis dihantam sesuatu. Dia mencoba duduk lalu memejamkan mata lagi sejenak. Segalanya terasa kabur. Ia mengingat angin malam yang dingin, denting sendok pada gelas, suara hujan, dan … wajah Gerald. Amora tertegun. “Tidak mungkin…” gumamnya. Amora buru-buru mengangkat selimut, melangkah turun dari tempat tidur dan membuka lemari pakaian dengan gerakan tergesa. Pikirannya dipenuhi oleh satu pertanyaan: Apa aku benar-benar menceritakan semuanya ke dia? Amora memakai outer yang dia ambil asal di dalam lemari, berlari menuju ke lantai bawah dengan tergesa-gesa menemui Ibunya. “Pagi, Ma,” sapa Amora hati-hati. Ibunya melirik dari balik kacamata baca, tersenyum. “Pagi juga, sayang. Sudah bangun akhirnya? Kukira kamu bakal tidur seharian.” Amora duduk di sofa seberang, menatap ibunya penuh tanya. “Semalam… aku pulang jam berapa?” “Sekitar jam sebelas malam. Kamu kelihatan… ya, lelah sekali. Apa yang kamu lakukan hingga pulang larut malam?” Amora menelan ludah. “Siapa yang nganterin aku pulang?” “Oh—itu.” Ibu Amora meletakkan majalahnya. “Gerald. Rekan bisnis ayahmu. Baru kemarin Ibu tahu kalau dia teman SMA kamu juga. Dunia sempit, ya?” Amora membeku. Jadi benar… aku bertemu dia semalam, batin Amora. “Kamu kenapa? Mukamu pucat.” “Enggak… cuma—” Amora menggigit bibir bawahnya. “Dia bilang sesuatu nggak, Ma?” Ibunya menggeleng pelan. “Cuma bilang kamu habis menghadiri acara pribadi dan sedikit kelelahan. Dia nggak cerita macam-macam. Kenapa memangnya? Kalian ngomongin hal penting?” Amora berdiri. “Aku harus menelepon dia.” Ibunya mengangkat alis. “Amora?” “Aku keluar sebentar, Ma. Mau ketemu dia.” Belum sempat ibunya bertanya lebih lanjut, Amora sudah melangkah cepat ke kamarnya, mengambil ponsel dari atas meja rias. Jemarinya gemetar saat menekan kontak bernama “Gerald D.” Panggilan tersambung setelah dua dering. “Halo, Amora.” Suara Gerald terdengar lembut, “Sudah bangun?” “Di mana kamu sekarang?” tanya Amora langsung. “Rumah. Kenapa? Kau ingin bertemu?” “Aku datang kesana sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, ia memutus panggilan dan bergegas keluar rumah, sempat berpamitan singkat kepada ibunya yang hanya bisa memandang bingung.Udara pagi yang dingin menyelimuti halaman luas tempat Amora dan Gerald berlatih setiap hari. Embun masih menempel di dedaunan, sementara matahari pagi perlahan menyembulkan sinarnya dari balik pegunungan. Namun, tak ada waktu bagi Amora untuk menikmati keindahan alam. Pagi ini, latihan mereka lebih intens dari biasanya. Amora berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat setelah serangkaian latihan bela diri yang membuat otot-ototnya tegang. Di depannya, Gerald berdiri dengan tenang, tongkat kayu di tangan kanannya. “Fokus,” ujar Gerald dengan nada tegas. “Serangan terakhirmu terlalu mudah ditebak.” Amora mengertakkan giginya. “Aku sudah mencoba yang terbaik.” “Coba lebih keras lagi.” Tanpa menunggu aba-aba, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Pria itu dengan mudah menghindar, namun kali ini Amora tidak berhenti. Ia terus menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan, mencoba mengecoh lawannya. Gerald akhirnya tersenyum tipis saat A
Sejak peristiwa penyekapan yang hampir merenggut nyawanya, Amora tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ken telah menunjukkan bahwa ia tak segan-segan menggunakan cara keji untuk mengontrolnya. Jika ia ingin bertahan dan menjalankan rencana balas dendam ini, ia harus memperkuat dirinya, baik secara fisik maupun mental. Di suatu pagi yang masih berselimut kabut, Amora berdiri di halaman luas rumah latihan milik Gerald. Keringat mengalir di pelipisnya, namun ia tidak peduli. Kakinya menjejak tanah dengan tegas, tubuhnya dalam posisi bertahan. Di depannya, Gerald berdiri dengan ekspresi serius. “Serang aku,” perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas. Amora mengerutkan dahi. “Aku baru belajar beberapa hari. Aku nggak yakin bisa menyentuhmu.” Gerald menyeringai tipis. “Justru itu tantangannya. Jangan berpikir terlalu banyak. Ikuti instingmu.” Tanpa menunggu lebih lama, Amora melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah Gerald. Namun dengan mudah, pria itu menghi
Udara pagi yang biasanya segar terasa berat saat Gerald membawa Amora keluar dari lokasi penyekapan. Dengan wajah tegas yang tidak menyisakan celah untuk emosi lain, Gerald memastikan Amora berada di sisinya tanpa sedikit pun lepas dari genggamannya. “Gerald, aku baik-baik saja,” ujar Amora dengan suara lemah, mencoba meyakinkan pria itu. “Kamu tidak baik-baik saja,” balas Gerald cepat tanpa menoleh. Amora tahu tak ada gunanya berdebat. Gerald sedang dalam mode protektif yang tak bisa ditawar. Mobil mereka melaju dengan cepat menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan, Gerald terus menatap lurus ke jalan, namun tangannya tetap menggenggam erat jemari Amora, seolah takut kehilangan gadis itu lagi. Sesampainya di rumah sakit, Gerald langsung memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Amora. Dalam waktu singkat, perawat membawa Amora ke ruang pemeriksaan. --- Setelah serangkaian pemeriksaan selesai, Gerald masih belum puas. “Kita ke ruang radiologi. Aku ingin memasti
Langit pagi yang cerah berangsur mendung ketika mobil Ken meluncur keluar dari pusat kota. Amora duduk di samping pria itu dengan hati yang gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Ken tidak memberitahu tujuan mereka dengan jelas, hanya mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan di tempat yang lebih privat. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Ken?” tanya Amora dengan nada tajam. Ken hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kamu akan tahu nanti.” Jawaban itu membuat Amora semakin tidak nyaman. Ia mengamati jalan yang semakin sepi dan berkelok. Hutan kecil dan perbukitan mulai menggantikan gedung-gedung tinggi. “Ken, hentikan mobil ini,” perintah Amora. Ken tetap diam, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. Amora merasa ada yang tidak beres. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya dengan cepat, namun sebelum sempat menghubungi Gerald, Ken merampas ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang. “Tidak ada komunikasi dengan siapa pun sekarang,” ujar Ken din
Langit Jakarta malam itu tampak kelam, seolah menyuarakan gejolak hati Amora yang tak menentu. Ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang bayangan dirinya yang tampak sempurna dengan gaun hitam elegan. Namun, di balik penampilan tanpa cela itu, pikirannya penuh pertanyaan. Ken benar-benar nekat mempercepat pernikahan mereka. Dalam seminggu, ia akan menjadi istrinya—lagi. Amora mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak. Ini semua pasti bagian dari permainan busuk Ken dan Angel. Mereka ingin menyiksanya di kehidupan ini seperti mereka menghancurkannya dulu. Namun kali ini, ia tidak akan kalah. Gerald telah membantunya menyusun rencana matang untuk mengguncang bisnis Ken. Pertemuan malam ini dengan para tiran bisnis adalah langkah penting dalam permainan catur balas dendamnya. Ponsel Amora bergetar. Nama Gerald muncul di layar. “Sudah siap?” suaranya terdengar tegas. “Ya. Aku akan segera ke sana,” jawab Amora sambil mengambil tasnya. “Bagus. Aku tun
Langit Jakarta pagi itu kelabu, seakan menyimpan firasat buruk yang akan segera terjadi. Amora Andromeda baru saja kembali dari perjalanan bisnis bersama Gerald David di Korea Selatan. Cuaca dingin Seoul masih terasa menyelimuti tubuhnya meski kini ia telah kembali ke Indonesia yang panas. Namun, bukan cuaca yang membuat gadis itu resah, melainkan sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya.Ken Fernando : Amora, kita percepat pernikahan menjadi minggu depan. Semua persiapan akan aku urus. Jangan khawatir, hanya perlu persetujuanmu.Amora memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya mendadak kaku. Ken Fernando, tunangannya sekaligus pria yang pernah menjadi suaminya di kehidupan sebelumnya, kembali menunjukkan sisi otoriternya. Bayangan pernikahan mereka yang kacau balau di kehidupan sebelumnya terlintas di benaknya—perselingkuhan, pertengkaran, dan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.Gerald yang duduk di sampingnya menyadari perubahan