( PoV Andira )"Aku dan Kakek aku lagi makan waktu itu di warung depan lorong rumah kamu. Dan hari itu hari ulang tahun aku. Kakek memberikanku kamera ini sebagai hadiahnya. Video itu, video pertama yang aku ambil. Aku sampai nggak bisa tidur setelah melihat kejadian itu secara langsung di depan mata aku, Dir. Apalagi saat itu aku lihat kamu yang menangisi tubuh ibu kamu yang berlumuran darah." jelas Aksara panjang lebar. Aku tak bisa berkata apapun. Aku menangis melihat video yang ada di dalam kamera milik Aksara. Kejadian itu muncul kembali di ingatanku. Di mana aku menangisi kepergian seseorang yang paling berharga di dalam hidupku. Menangisi satu-satunya orang yang menyayangiku dulu."Aku baru tahu kalau kamu adalah gadis kecil itu, di saat aku bertemu dengan Bapak kamu waktu aku mengantar kamu ke rumahmu kemaren. Aku nggak pernah bisa lupa wajah Bapak kamu. Lelaki yang menurut aku adalah lelaki jahat. Menjadi penyebab istrinya meninggal, dan meninggalkan istrinya yang sedang sekar
( PoV Andira )Aku bahagia... Layaknya taman bunga yang bermekaran... Indah dan berwarna... Mungkin ini yang di namakan cinta... Serasa rongga dadaku di penuhi dengan suka cita... Duhai sang pujangga... Aku tahu tak ada yang sempurna... Begitu pun cinta... Namun aku tetap akan menjaga... Apa yang sudah kita bina... Hingga semuanya terasa luar biasa... ~ Ku tutup buku harian berwarna merah marun punya Ibu yang di wariskan kepadaku. Buku usang yang telah lama ku simpan itu, kini ku rawat kembali. Siap menemaniku melewati hari bersama sang pujaan hati. Aksara Bagaskara. Hari ini aku dan lelaki itu resmi berpacaran. Setelah cukup lama akhirnya aku bisa luluh juga dengannya. Dia yang selalu membuatku merasa dicintai. Merasa di hargai. Merasa seperti seorang gadis remaja yang bahagia. Aku akui, aku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya.'Tok...Tok...Tok...' Seseorang mengagetkan ku dengan mengetuk jendela kamarku. Aku tak langsung membukanya. Aku takut kalau ada orang
( PoV Aksara ) Delapan belas tahun yang lalu. Malam ini, malam di mana aku dan Andira resmi membuktikan, bagaimana bahagianya kami. Bagaimana bahagianya aku memilikinya. Akhirnya aku mendapatkan gadis yang selama tiga tahun ini aku cintai. Aku mendapatkan gadis yang selama ini aku cari. Bahkan hari-hariku yang biasanya hitam putih, kini menjadi seperti pelangi.Aku malam ini dengannya. Mengenal lebih dekat satu sama lain. Mengetahui luar dalam seseorang yang kini tengah bersamaku. Menjajaki semua yang ada padanya. Aku sungguh menikmati malam ini berdua. Di antara rintikan hujan yang seakan menyenandungkan lagu cinta. Di antara dinginnya malam yang seakan menjadi saksi bisu dua insan yang sedang di mabuk asmara, yang sedang memadu kasih. Dan di antara hembusan angin yang semakin menjadikan malam yang indah ini menjadi semakin indah. Akhirnya aku mendapatkan dia seutuhnya. Mendapatkan seseorang yang begitu aku inginkan. Memilikinya hingga tak ada lagi yang mampu menggapainya. Karena se
( PoV Andira ) Delapan belas tahun yang lalu. "Maaf Mbak, Mas Aksara nya sudah nggak pernah ke sini lagi." Sudah hampir tiga bulan aku mendengar jawaban ini dari penjaga rumah Aksara, orang satu-satunya yang kini tinggal di rumah besar itu. Aku berjalan gontai meninggalkan rumah besar yang pernah beberapa kali ku sambangi. Bertemu kakek dan neneknya. Berbicara ngalor ngidul bersama dengan lelaki yang aku cintai. Aku menarik napas panjang. Mencoba memenuhi oksigen di dalam tubuhku yang seakan juga ingin menghilang bersama dengan kepergian Aksara. Dengan deraian air mata, entah kemana aku akan pergi. Berjalan perlahan lalu berhenti di tepian jalan. Beberapa kali ku putarkan pandanganku ke arah jalan yang tampak tak bertepi. Mencoba mempertahankan harapanku akan kedatangannya yang entah muncul dari arah mana saja dan akhirnya menepati janjinya untuk menikahiku. Ku usap air mata yang beberapa bulan terakhir ini bahkan hampir tak mau berhenti. Menangisi diriku. Juga sebuah nyawa yang
( PoV Asmara ) Deg! Aku melempar buku harian itu ke atas kasur tempat tidurku. Napasku seakan berhenti membaca apa yang sudah Bu Andira tinggalkan kepadaku. Buku diary. Entah sengaja atau tidak, buku diary itu jatuh beberapa saat sebelum dia pergi dari rumahku tadi malam. Aku menangis. Menangisi kisah sedih yang di alami Bu Andira. Menangisi kisah cinta yang benar-benar menyakitkan dari Bu Andira dan Aksara. Menangisi kenyataan bahwa Bu Andira jauh lebih kuat di banding dengan aku. Entah aku harus bersedih. Ataukah aku harus ikut berbahagia untuknya karena sudah menemukan lelaki yang di cintainya. Menyatukan kembali cinta mereka, dan buah hati mereka. Seorang anak. Anak yang mungkin kini sudah besar. Sebesar aku. Seumuran denganku. Ku ambil buku harian itu kembali. Ku peluk erat. Entah mengapa aku tak jadi membencinya. Entah kenapa tiba-tiba seakan aku rela kalau Aksara bahagia bersamanya. Entah mengapa aku mau menerima ini semua karenanya. Mungkin aku merasa iba padanya. Mungkin j
( PoV Asmara )"Astaga. Aku beneran lupa Al. Maaf ya. Aku juga nggak punya apa-apa buat aku kasih ke kamu." Aku merasa sangat bersalah. Di hari ulang tahun Albert yang ke delapan belas ini, dia bahkan yang mempersiapkan sebuah kejutan untukku. Menginap di puncak. Di sekitaran kebun teh. Villa milik keluarganya. Tepat di saat matahari terbenam, kami tiba. "Kamu ada di sini aja aku udah bahagia Ra. Santai." Dia tersenyum manis. Dia memang selalu seperti itu. Aku pun heran. Jika ada alat yang bisa di gunakan untuk mendeteksi seberapa besar cinta seseorang, maka aku sudah menggunakannya untuk Albert. Aku ingin melihat, sebesar apa cinta itu di hatinya. Cintanya yang membuatku merinding saat aku merasakannya. "Udah pamit sama orang rumah kan?" Aku memang belum berbicara apapun dengan Tante Astia soal kepergianku bersama dengan Albert hari ini. Karena aku pikir Albert akan mengajakku pergi ke tempat yang dekat. Namun ternyata..."Udah kok. Tenang aja. Emmm. Kamu bersih-bersih dulu gih. Mas
( PoV Asmara )"Al. Al. Please lihat aku Al." Aku mencoba memeluk Albert yang berkeringat begitu banyak dan dingin. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya kali ini. Dia memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya sambil menangis. Terus saja seperti itu."Aku butuh obat itu. Aku butuh obat itu." Dia bahkan tak berhenti mengucapkan kalimat seperti itu dari tadi. Dan aku tak tahu obat apa yang dia maksud."Al! Kamu nggak butuh obat apapun Al. Aku di sini. Al. Please jangan kayak gini. Kamu pengen kita seneng-seneng kan di hari ulang tahun kamu ini? Kenapa malah kayak gini sih?" Aku menangis. Aku sedih. Aku takut. Aku tak pernah sekalipun melihat Albert seperti ini. Dia kenapa? Apa yang terjadi?"Aku bodoh. Aku bodoh banget. Aku bodoh." Dia terus saja mengoceh. Tubuhnya semakin dingin. Keringatnya juga semakin deras mengalir. Dan aku semakin tak tahu harus bagaimana."Al!" Aku memeluknya semakin erat. Aku benar-benar ketakutan."Maaf Ra. Asmara. Maafin aku.""Buat apa sih Al? Please jangan ka
( PoV Asmara )"Ra." Albert bangun dari tidurnya. Setelah marah-marah malam itu, dia pingsan. Dengan bantuan bapak penjaga villa, akhirnya aku bisa membawa Albert ke rumah sakit yang dekat dengan villa. Untung ini hari Sabtu, sekolah libur. Jadi aku bisa menemani Albert."Al." Ku genggam tangan itu. Tangan yang kini sudah kembali hangat. Tak sedingin kemaren. Aku tersenyum kepadanya."Maafin aku Ra." Albert menangis. Dia menggenggam tanganku erat. Dia memang sudah menyakitiku malam itu. Namun aku mengerti. Dia tak pernah bermaksud seperti itu."It's oke Al. Aku nggak apa-apa kok." Aku masih tersenyum. Aku benar-benar mengerti. Aku benar-benar tak marah. Dan aku rasa, aku memang berhak menerimanya."Aku sakit Ra." Dengan terbata, Albert mengatakannya. Aku melihat raut wajahnya yang seakan begitu berat. Entah apa yang membuatnya berat. Mungkin dia berat untuk mengakuinya kepadaku. Mungkin dia tak ingin aku pergi darinya."It's oke Al. It's oke. Aku nggak masalah. Aku akan selalu ada buat