[Shena, kamu sudah janji ya. Hotel Diamond nomor 1501. Ini kuncinya, jangan lupa pakai gaun yang sudah kukirimkan kemarin.]
Shena menatap layar ponselnya lekat-lekat. Ada sebuah keraguan, jantungnya pun berdebar sangat kencang. Hari pernikahan bersama kekasihnya tinggal menghitung hari, tetapi kenapa kekasihnya itu menginginkan hal yang sebenarnya bisa diraihnya.
Shena menghela napas panjang. Dia menengadahkan kepala sembari terus berpikir apa yang dilakukannya ini benar atau salah. Perempuan itu berdandan sangat cantik, rambutnya dibiarkan panjang terurai dengan sedikit curly di bagian bawahnya. Gaun merah mini dengan bagian dada cukup rendah membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Tenanglah Shena, sebentar lagi kamu akan menikah, jadi tidak usah khawatir,” monolog Shena sembari mengepalkan kedua tangannya seolah memberi semangat.
Seorang asisten rumah menghampiri Shena. Dia memberikan segelas minuman seperti permintaan majikannya. Perempuan itu menghabiskan air minum itu lalu pergi ke hotel yang dimaksud.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Shena merasakan tubuhnya menjadi lebih sensitif. Sesampainya di depan kamar tersebut, Shena sempat ragu. Tangannya dibiarkan menggantung dekat gagang pintu.
“Ada apa dengan tubuhku?” batin Shena mulai gelisah. Dia merasakan darahnya berdesir, jantungnya pun berdebar kencang. Dia memasuki ruangan, netranya mengedar ke sekeliling ruangan tetapi tidak ada orang yang dinantinya.
“Kemana dia?” Shena berdiri di depan tempat tidur, menanti kekasihnya.
Tidak lama terdengarlah suara pintu terbuka. Suara pantopel terdengar jelas di telinga Shena semakin lama semakin mendekat. Jantung Shena berdebar tidak karuan, dia menoleh dan menemukan siluet tubuh seorang lelaki terlihat dari dinding kamar. Cahaya minim membuat pandangannya tidak fokus. Dia sedikit terlihat lebih tinggi tetapi Shena yakin kalau itu kekasihnya.
“Sayang,” panggil Shena lembut.
“Hmmm,” erang Lelaki itu berjalan sempoyongan seolah akan terjatuh. Dia hampiri Shena dan membuatnya dalam posisi tersudut. Dalam pandangan sayup dan sedikit kabur karena pengaruh alkohol, baginya Shena adalah perempuan yang telah lama dirindukannya.
Indera pendengaran Shena merasakan sebuah perbedaan pada suara orang yang ada di hadapannya. Namun, bibirnya langsung terkunci oleh bibir lelaki itu. Rasanya begitu menggairahkan setiap kali mereka saling bersentuhan. Lelaki itu mengusap wajah perempuan yang ada di hadapannya lembut dan penuh hasrat
Malam terasa syahdu saat sinar rembulan yang menerangi tubuh keduanya. Jantung keduanya berdebar saat hasrat mulai menguasai seluruh tubuhnya. Shena dan lelaki itu berpegangan erat, menikmati setiap detik yang dilewati begitu membara. Semakin lama permainan semakin panas hingga mereka melakukan pelepasan yang sempurna. Keduanya terlelap lelah sambil berpelukan.
Keesokan harinya, sinar matahari mulai menyilaukan mata Shena. Perempuan itu sempat tersenyum saat mengingat begitu panasnya semalam. Namun, perlahan senyumnya menghilang saat menoleh ke arah lelaki yang sedang memeluknya.Napasnya tertahan saat mengamati wajah lelaki yang masih tertidur pulas. Dia merasa familiar dengan wajahnya, seperti sering melihatnya.
“Mati aku!” batin Shena. Dia mengigit bibirnya kuat. “ Bisa-bisanya aku tidur dengan pria paling kejam di negeri ini. Ya Tuhan, bagaimana kalau dia bangun lalu memenjarakanku karena dianggap telah menjebaknya?”
Bola mata Shena terus bergerak ke kanan dan kiri. Perempuan itu menuruni ranjang perlahan, memakai pakaiannya lalu berjalan keluar dengan mengendap.
“Siapa kamu?” tanya lelaki itu yang dengan cepat meraih pergelangan tangan Shena.
Shena semakin panik. Lelaki ini bukan orang sembarangan. Semua orang di negeri ini tahu, dia begitu kejam dan bisa memasukkan orang ke penjara dengan mudah. Apalagi banyak rumor mengatakan kalau dia melenyapkan wanita yang mencoba menjebak untuk menghabiskan malam bersamanya.
“Maaf!” Shena menepis tangan lelaki itu kuat. Dengan cepat dia berlari sambil menenteng tas, walaupun sekujur tubuhnya lemas.
“Jangan lari!” pekik lelaki itu.
“Jangan sampai aku tertangkap! Aku tidak mau pernikahanku batal. Aku tidak mau!” gumam Shena sampai keringat dingin. Dia memesan taksi untuk segera pulang ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan pikiran Shena benar-benar kacau. Saat taksi tersebut memasuki komplek perumahan, terlihat ada kepulan asap hitam membumbung menyelimuti langit. Terlihat ada mobil pemadam memasuki area perumahan.
Benar saja, Perasaan gundah Shena terjawab dengan kenyataan jika asap hitam tadi berasal dari rumahnya. Skleranya dipenuhi air mata yang sudah siap menuruni pipi. Tanpa berpikir lagi Shena keluar dari taksi berteriak histeris.
“Papa, Mama, kalian di mana?” teriak Shena sambil berusaha lari menuju rumahnya yang terbakar.
“Jangan ke sana Shena, bahaya! Kedua orang tuamu sudah dibawa ke rumah sakit. Ikut dengan saya ke rumah sakit bersama Pak Polisi, ya,” ajak ketua RT tersebut.
Shena mengangguk, dia diantar oleh RT dan polisi menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, tangis Shena pecah saat menemukan kedua orang tuanya sudah terbaring tidak bernyawa. Tubuh mereka terbakar dan hampir saja tidak dikenali.
“Papa, Mama!” isak Shena yang langsung terduduk lemas.
Perasaan hancur dirasakan sudah. Dia sudah mendapatkan double kill dalam satu waktu. Kehilangan kesucian oleh musuh keluarga juga orang tua yang paling dia sayangi.
Di saat kesedihannya memuncak, sudut mata Shena mendapati seseorang berdiri memandanginya tajam. Ternyata dia adalah lelaki yang telah menghabiskan malam pertama dengannya. Senyuman lelaki tampan itu terlihat menyeramkan dan membuat bulu kuduk Shena merinding seketika.
“Bagaimana bisa dia ada di sini?” batin Shena dengan mata terbelalak.Lelaki itu tetap memandangi Shena dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celananya. Sengaja membuat Shena terintimidasi. Kebetulan sekali, polisi dan ketua RT pergi meninggalkan Shena di kamar jenazah sendiri.Di saat Shena tengah sendiri, lelaki itu datang lalu menutup pintu kamar mayat. Herannya petugas kamar mayat pun tidak ada di sana.“Apa tujuanmu menjebakku semalam?” tanya lelaki itu dengan nada rendah tetapi penuh penekanan.Shena membulatkan mata saat lelaki itu menutup pintu. Perempuan itu mundur hingga berakhir ditepian pintu pendingin mayat. Jantungnya berdebar sangat kencang dengan pipi yang masih basah oleh air mata.“Aku tidak—“ belum selesai bicara, lelaki itu langsung memotong.“Bohong! Berani-beraninya kamu menjebak Aryan Mahendra. Kamu pasti sudah tahu akibatnya, kan!” bentak Aryan sambil melayangkan tangan hendak ke pipi Shena tetapi meleset ke pintu pendingin.Shena gemetar bukan main. Sepe
“Mari kita sambut kedua mempelai kita,” ucap Pembawa acara sembari bertepuk tangan.Riuh suasana pesta pernikahan yang digelar secara sederhana untuk seorang Presdir MnM Factory. Terlihat banyak tamu undangan yang hadir mengucapkan selamat untuk Aryan juga Shena. Mereka sempat tidak percaya karena beberapa waktu lalu mereka baru saja menghadiri pesta pertunangan Shena juga kekasihnya.Shena tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, wajahnya enggan menampakkan wajah ceria meskipun itu bohong. Tepat seminggu setelah kematian orang tuanya, Shena harus menggelar pernikahan yang tidak diinginkannya. Sosok yang diharapkan menjadi penyelamatnya pun tidak kunjung tiba.“Cepat tersenyum!” titah Aryan dengan berbisik ke telinga istrinya.“Apa senyumku ini kurang tulus bagimu?” tanya Shena.Shena menoleh ke arah Aryan, sambil menarik garis bibirnya. Senyumnya dibuat selebar mungkin dengan bola mata seakan ada cinta membara di antara mereka.Jantung Aryan berdebar sangat kencang saat melihat tatapa
“Cepat katakan alasannya!” desak Shena dengan suara bergetar. Tangannya mencengkram pinggang Aryan dengan kuat.“Akan kujawab setelah resepsi.” Aryan melepaskan tangan Shena dari pinggangnya lalu pergi sambil tersenyum penuh kemenangan.Resepsi pernikahan pun telah usai. Shena sudah tidak sabar dengan jawaban dari Aryan tentang penyebab kematian orang tuanya. Dia tidak peduli meski harus berlutut sekali pun untuk mendapatkan jawabannya. Shena terus mengikuti kemana Aryan pergi hingga akhirnya mereka berhenti di kamar pengantin yang dihiasi taburan kelopak mawar merah.“Aryan Mahendra! Cepat jelaskan apa penyebab kematian orang tuaku?” desak Shena sudah mulai hilang kesabaran.Tangan lelaki itu memegang lengan istrinya kuat. Retinanya fokus, tidak bergerak sedikit pun, sengaja ingin mengintimidasi Shena.“Ck,ck,ck, sepertinya kamu tidak paham statusmu di sini adalah budakku!” tegas Aryan.Shena tidak gentar hanya dengan tatapan Aryan. Baru saja dia menikah, statusnya adalah istri bukan
“Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa masuk rumah ini?” tanya Aryan sambil meletakkan alat makan di samping piringnya.“Aku Alan Surya Kencana, tunangan Shena. Kemana kamu membawa calon istriku? Kenapa kamu menikahinya tanpa memberitahuku? Beraninya kamu merebut dia, kembalikan Shena padaku!” geram Alan dengan tangan yang mengepal kuat.Aryan mengelap mulut dengan serbet yang berada di pangkuannya. Terdengar embusan napas berat sembari beranjak dari tempatnya berada. Di saat yang sama Shena datang dengan wajah kesalnya. Dia hendak mengambil minum ke dapur, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Alan berada di rumahnya.“Alan!” cetus Shena. Matanya berkaca-kaca tetapi tangannya mengepal erat. Sebelum dia menikah dengan Aryan, selama beberapa hari ini dia bahkan tidak mendapatkan kabar apapun dari kekasihnya itu. Seharusnya Alan berada di garda terdepan menjadi penyelamatnya.Alan menoleh ke arah suara berasal. Netranya melihat Shena berdiri dengan mata memerah. Lelaki itu tanpa ragu segera
“Apa yang kamu lihat, Cantik?” tanya Archi sambil berbisik kepada Shena.Shena terperanjat hingga menabrak pot bunga yang ada di tepian halaman depan rumah Clara. Sontak orang yang berada di dalam rumah itu terkejut lalu mengintip ke arah jendela. Mereka melihat Shena dan Archi sedang berdiri, memandangi satu sama lain.“Apa mereka melihat kita?” tanya Clara sambil menoleh ke arah orang yang ada di depannya.“Cepat cek!” titah orang itu.Clara keluar dari rumah, dia melihat Shena seperti orang ketakutan. Meski terpaksa, perempuan itu terpaksa bersikap baik di depan sahabatnya.“Shena, kamu kenapa?” tanya Clara.Shena menoleh ke arah Clara. Dia yakin kalau tadi yang dia lihat Clara bersama Alan. Mereka seperti orang sedang bermesraan.“Ra, ada hubungan apa kamu dengan Alan?” tanya Shena serius.Clara mendengus keras. Bibirnya sedikit mengerucut tetapi kebohongan masih harus berlanjut. Perempuan itu mendekat ke arah Shena. Dia memegang kedua bahu Shena, mencoba meyakinkan sahabatnya itu
Suasana hening sesaat ketika semua mata tertuju pada perempuan dengan wajah babak belur. Petir tiba-tiba saja menggelegar di saat langit malam yang dipenuhi bintang. Angin kencang mulai berembus, mengibaskan rambut panjang Shena yang tergerai.“Aryan, maafkan aku,” isak perempuan yang sedang menatap Aryan dan Shena.Shena menatap Aryan juga perempuan itu berulang kali. Pegangan tangan suaminya kini mulai melemah, perlahan menurun lalu terlepas.“Sisil, kenapa kamu di sini?” tanya Aryan dengan sedikit bergetar seperti menahan tangis.Prisilia segera berlari menghampiri Presdir MnM itu sambil berurai air mata. Tanpa ragu dia merengkuh Aryan di depan Shena yang notabenenya adalah istri sahnya.“Aryan maafkan aku sudah melukai hati juga meninggalkanmu. Aku khilaf karena memilih Dion menjanjikan bisa hidup sebebas burung di angkasa. Nyatanya
“Aryan tidak mungkin jatuh cinta pada perempuan lain, tidak boleh!” gerutu Prisilia dalam hati.Ada perasaan aneh di hati Shena saat Aryan mendekap tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, seakan waktu berhenti dan perasaan ini tidak pernah dialami saat bersama Alan.Prisilia tidak mau Aryan dan Shena menjadi dekat. Dia harus membuat mereka berpisah. Otaknya berpikir dengan keras. Mata memicing dan senyumnya tertahan saat menemukan sebuah ide cemerlang.“Aaah!” jerit Prisilia sembari terjatuh ke aspal. Perempuan itu terlihat lemas tidak berdaya.Aryan segera menoleh ke arah Prisilia. Shena pun turut menoleh ke arah perempuan itu. Pelukan Aryan yang melemah, Shena segera mengambil kesempatan. Dia mendorong dada Aryan dengan kedua tangan. Tenaganya hanya tersisa sedikit karena belum sempat makan bahkan setelah melakukan malam pertama rasa kedua.
Napas Shena tertahan sesaat. Jantungnya berdebar begitu cepat karena sudah pasti tamat riwayat. Perempuan itu enggan untuk melihat siapa yang ditabraknya. Dia mengambil satu langkah ke belakang, tetapi ada yang menangkap lengan Shena cukup kuat. “Lepaskan aku!” pinta Shena sambil menepis tangan tersebut. “Anda pasien di rumah sakit ini. Kenapa Anda berkeliaran sambil memegang infus?” tanya lelaki itu. Suara bariton terdengar begitu familiar di telinga Shena. Itu bukanlah suara Aryan, pikirnya. Shena memberanikan diri untuk menatap orang di hadapannya. Namun, retinanya tidak dapat mengenali orang tersebut. “Saya bosan, mau cari udara segar,” jawab Shena mencari alasan. Lelaki itu tersenyum lalu melepaskan genggaman tangannya. Dia kemudian memanggil salah satu perawat untuk mengambilkan kursi roda untuk Shena. “Kalau begitu biar saya antar saja. Kebetulan saya mau berkeliling rumah sakit,” tawarnya. “Baiklah,” jawabnya. Shena mengangguk saja karena tidak punya pilihan lain. Baru