Lorong rumah sakit militer itu dinginnya tidak wajar malam itu, seolah AC sengaja dinaikkan untuk membekukan orang-orang yang masih sadar. Lampu neon putih di langit-langit berkedip sekali, lalu stabil kembali. Reina Armanda berjalan pelan sambil melepas sarung tangan bedah, ujung jarinya memerah karena terlalu lama menggenggam alat operasi. Enam jam operasi darurat, tiga prajurit dengan luka tembak di perbatasan, dan dua nyawa yang hampir tidak kembali.
  Tapi justru bukan itu yang membuat napasnya berat.Ia merasa malam ini ada sesuatu yang menunggu namun bukan rasa lelah.
  Di ujung lorong, suara dua perawat yang berpapasan tiba-tiba merendah begitu melihatnya lewat. Bukan karena wibawanya sebagai dokter bedah militer, tapi seperti ada bisik-bisik yang sudah mendahului langkahnya. Salah satu dari mereka bahkan sempat menatap Reina dengan ekspresi seperti hendak bicara… lalu mengurungkan diri.
  Reina mengabaikannya. Begitu membuka pintu ruang istirahat dokter, ia mengira ruangan itu kosong seperti biasa. Tapi ada seorang pria berdiri membelakangi pintu, menatap jendela yang mengarah ke lapangan helipad. Seragamnya rapi sekali untuk ukuran hampir tengah malam. Reina bahkan mendeteksi bau parfum yang asing lebih mahal dari biasanya.
  Dafa.
  Calon suaminya. Atau… seharusnya begitu.
  “Sudah nunggu lama?” suara Reina parau tapi tenang. Ia melepas masker dan meletakkannya di meja.
  Dafa tidak langsung menjawab. Bahunya tidak bergerak. Hanya rahangnya yang mengeras sesaat sebelum ia berbalik.
  “Aku cuma butuh bicara sebentar.” Nada suaranya terlalu formal, seperti sedang memberi laporan, bukan menemui tunangannya.
  Reina mengusap pelipisnya. “Oke. Tapi kalau kau mulai dengan kalimat kita perlu ngomong serius, sumpah aku bisa tidur di lantai sekarang juga.”
  Tidak ada senyum dari Dafa malam itu. Dan itu aneh. Karena bahkan waktu mereka bertengkar soal dinas luar kota dua tahun lalu, pria itu masih sempat tersenyum sebelum menjawab.
  “Aku akan langsung ke intinya,” katanya.
  Reina refleks menghela napas pendek. “Dafa, aku hab....”
  “Aku batalkan pernikahan kita.”
  Kalimat itu seperti pintu lift yang tiba-tiba putus tali tidak memberi aba-aba, langsung jatuh menghantam.
  Reina terdiam. Tatapannya tak bergerak, tapi pupilnya menyempit. “Apa?”
  “Aku batalkan pernikahan. Kita sudahi semuanya.” Suara Dafa tetap rendah, tapi tak ada sisa kehangatan di dalamnya.
  Dia tidak bereaksi. Dia bisa tertawa. Dia bisa marah. Tapi yang muncul pertama justru kalimat paling tenang yang pernah ia ucapkan dalam hidupnya: “Kau hamilin siapa?”
  “Aku nggak....” Dafa mengerutkan kening. “Ini bukan soal itu.”
  “Lalu?” Reina melipat tangan. “Setidaknya, kasih aku alasan yang cukup untuk tidak menamparmu dulu sebelum aku lapar.”
  “Rein.” Dafa menatapnya. “Aku akan menikah dengan orang lain.”
  Enam detik. Reina butuh enam detik penuh sampai otaknya mencerna fakta itu. “Siapa?”
  “Raya.”
  Nama itu tidak berdetak. Ia meledak.
  Raya Pradipta. Sepupu Reina dari ibu tirinya. Anak kesayangan keluarga besar. Perempuan yang selalu menyebut Reina kasihan dengan nada manis. Perempuan yang waktu kecil pernah menangis karena tidak bisa menghafal teks lomba pidato, lalu justru menang karena ayahnya anggota dewan. Perempuan yang tersenyum setiap kali menyindir dengan nada doa.
  Reina menatap Dafa lama-lama. Ada jeda aneh di tenggorokannya. “Sejak kapan?”
  “Tiga bulan, lalu” jawab Dafa, sama sekali tidak defensif.
  Alis Reina hampir tak bergerak. “Tiga bulan kau...”
  “Itu keputusan keluarga...Aku nggak bisa menolak. Ada banyak yang dipertaruhkan.”
  Reina tertawa pendek. “Pertaruhan jabatan? Nama? Jalur promosi? Atau akses ke orang-orang tertentu?”, Dafa tidak menyanggah. Diamnya adalah pengakuan.
  Di luar ruangan, sesuatu bergerak. Seperti seseorang berhenti di depan pintu tapi tidak jadi masuk. Reina sempat melirik, tetapi tidak ada suara lanjutannya. Hanya hawa tidak enak yang tiba-tiba menempel di tengkuknya.
  “Kau tahu Raya sepupuku,” ujar Reina. Bukan pertanyaan, lebih seperti kalimat untuk menahan tangannya agar tidak bergerak spontan.
  “Aku tahu.”
  “Kau tahu keluargaku dan keluarganya tidak pernah...”
  “Ini bukan soal kalian. Ini soal masa depan yang lebih realistis buat semuanya.”
  “Semuanya’,” ulang Reina pelan. “Sampaikan salamku pada ‘semuanya’.”
  Dafa tidak bereaksi. Ia hanya menambahkan, “Tanggalnya sudah ditentukan. Bulan depan.”
  Nada netralnya terlalu rapi. Seperti bukan dia yang bicara. Seperti ada naskah yang sudah dia hafal.
  Dan di antara kata-kata itu, Reina merasa ada sesuatu yang hilang… atau disembunyikan. Bukan hanya pengkhianatan.
  Ada tangan lain yang lebih besar.
  Ada alasan lain yang belum disebut.
  Dan mungkin Dafa bukan pelaku tunggal. Hanya bidak.
  Suara pintu tertutup pelan masih tertinggal di gendang telinga Reina, meski Dafa dan Raya sudah pergi beberapa menit lalu. Ruang istirahat itu terasa lebih sempit daripada sebelumnya, padahal tidak ada yang berubah selain jumlah orang di dalamnya. Napasnya teratur, tapi bukan karena ia tenang melainkan karena tubuhnya terlatih untuk tidak runtuh di depan orang lain.
  Ia menunduk, menatap kedua tangannya yang masih ada bekas darah pasien meski sudah dicuci. Lengan kanan bergetar samar, bukan karena lelah operasi. Ia tahu tubuhnya mengenali bahaya sebelum pikirannya sempat menamai rasa itu.
  Suara langkah mendekat dari luar. Kali ini bukan Dafa, bukan Raya.
  Dan orang ini… sengaja berhenti tepat di balik pintu.
  Reina tidak menoleh. “Kalau kau mau intip reaksiku, sekalian saja masuk. Atau kirim wartawan sekalian.”
  Pintu terbuka sedikit. Bukan satu perawat, tapi dua. Mereka pura-pura mengambil sesuatu di rak, tapi pandangan mereka terlalu lama tertuju ke wajah Reina.
  “Selesai operasinya, Dok?” tanya salah satunya.
  Nada suaranya ramah, tapi matanya tidak bertanya. Mereka tahu sesuatu. Atau mengira tahu.
  “Ada yang mau kalian sampaikan?” tanya Reina tanpa intonasi jelas.
  Keduanya saling tatap cepat, lalu tersenyum basa-basi. “Enggak, Dok. Cuma… hati-hati aja pulangnya. Katanya… ada yang cari-cari nama Dokter Reina hari ini.”
  “Siapa?” tanya Reina dengan nada netral.
  Mereka ragu sepersekian detik. Lalu salah satu menjawab, “Nggak tahu pastinya. Tapi orangnya staf administrasi bilang... dari pihak atas.”
  ‘Pihak atas?.
  Kalimat itu bisa berarti banyak. Komando? Polisi militer? Atau… seseorang yang namanya sengaja tidak disebut.
  “Kalau mereka datang, suruh pakai nomor antrean,” jawab Reina datar.
  Dua perawat itu tertawa canggung, lalu pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, salah satu sempat berbisik ke rekannya, cukup keras untuk terdengar:
  “Dia nggak tahu, ya, kalau kasus ayahnya mau dibuka lagi?”
  ---
  Reina keluar dari ruangan beberapa menit kemudian. Koridor senyap, tapi udara dinginnya terasa lain seperti ada mata yang memperhatikan dari sudut-sudut yang tidak terlihat. Ia berjalan sampai lobby, mengambil tas kecilnya yang tergantung di belakang meja resepsionis.
  Di sana, tiga orang duduk sambil menatap layar ponsel. Tapi saat Reina lewat, mereka mendadak berhenti bicara. Salah satunya bahkan memalingkan wajah terlalu cepat, seolah menutup gosip yang belum selesai dibisikkan.
  “Dokter Reina,” panggil seorang resepsionis. “Barusan ada telepon dari Komando.”
  Reina berhenti. “Siapa?”
  “Tidak bilang nama. Cuma pesannya… ‘Jangan pergi jauh dalam tiga hari ini. Ada yang perlu diselesaikan.’”
  Ucapan itu tidak terdengar seperti permintaan. Dan terlalu spesifik untuk sembarang pesan.
  “Sudah biasa, kan, Dok?” tanya resepsionis itu lagi, mencoba terdengar ringan. “Dokter Reina sering dipanggil mendadak soal tentara yang cedera... atau soal...”
  “Jangan tebak sesuatu yang tidak bisa kau tanggung jawabkan,” potong Reina halus, lalu pergi tanpa menoleh.
  Namun kalimat itu bukan untuk membungkam resepsionis itu melainkan menenangkan dirinya sendiri.
  ---
  Begitu sampai parkiran, Reina membuka pintu mobil dan hampir masuk sebelum sebuah suara familiar terdengar di belakang.
  “Kau nggak pulang dulu ke rumah Ibu?”
  Suara perempuan. Halus, dibuat-buat manis, tapi mengandung pisau di setiap suku katanya.
  Reina menoleh.
  Raya berdiri di samping mobil hitamnya, masih dengan gaun krem tadi. Tangannya sibuk memainkan ponsel, tapi matanya tajam penuh penilaian.
  Reina menyandarkan diri pada pintu mobilnya, menatap Raya tanpa ekspresi. “Kau masih di sini?”
  “Aku baru selesai bicara dengan Papa,” jawab Raya, menyebut ‘Papa’ dengan nada yang secara kebetulan mengandung pamer jabatan. “Beliau titip salam buatmu, lho.”
  “Kalau itu salam duka, biar kusambut dengan bunga tujuh rupa.”
  Raya tersenyum seakan tidak tersindir. “Kau jangan marah padaku, Rein. Aku cuma menjalankan apa yang sudah direncanakan keluarga lebih dulu. Lagipula… kurasa kau sudah tahu kalau pernikahanmu dengan Dafa itu cuma formalitas saja.”
  “Formalitas?” Reina mengulang pelan.
  “Ya,” Raya mengedikkan bahu. “Sejak reputasi keluargamu jatuh karena kasus itu, kau kira masih ada laki-laki dari kalangan atas yang benar-benar bisa menikahimu tanpa mikir dua kali?”
  Mata Reina tidak berkedip. “Kasus itu? Yang mana? Yang kalian bikin?”
  Raya tertawa pelan. Tawa orang yang merasa kebal. “Ah, jangan begitu. Semua orang tahu ayahmu dikeluarkan bukan karena salahnya sendiri. Tapi... ya, kau tahulah. Ada keputusan besar yang waktu itu harus diambil pihak komando. Papa ikut waktu itu. Kau pasti masih ingat, kan?”
  Itu bukan sekadar hinaan. Itu pancingan.
  “Kau lihat aku hancur sekarang, ya?” tanya Reina tiba-tiba.
  Raya menaikkan dagunya, siap menikmati jawaban.
  Sayangnya bukan itu yang ia dapat.
  “Kau lupa satu hal,” bisik Reina mendekat. “Kalau aku bisa berdiri setelah keluargaku dijatuhkan belasan tahun lalu, berarti aku juga bisa berdiri lagi setelah ditampar dua pengkhianat.”
  Raya berhenti tersenyum sepersekian detik. “Jangan dramatis. Kau bukan pusat panggungnya lagi.”
  Reina membalas tatapan itu tenang. “Aku tidak butuh panggung untuk menjatuhkan orang. Kau lebih tahu itu daripada siapapun.”
  Sekilas, wajah Raya berubah. Ada kilatan tidak nyaman. Lalu cepat-cepat ia menutupinya dengan senyum.
  “Semoga kau tidak menyulitkan keadaan. Papa tidak suka hal-hal berbau… pembangkangan.”
  Kalimat itu bisa berarti ancaman. Tapi bisa juga cuma gertakan.Namun Reina diam, membiarkannya.
  “Pernikahan tanggal 14. Undangan akan dikirim besok,” tutup Raya sambil membuka pintu mobilnya. “Dan, oh ya… jangan terlalu berharap pada belas kasihan orang yang lebih tinggi darimu. Mereka tidak suka mengulang kesalahan masa lalu.”
  Mobil Raya melaju pergi. Reina berdiri diam sampai suara mesin itu hilang.
  Dan tepat saat hendak masuk mobilnya sendiri, ponselnya bergetar.
  Nomor tidak dikenal.
  Hanya satu kalimat yang masuk di layar:
  “Diam bukan pilihan lagi. Jangan ulangi kesalahan ayahmu....”