Lembaran kertas yang berada di atas meja. Kertas yang berisi nilai itu harus segera direkap di dalam laptop. Yerin melakukannya dengan serius dan begitu fokus. Namun—ia berhenti dan memejamkan mata. Lagi-lagi mengingat kejadian tadi malam. Di mana ia dan Arsen berciuman dengan liar. Namun Arsen berhenti sebelum mereka melakukannya semakin jauh. Pria itu menyuruhnya segera tidur dan mengunci kamar dengan rapat. ‘Kunci kamarmu dengan benar jika tidak ingin aku masuk.’ kata Arsen tadi malam. Namun saat pagi hari—mereka bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Yerin meminum airnya. “Bu Yerin,” panggil pak Rudy. “Cincinnya bagus sekali.” Menunjuk cincin di jari manis Yerin. Yerin melihat tangannya. Itu cincin pernikahannya. Yerin lupa untuk melepaskannya. Mengenai pernikahannya, tidak ada orang yang tahu selain ibunya. Bahkan sahabatnya, Shania pun tidak tahu kalau dirinya sudah menikah. Karena… Pernikahan ini memang rahasia. “Apa itu cincin tunangan?” tanya Jema den
Yerin maupun Bastian menoleh ke arah sumber suara. Arsen menatap tajam Bastian dengan wajahnya yang tegas. Rahangnya mengeras, pertanda bahwa pria itu sangat marah. “Jaga bicaramu!” ucap Arsen. Yerin segera menghampiri Arsen. “Sudah-sudah…” memegang lengan Arsen. Bastian berdecih pelan. Mengacak rambutnya pelan. “Kalian berhentilah mengangguku!” Baru saja Arsen ingin berkata lagi—tapi Yerin mencegahnya. Yerin memeluk lengan Arsen sembari mendongak. Yerin menggeleng pelan—memberikan tanda agar Arsen berhenti. “Sudah..” Yerin berbalik. Menatap Bastian dengan senyum yang ceria. “Kita tidak akan mengganggu kamu. Kamu pergilah istirahat.” Melirik Arsen sebentar—Bastian akhirnya pergi. Yerin menghela nafas. Ia melepaskan genggaman tangannya di lengan Arsen. Ia mengusap dadanya pelan. Ketegangan ini, Yerin tidak menyangka akan seburuk ini hubungan mereka. “Sudah kubilang, usahamu akan sia-sia.” Arsen menatap Yerin dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. “I
Mulut Arsen itu kotor. Sekotor genangan air got. Tidak ada filter sama sekali. Bisa-bisanya meminta hal seperti itu pada Yerin. Namun untungnya, Yerin bisa mengatasi hal itu. Jawaban yang Yerin berikan cukup memuaskan Arsen. ‘Aku akan melakukannya saat aku siap’ itulah jawabannya. Dan sekarang…. Inilah mereka bertiga yang duduk di ruang makan. Dengan sedikit canggung—tanpa suara sedikitpun. Hanya ada keheningan kosong yang seolah sedang mencekik. Hawa yang dingin kalah dingin dengan suasana mereka bertiga. “Bastian mau makan apa?” tanya Yerin. Ia mengambil piring dan mengambilkan Bastian nasi. “Kata bibi kamu suka ayam. Tadi ibu masak ayamnya sendiri.” Mengambil lauk untuk Bastian. “Ini makanlah.” Menaruh piring yang sudah penuh dengan nasi dan lauk di depan Bastian. “Ehem!” Suara deheman itu membuat Yerin menoleh. Lupa kalau suaminya itu belum mengambil makanan. “Sa..yang.” Yerin tersenyum. “Mau makan apa?” Arsen menunjuk lauk ayam dengan angkuh. Yerin mengam
“APA—” ucapan Arsen terputus. Yerin memegang tangan Arsen. Menggenggamnya dengan mesra. Lalu menatap seorang laki-laki yang berada di belakang Arsen. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri bersama. “Bastian,” panggilnya. “Ibu sudah menyiapkan makan malam. Kita makan malam bersama ya?” tanyanya. Bastian mengabaikan ucapan Yerin dan berjalan melewati mereka. “Bastian!” panggil Yerin sekali lagi. Bastian berhenti—namun tidak membalikkan tubuhnya. “Nanti turun ke bawah, ya. Kita makan bersama!” ucapnya sekali lagi. Tidak menjawab lagi. Kali ini Bastian berjalan menaiki tangga tanpa menoleh sedikitpun. Laki-laki itu tidak memberi reaksi apapun. Arsen menoleh ke bawah. melihat tangannya yang digenggam tangan mungil Yerin. “Sepertinya kau nyaman menggenggam tanganku seperti menggenggam 'milikku'.” Yerin segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Arsen. “Tidak bisakah kau bicara biasa saja?” “Tidak.” Arsen dengan wajah yang meledek. “Aku tidak mau kita berdebat
“Kau gila?!” Yerin mendorong dada Arsen sekuat tenaga. Sehingga dirinya bisa terlepas dari pelukan pria itu. Yerin memeluk dadanya—karena resleting yang sudah diturunkan membuat gaun itu longgar. Jika Yerin tidak memeluk gaun itu—sudah pasti akan melorot. Arsen berkacak pinggang. “Semakin lama kau tidak sopan. Ke mana kesopananmu?” tanyanya. “Kau berani bertanya sopan atau tidak?!” Yerin menunjuk Arsen. “Mana yang tidak sopan aku memanggilmu lebih santai. Atau kau yang lancang membuka resleting gaunku?” tanyanya. “Aku hanya membantumu,” ucap Arsen dengan wajah polos tanpa merasa bersalah. Arsen tiba-tiba tertawa. Membuat Yerin mengernyit keheranan. Ada apa? Ia meningkatkan kewaspadaannya. Pria ini sungguh berbahaya. “Lihat wajahmu.” Arsen menunjuk Yerin dengan dagunya. “Wajahmu merah sampai ke telinga. Kau begitu malu…” “Aku bahkan sudah melihat seluruh tubuhmu.” Arsen menyipitkan mata. mengangkat tangannya seolah sedang menerawang tubuh Yerin. “Aku sudah menyentuh
Wedding day. Pernikahan dilaksanakan. Semuanya bersifat tertutup. Yerin menggunakan gaun panjang berwarna putih dengan tudung di kepala. Riasan sederhana namun anggun. Yerin berjalan perlahan menuju altar yang sudah ada Arsen. Keputusan mereka untuk menikah secara kontrak sudah mutlak. Persyaratan yang diajukan Yerin pada Arsen disanggupi. Sentuhan fisik yang tidak diinginkan Yerin. Dirubah menjadi sentuhan fisik akan terjadi jika kedua belah pihak setuju dan akan dilakukan untuk membuat orang-orang sekitar mereka yakin. Yerin memandang Arsen yang tengah mengulurkan tangan. Pria itu tampan. Yerin tidak bisa menampiknya. Arsen nampak tampan dan gagah saat menggunakan setelan dan kemeja berwaran putih. Setelah itu mereka mengucapkan janji pernikahan di depan seorang pendeta. Hingga saatnya mereka untuk berciuman. “Lakukan pelan-pelan…” lirih Yerin. Ada beberapa orang yang hadir di pernikahan mereka. Hanya keluarga Arsen dan ibu Yerin. “Siapa kau berani menyuruhku