Kepergian Nova dengan aura kemarahan sangat menguji Angga hari ini. Keputusannya berubah ketika ia mendapatkan kesempatan menghabiskan waktu dengan Celva. “Dasar wanita pemarah,” Angga mencibir. Ia tersenyum puas kala pandangannya bertemu dengan sosok mungil yang memiliki wajah sangat mirip dengannya. Celva menuruni hampir sembilan puluh persen garis wajah Angga. Hal itu tentu menjadi sebuah kebanggan untuk ayah baru seperti dirinya. “Kamu memang benar-benar anakku, Celva. Semua yang ada di wajahku kamu tiru.”Angga melanjutkan lagi kegiatannya memakaikan baju sang anak. Untuk seorang pemula seperti dirinya, kemampuan Angga mengurus bayi cukup baik. Mulai dari memakaikan popok, memakaikan baju, san beberapa pernak-pernik lucu seperti bandana dan sepatu, semuanya Angga lakukan sendiri.“Celva sudah cantik sekarang,” kata Angga. Bangga dengan keterampilan yang ia miliki. Ini kali pertamanya melakukan pendekatan mendalam dengan anaknya. Angga tidak pernah berpikir kalau ia akan mem
Dua jam berlalu tanpa ada pergerakan apapun dari Nova. Ia hanya duduk diam di atas sebuah gazebo yang ada di taman. Pemandangan di hadapannya sedikit banyak membantu menyegarkan pikirannya dari kemelut rumah tangga yang tak pernah usai.Ting!Di tengah lamunan yang kian panjang membawa Nova lari dari kenyataan. Nada pemberitahuan ponselnya berbunyi. Nova melirik sekilas ponsel yang dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai gazebo. Terpampang sebuah nama yang belakangan Nova hindari. Ting nong! Ting nong! Semakin Nova mengabaikan pesan itu, semakin gencar pula seseorang yang menghubungi Nova menuntut respon. Pesannya diabaikan, orang itu beralih melakukan panggilan telepon. Nova meraih ponselnya dengan perasaan enggan. Waktunya menenangkan diri terusik oleh sikap mamanya yang egois. “Ya, ma?” sapa Nova tanpa salam. Ia terlalu malas untuk berbasa-basi. Apalagi pada sosok yang kini bicara dengannya di telepon. “Nova? Kamu dimana sekarang?“ “Di rumah, ma. Ada apa?” Dari balik tele
Sudah dua jam masa pencarian dilakukan. Namun Nova belum mendapatkan informasi apapun dari para ajudan dan seluruh pelayan di rumah ini. Nova frustasi hingga tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Beberapa pelayan yang sengaja ditugaskan untuk melayaninya tak ada yang luput dari omelan Nova. sedikit saja mereka melakukan kesalahan, ancaman pemecatan terpampang di depan mata mereka. “Bisakah kamu membawakannya minumku lebih cepat, nona?” tandas Nova pada seorang pelayan yang membawakan secangkir teh untuknya. Hak berkuasa yang tidak pernah Nova gunakan kali ini ia kerahkan dengan maksimal. “Maaf atas kelalaian saya, nyonya.” Nova tak menggubris. Stres dan pikiran kalut menciptakan tekanan yang begitu menyakitkan di beberapa sisi kepala Nova. Berbagai pertanyaan dan kemungkinan kemana Angga pergi bermunculan secara tak terduga dan kian menambah beban yang harus Nova pikul. “Nyonya Nova,” panggil seseorang yang baru saja datang dari arah pintu utama. Orang itu adalah Aldo. Pria it
Tidur Nova terusik dengan suara riuh di luar kamarnya. Suara langkah kaki beberapa orang sepertinya tengah melintas di depan kamar. Kesadaran Nova belum sepenuhnya terkumpul. Semalam, waktu tidurnya terkuras untuk mengurus Celva yang begadang seorang diri. Jangan tanya dimana Angga saat itu. Di saat Nova berusaha untuk tetap terjaga menemani Celva, pria itu justru sibuk berkutat dengan tumpukan dokumen-dokumen kesayangannya. Tangisan Celva bahkan tidak bisa memecah fokus Angga untuk berhenti bekerja ataupun tidur sebentar. “Ada apa, sih? Kenapa berisik sekali di luar sana?” gerutunya. Nova mengumpulkan segenap tenaga untuk turun dari tempat tidur. Tanpa alas kaki, lantai yang ia pijaki terasa dingin menusuk tulang. Jalannya sempoyongan karena matanya terasa berat. Ceklek. Nova mengedarkan pandangannya ke sisi kanan dan kiri. Kemunculannya langsung menjadi sorotan beberapa orang yang berlalu lalang di sana. Untuk sepersekian detik mereka mematung. Menyadari keberadaan mereka telah
Di depan cermin bayangan dirinya terlihat elegan. Riasan wajah natural dan model rambut sanggul modern semakin meningkatkan kadar kecantikan Nova hari ini. “Ini gaunnya, nyonya. Mari saya bantu untuk memakainya,” kata salah seorang krew make up artist pilihan Angga. “Selera kalian bagus juga, gaun ini sangat cocok di tubuhku. Desainnya juga sangat berkelas,” puji Nova mengapresiasi kinerja tim make up artist.“Terima kasih atas pujiannya, nyonya Nova. Tapi mohon maaf, gaun ini adalah gaun yang dipilih langsung oleh Tuan Angga untuk acara malam ini. Beliau sendiri yang memesannya beberapa hari lalu secara ekslusif pada rekanan desainer kami,” jawab wanita itu. Nova hampir tersedak mendengar sebuah pengakuan yang tidak pernah ia dengar. Sejauh yang Nova tahu, Angga hanya akan memilih gaun-gaun sewaan yang disodorkan oleh para desainer ternama. Ia tidak pernah tahu kalau semua hal yang ada di depan matanya kini adalah pilihan Angga. Terkadang Nova heran, di tengah kesibukan yang begi
Acara malam ini lebih mirip seperti acara pesta pernikahan Nova dulu. Bukan acara yang ditujukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Nova sendiri terkesima melihat dekorasi yang begitu mewah. Rumah Angga memang memiliki sebuah ruang pertemuan yang cukup besar dan mampu menampung lebih dari sesatus orang. Tetapi Nova tidak pernah membayangkan pria itu bisa mengubah ruang pertemuan menjadi arena pesta yang megah. Dekorasi didominasi oleh warna putih dan merah muda. Senada dengan gaun yang dipakai oleh Nova dan juga Celva. Jika dilihat dari detail setiap dekorasi dan tema pesta, sepertinya Angga memberikan banyak perhatian dalampenyusunan konsep acara. Benar-benar totalitas. Untuk pertama kalinya Nova dibuat kagum dengan apa yang pria itu lakukan. Meski ia sadar betul perjuangan Angga kali ini bukan untuk dirinya.Sakit memang, tapi begitulah adanya. Nova harus sadar diri. Angga hanya menjadikannya tameng untuk mencapai semua tujuan pria berdarah Jerman itu. “Terima kasih pada s
“Kamu berani menentangku?” Angga naik pitam. Ia sadar di ruangan itu ada Celva yang harus dijaga sehingga pria itu menjaga intonasi suaranya. “Tidak. Daripada aku menjawab tapi jawabanku hanya akan membuatmu marah, lebih baik aku diam saja, bukan?” jawab Nova. Ia memberanikan diri untuk kuat di depan Angga. Meski nyalinya belum cukup mampu untuk melawan, setidaknya dengan bersikap berani, perlahan nyali untuk melawan akan tumbuh dengan sendirinya. Kedua bola mata Angga membulat, menahan amarah. Nova tak paham apa ekspektasi Angga padanya. Semua yang Nova lakukan selalu salah. Bicara salah, melawan salah, bahkan diam pun salah. “Bersyukurlah hari ini suasana hatiku sedang baik. Jika tidak, kamu sudah aku habisi!” kata Angga. Wajah tampannya kini terbingkai jelas di pandangan Nova. Tidak disangka, figur sempurna seperti ini memiliki sisi kelam yang tak bisa ditoleransi.Angga berbalik memunggungi Nova, namun tak kunjung melangkah meninggalkan ruangan itu. “Jangan sesekali menguji ke
Angga merampas kunci mobil dan jaket kulit yang tergeletak di atas meja kerjanya dengan kasar. Ekspresi datarnya sudah cukup menjelaskan suasana hatinya di depan para pelayan yang berjaga. “Aldo, berikan aku kunci apartemen,” pinta Angga sambil menengadahkan tangannya di depan dada sahabatnya. “Untuk apa, tuan? Apakah tuan tidak tidur di rumah malam ini?” Langkah kaki Angga terhenti, “sejak kapan kau peduli dengan urusan pribadimu?” tanya Angga sinis. Sudah cukup emosinya dikuras habis oleh tingkah Nova, sekarang sahabatnya juga menguji kesabaran Angga.“M-maksudku, bagaimana jika nanti nyonya bertanya kemana anda pergi? Aku tidak mungkin menjawab tidak tahu.” Aldo menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebelum mendekatkan mulutnya ke sisi Angga. “Dia tidak akan mencariku. Dan aku sedang tidak ingin bertemu dengannya saat ini. Jangan hubungi aku jika aku tidak memberikan arahan apapun padamu,” ujar Angga. Ia merampas sebuah kartu yang sudah berada dalam genggaman Aldo kemudian