Awalnya, Morgan tak berkutik saat mendapat laporan bahwa Yuna bekerja dengan pria asing yang tempo hari membantunya. Namun, setelah Morgan amati, hampi satu minggu Yuna terus-menerus pulang larut. Mulai dari pukul delapan, sembilan, hingga puncaknya kemarin hampir menyentuh pukul sebelas. Morgan selalu berada di kamarnya yang tertutup, tetapi ia dapat mendengar langkah kaki Yuna dengan jelas saat ia menaiki tangga. Bukan berarti Morgan peduli. Hanya saja, hal ini mengusik ketenangannya hingga hari ini, Morgan merelakan waktu istirahatnya. Pria itu tak kembali ke kamar, melainkan menunggu di ruang tamu yang bermandikan cahaya bulan. Menjelang pukul sembilan, Morgan mendengar bunyi kenop pintu diputar. Disusul derap langkah kaki. Hingga Yuna nyaris berteriak saat mendapati sosok Morgan tengah duduk di kursi rodanya. Pria itu memandang Yuna dengan tatapan datar dan dingin, persis seperti hantu. “Kamu belum tidur?” tanya Yuna, kemudian menyalakan lampu. Cahaya yang terang membuat Mor
“Kita ulangi,” ucap Lina dengan serius. “Kau tahu siapa dirimu, bukan?” Wanita itu bertanya. Di sisinya, ada seorang gadis muda berusia dua puluhan.Gadis berwajah sederhana dengan rambut panjang yang diikat ke belakang itu mengangguk. “Aku adalah Nita dari Bandung. Aku memiliki ibu yang sakit-sakitan dan bapak yang hanya serabutan. Aku terpaksa pergi ke Jakarta karena membutuhkan pekerjaan,” ucap Nita dengan lancar seolah telah menghafalnya. Kecuali namanya, semua informasi itu palsu dan buatan. Ia baru saja ditawari pekerjaan bernilai fantastis dan katanya ia harus menciptakan latar belakang yang mengenaskan agar diterima. Nita setuju untuk melakukannya demi pekerjaan barunya. “Bagus,” puji Lina, “Mulai sekarang, itulah identitas dan latar belakangmu,” tuturnya. Nita tersenyum dan mengangguk. Gadis itu tidak tahu wanita macam apa yang tengah menjalin kerja sama dengannya itu. Satu yang pasti, Lina berani menawarkan gaji tambahan sebesar lima juta hanya untuk mengamati. Itu taw
Nita terlihat takjub dan terkesima begitu mereka tiba di kediaman majikannya. Nita tahu Yuna adalah orang yang cukup berada sebab dia memiliki pelayan. Namun, pakaian wanita itu terlihat sederhana hingga kini Nita tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat kediaman Yuna yang nyaris seperti istana. “Rumahnya benar-benar besar, Kak,” komentar Nita. Yuna hanya tersenyum canggung. Jelas besar, sebab itu adalah rumah Morgan, bukan dirinya. Pandangan Yuna teralihkan saat ia melihat sebuah mobil putih asing terparkir di halaman. Morgan memang memiliki beberapa mobil, tetapi semuanya didominasi oleh koleksi berwarna gelap. “... apakah ada tamu?” Yuna bergumam kepada dirinya sendiri. Akhirnya, layaknya seorang tuan rumah yang sebenarnya, Yuna membimbing Nita memasuki kawasan rumah megah tersebut. “Aku akan memperkenalkanmu kepada Morgan terlebih dahulu sebelum—”“Apa-apaan ini, Morgan!?” Satu suara wanita menghentikan perkataan Yuna. Asalnya dari ruang tamu. “Kau sudah menikah tanpa
Hanya tinggal menghitung hari sampai rapat besar pemegang saham diadakan. Itu adalah satu acara penting yang diadakan dua kali dalam setahun. Semua investor dan senator penting perusahaan akan berdatangan. Merundingkan dan mengevaluasi kinerja direktur utama perusahaan mereka. Jika dianggap bagus dan memuaskan, maka posisi itu akan tetap diduduki oleh orang yang sama. Sebaliknya, mereka bisa saja menggantinya dengan yang lain jika dianggap kinerjanya kurang membawa perubahan. Namun, tetap, keputusan utama berada pada pendiri perusahaan yang tidak lain adalah kakek Morgan. Morgan telah menjadi direktur utama selama tiga kali berturut-turut. Rapat selanjutnya akan berlangsung besok. Selama ini, suaminya selalu menunggu kesempatan. Morgan dan Dimas selalu menjadi kandidat terkuat untuk menjadi direktur utama berikutnya. Dan, Dimas selalu kalah. Lina benci mengakuinya, tetapi kemampuan Morgan memang luar biasa hebat. Hingga Lina selalu cemas dan meminum obat penenang selama detik-det
Deg Jantung Morgan seakan berhenti berdetak saat itu juga. Tangannya refleks menggenggam kursi roda dengan erat. Sial. Pamannya benar-benar membawa topik ini ke dalam rapat mereka. “Semua orang belum mengetahuinya, bukan?” tanya Dimas lagi. Raut wajahnya terlihat percaya diri dan bersemangat untuk menjatuhkan Morgan. “Dia diam-diam menikah dengan seorang gadis miskin dan tidak jelas latar belakangnya!” sergah Dimas. Suasana rapat yang semula berjalan lancar dan tenang itu seketika menjadi ribut. “Apakah itu benar?” “Bagaimana bisa?” “Bukankah dia sudah dijodohkan dengan anak pengusaha lainnya? Mengapa dia justru memilih gadis miskin?” Bisikan dan komentar terdengar bersahut-sahutan. Morgan semakin memanas di kursinya. Ia menatap sengit ke arah Dimas yang balik memandangnya dengan sorot menantang. “Bukannya menikah dengan anak pengusaha lainnya, dia justru menikahi gadis miskin. Secara diam-diam! Bagaimana perusahaan kita akan berkembang di tangan orang yang tidak mengerti b
Mendengar saran sang ayah, Morgan sontak menoleh dan menatap ke arah ayahnya dengan sorot tak senang bercampur jijik. “Aku mungkin berengsek, tapi aku tidak akan pernah melakukan hal hina seperti itu,” ucapnya. Sejak dahulu, Morgan selalu berpikir mencintai dua wanita sekaligus adalah hal paling rendah yang bisa dilakukan oleh seorang pria. Lebih baik Morgan tak mendapatkan seluruh perusahaan daripada harus melakukan hal kotor semacam itu. William justru menyeringai mendengar jawaban sang putra. Dia menepuk bahu Morgan satu kali. “Kamu mungkin memandangnya sebagai ide yang buruk sekarang,” katanya, “Tapi, pikiranmu akan segera berubah nanti. Percayalah. Itu adalah keputusan paling bijak yang bisa kau lakukan,” ucap pria itu, kemudian berjalan pergi meninggalkan Morgan yang mulai larut dalam lamunan. Semakin dipikirkan, Morgan justru semakin enggan untuk melakukannya. Selama ini, hanya ada Evelyn dalam hatinya. Ia tak bisa membayangkan dirinya menyukai ataupun bersama orang lain
“Keluarlah,” titah Morgan dengan suara dingin khas dirinya. Begitu acara selesai, awalnya Yuna ingin kembali menggunakan taksi. Ia tidak tahu apakah ia diizinkan untuk menaiki mobil Morgan. Tetapi kemudian Morgan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah melalui perjalanan yang canggung dan kaku, mobil mereka justru berhenti di depan sebuah restoran yang terlihat terang dan ramai. “Mengapa kita berhenti di sini?” tanya Yuna dengan bingung. “Turun saja,” titah Morgan dengan penuh teka-teki. Yuna tidak tahu tempat ini, tetapi akhirnya dia mengikuti perintah Morgan dan keluar dari mobil itu. Benny dan Morgan turut keluar dan berjalan mendahului memasuki restoran itu, sementara Yuna mengekor di belakang mereka. Restoran itu terlihat besar, mewah, dan terang dari luar. Rupanya bagian dalam tempat itu terlihat jauh lebih bagus. Penataan bangkunya sangat rapi. Barang-barang yang dipilih pun terlihat berkualitas dan Yuna bisa langsung mencium aroma makanan di udara. Yuna te
Yuna berbohong. Ia tahu tindakannya salah karena membohongi suaminya sendiri. Akan tetapi, pikirannya tidak tenang setelah meninggalkan begitu banyak makanan di meja. Mubazir, pikirnya. Akhirnya, dengan alasan mengambil barang yang tertinggal, Yuna kembali dan meminta pelayan untuk membungkus makanan-makanan itu. Morgan pasti marah jika mengetahuinya, Yuna tahu. Akan tetapi, itu lebih baik daripada ia membiarkan semua makanan itu. Hingga rencana Yuna menjadi berantakan saat ia tanpa sengaja berpapasan dengan Sean. Pria itu mendatangi restoran bersama Aubrey dan keduanya tampak sangat mesra. Mereka pun terkejut saat tahu-tahu melihat Yuna di sana. “Apa yang kau lakukan di sini, Yuna?” tanya Sean. Dia menatap Yuna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan Yuna memang terlihat lebih baik daripada sebelumnya, tetapi itu tidak serta-merta membuat Yuna pantas berada di sana. Satu yang menarik perhatian Sean adalah bingkisan berisi makanan yang berada di tangan Yuna. “Apakah ka