Share

40 POV Bara

Author: Lusiana
last update Last Updated: 2025-12-02 12:00:14

Isakan Aisyah masih terdengar bahkan setelah aku menutup pintu kamar dengan kasar. Suara itu menggema di telingaku, seolah menampar balik kesadaranku lebih keras daripada tanganku yang barusan mendarat di pipinya. Tapi alih-alih menenangkan diri, aku justru memilih masuk ke kamar dan membiarkan Bela menyusulku dari belakang.

Aku tahu aku salah. Tapi seperti biasa, egoku lebih cepat mengambil alih daripada nurani. Aku kesal, marah, tapi entah pada siapa sebenarnya amarahku itu ditujukan.

Aku melangkah keluar kamar beberapa menit kemudian. Niatku hanya satu meminta maaf pada Aisyah. Setidaknya untuk malam ini. Tapi begitu berdiri di depan pintu kamar tempat ia dan Arka tidur, kakiku tertahan. Pintu itu tertutup rapat. Lampunya masih menyala samar, menyelinap dari celah di bawah pintu.

“Aisyah… maaf,” bisikku lirih.

Itu saja yang sanggup keluar dari mulutku. Aku tidak cukup kuat untuk mengetuk pintu, apalagi masuk. Aku hanya berdiri di sana, memandangi pintu itu seperti orang bo
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Suprihatiningsih
kok jadi gemes sama bara nih...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pernikahan Penuh Luka   94.Retakkan Yang Tak Pernah Utuh

    Aku masih duduk di tepi ranjang ketika suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Langkah itu berat, datar, dan sangat kukenal. Tanpa perlu menoleh, aku tahu siapa pemiliknya. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. “Aisyah,” panggil Bara singkat. Aku mengangkat wajah. “Iya?” Bara berdiri di ambang pintu dengan kemeja rapi, wajah dingin tanpa ekspresi. Tatapannya menyapu tubuhku sejenak, lalu beralih ke ponsel yang masih kugenggam. “Kamu belum turun?” tanyanya. “Badanku kurang enak,” jawabku jujur. Bara menghela napas pendek. “Kamu selalu bilang begitu akhir-akhir ini.” Nada suaranya tidak keras, tapi menusuk. Aku berdiri perlahan dan menatapnya. “Aku tidak mengada-ada, mas. Aku memang tidak enak badan.” “Kalau sakit, bilang. Jangan diam saja,” katanya datar. Aku hampir tersenyum getir. Sejak kapan dia peduli dengan caraku diam? Sikap yang dulu kembali lagi kepada sisi Bara. “Aku sudah bilang sekarang,” ucapku pelan. Bara terdiam sejenak. “Bela menunggu di bawah

  • Pernikahan Penuh Luka   93.Perasaan Yang Sama

    Pagi menyambut dengan cahaya matahari yang perlahan menyusup melalui celah tirai kamar. Namun, tubuhku terasa begitu berat, seolah semalam aku mengangkat beban yang tak kasatmata. Kepalaku sedikit pening, bahuku pegal, dan napasku terasa lebih pendek dari biasanya. Aku terdiam beberapa saat di atas ranjang, menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum benar-benar memulai hari. Dengan sisa kekuatan yang ada, aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Air dingin yang membasuh wajahku tak sepenuhnya mengusir lelah, tapi cukup menyadarkanku bahwa hari ini tetap harus kujalani. Aku membersihkan diri dengan gerakan lambat, sesekali memejamkan mata, berharap rasa tidak nyaman di tubuhku segera mereda. Selesai mandi, aku mengenakan pakaian sederhana dan menyisir rambut seadanya. Saat sedang mengancingkan baju, ponselku yang tergeletak di atas meja bergetar. Getaran itu cukup membuatku terkejut. Aku melirik layar ponsel dan mendapati nama yang muncul membuat jantungku berde

  • Pernikahan Penuh Luka   92.Menangis Tanpa Suara

    **** Aku tersenyum puas saat melihat Bara dan Aisyah masih terjebak dalam perang dingin yang tak kunjung mencair. Pemandangan itu selalu memberiku kepuasan tersendiri. Bagiku, dinginnya hubungan mereka adalah bukti bahwa posisiku semakin kuat. Tak masalah jika Bara masih bersikap datar padaku aku tahu, perasaannya perlahan telah bergeser. Yang terpenting, ia sudah tak lagi menaruh kepedulian pada Aisyah seperti dulu. Aku berdiri di sudut balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Dari balik kaca, kulihat Bara akhirnya beranjak, meninggalkan balkon dan memilih kembali ke kamar untuk tidur. Senyum tipis terukir di bibirku. Setiap jarak yang tercipta di antara mereka adalah langkah maju bagiku. Begitu Bara masuk ke kamar, aku segera meraih ponselku. Ada satu nama yang selalu berhasil membuatku merasa aman seseorang yang selama ini menjadi bagian dari rencanaku, orang yang tahu betul bagaimana membantuku mengatur segalanya dari balik layar. Jariku bergerak cepat di atas layar

  • Pernikahan Penuh Luka   91.Badai Belum Berakhir

    **** Aku melangkah masuk ke dalam kamarku,ku lihat Arka yang sudah tertidur dengan nyenyak. Tubuh kecil itu sudah terlelap, napasnya teratur, wajahnya polos tanpa tahu apa pun tentang kekacauan dunia orang dewasa yang mengelilinginya. Aku menutup pintu perlahan, takut suaranya mengusik tidur Arka atau mungkin, mengusik hatiku sendiri. Aku duduk di tepi ranjang, lalu meraih ponsel yang sejak tadi bergetar tanpa henti. Layar menyala, menampilkan puluhan pesan dari customer yang menanyakan pesanan, komplain, dan janji pengiriman. Aku menghela napas panjang. Namun, satu nama membuat dadaku mendadak sesak. Dokter Aldi. Tanganku gemetar saat membuka pesannya. Aisyah, saya akan berangkat ke luar negeri dalam waktu dekat. Sebelum itu, saya berharap bisa bertemu dengan kamu dan Arka. Ada sesuatu yang ingin saya berikan untuk Arka. Tolong beri kabar. Aku menatap layar itu lama. Terlalu lama. Kata-kata sederhana itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kepalaku lang

  • Pernikahan Penuh Luka   90.Di Balik Senyum Bela

    "Akhirnya."gumamku lirih. Pintu kamar itu tertutup perlahan di belakangku. Suara langkah Bara menjauh di lorong, meninggalkan aku sendirian dengan keheningan dan kemenangan yang sejak tadi berdenyut di dadaku. Aku menegakkan tubuh, menyeka sisa air mata di pipi. Tangis palsu itu melelahkan, tapi hasilnya sepadan. Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Wajahku masih terlihat pucat, mata sedikit merah, seolah aku benar-benar perempuan malang yang ikut terluka. Aku tersenyum. Tidak. Aku tidak terluka sama sekali. Yang hancur hari ini bukan aku. Aisyah. Bayangan wajahnya saat terduduk lemas di lantai ruang keluarga kembali terlintas di kepalaku. Tatapan kosong, bahu gemetar, suara tangis yang pecah. Indah. Terlalu indah untuk disebut kebetulan. Semua itu adalah hasil dari perhitungan matang setiap air mata, setiap tuduhan, setiap potongan bukti yang kususun rapi seperti puzzle. Mereka tidak pernah tahu, semua itu bermula jauh sebelum hari ini. Aku mendekati m

  • Pernikahan Penuh Luka   89.Permainan Bela

    **** “Hah… akhirnya.” Kalimat itu meluncur pelan dari bibirku, seperti bisikan kemenangan yang terlalu lama ku tahan. Hari ini akhirnya datang juga hari ketika Aisyah akan tersingkirkan sepenuhnya, dan Bara akan menjadi milikku tanpa gangguan, tanpa bayang-bayang perempuan sok suci yang selama ini dielu-elukan semua orang. Sejak pagi, kalimat itu berputar-putar di kepalaku, berulang tanpa henti. Aku menatap bayanganku sendiri di layar ponsel yang gelap. Sorot mataku terlihat puas, senyum tipis terukir rapi. Semua rencana yang kususun perlahan, penuh kesabaran dan kepura-puraan, akhirnya berjalan sempurna. Tidak ada kesalahan. Tidak ada celah. Aisyah jatuh tepat di perangkap yang ku buat sendiri jerat yang kukencangkan sedikit demi sedikit hingga ia kehabisan napas. Tanganku bergerak cepat mengetik pesan untuk Bu Indah, ibu mertua Bara. Perempuan yang selama ini terlihat netral, tapi sebenarnya hanya menunggu waktu yang tepat untuk memihak. Pesan terkirim. Tak lama kemudian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status