Andika menatapku penuh iba.
Sementara aku, seperti orang linglung yang kehilangan akal.
Yang bisa aku lakukan hanyalah bengong, sambil berkali-kali menarik nafas panjang.
Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan kami.
Namun, selera makanku menjadi hilang.
Andika yang semula duduk di depan kini berada di sebelahku, sambil menyodorkan secangkir mocha hangat.
Ku genggam cangkir dengan kedua tanganku, merasakan hangatnya menyentuh jari jemariku.
"Aku akan berada di sampingmu, Ranti. Kita hadapi ini bersama-sama."
Kini, selain hangat secangkir mocha, ada kehangatan lain yang kurasakan.
Ketika Andika menggenggam tanganku.
"Terima makasih, Dika. Tapi, aku tak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Apalagi ini ...."
"Ssssstttt ...."
Kalimatku terhenti, saat Andika meletakkan dua jarinya di bibirku.
<
Setelah mempertimbangkan masukan dari Andika untuk melaporkan Zen, dengan UU IT, karena tindakannya tersebut berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan.Dan sudah bisa dipidanakan, karena sudah ada ancaman di dalamnya.Ancaman menyebarkan foto tanpa ijin.Kuhubungi Mas Yoga, dan mengatakan akan datang ke tempat kosku sepulang kerja.Sementara Mas Bayu tidak bisa datang, karena kebetulan sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya.Namun Mas Bayu memberi dukungan penuh dengan keputusan yang aku buat.Aku berharap, setelah ini, tak akan lagi ada permasalahan.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.Kucari-cari benda berbunyi nyaring tersebut, hingga kudapati ia ada di dalam laci.Buru-buru kutekan tombol warna hijau untuk menerimanya.Mungkin sebuah kabar penting, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponku.Saat sambungan telepon
-Pekerjaan akan cepat selesai, jika dikerjakan bersama-sama-Sambil menunggu pesanan kami datang, kami mencoba membahas hal-hal yang ringan.Walau awal percakapan terasa kaku, namun lambat laun kami menjadi akrab dan percakapan diantara kami makin cair."Mbak April, aku benar-benar minta maaf dengan apa yang pernah terjadi antara aku dan Zen," ucapku meraih tangan April."Aku sungguh-sungguh tidak tau kalau saat itu dia masih berstatus suami Mbak. Karena yang aku tau, dia adalah duda dengan satu anak. Mbak ... mau, kan, memaafkan aku?"Kulihat April nenunduk, sambil menggenggam tanganku.Aku tau, bukan hal yang mudah untuk memaafkan seseorang yang telah menyebabkan rumah tangganya di ujung kehancuran. Bahkan sampai kehilangan anak yang ada dalam kandungannya.Dihelanya nafas dalam-dalam sebelum akhirnya April berkata."Aku sudah
-POV Aprill-****Hari ini, ketika aku sibuk menyiapkan persiapan ulang tahun untuk Ibuku, sebuah panggilan masuk ke telepon genggamku.Kulihat tertulis nama Miranti di layar.Aku sengaja tidak segera mengangkatnya, karena aku selalu beranggapan bahwa, jika memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, maka seseorang akan kembali menghubungi jika panggilan pertama tidak di jawab.Setelah dua panggilan tidak aku jawab, aku berpikir dia tak akan menelepon lagi.Ternyata aku salah.Maka, pada panggilan ke tiga, aku buru-buru menjawab panggilannya.Dari seberang, kudengar suara seorang wanita, yang aku yakini adalah suara Miranti.Suaranya terdengar sedikit gemetar.Walau kami sering berkomunikasi, tapi kami hanya berkomunikasi lewat pesan.Dan ini adalah kali pertama kami ngobrol melalui sambungan telepon.Ada rasa canggung saat kami memul
Andika yang tiba-tiba sudah ada dalam ruangan, mengagetkanku.Dia mengatakan bahwa aku ditabrak, bukan ditabrak.Mendengar apa yang dikatakan Andika, pikiranku diliputi berbagai pertanyaan.Siapa yang dengan sengaja menabrakku atau kenapa aku ditabrak dan apakah aku menegenal orang yang menabrakku?Belum lagi pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku terjawab, Ningrum menimpali kalimat Andika, yang semakin membuat kepalaku bertambah pusing."Andika benar, Ranti. Karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, ketika pengendara motor tersebut sengaja menabrakmu."Ningrum mendekatkan mulutnya ke telingaku, seolah takut ada orang lain yang mendengar apa yang baru saja dia katakan."A-apa yang kalian bicarakan? Kepalaku sakit sekali."Aku berkata sambil memegang kepalaku yang tiba-tiba berdenyut dan terasa seperti dipukul benda tumpul, hingga membuatku meringis
"Mas mau keluar sebentar mencari udara segar, sekaligus mau memberitahu Mama juga Mbakmu, Laras. Kalau belum bisa pulang hari ini."Mas Yoga berkata sebelum keluar ruangan."Dika, aku titip Ranti sebentar ya. Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku." Mas Yoga melanjutkan kalimatnya.Hingga kemudian berjalan kearah pintu dan menghilang dari pandangan.Ruangan dimana aku dirawat menjadi hening.Hanya ada aku dan Andika, yang sibuk dengan pikiran kami masing-masing.Sementara aku sendiri, masih dihantui rasa takut. Apalagi setiap mengingat peristiwa beberapa hari yang lalu, saat motor yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrakku.Dan tiap kali mengingatnya, kepalaku terasa begitu sakit."Ranti ... kamu tidak apa-apa?" tanya Andika yang sudah berdiri di dekat brankar."A-aku tidak apa-apa Dika, hanya kepalaku terasa sakit tiap
Rasanya tak sabar menunggu Andika datang sambil membawa mocha hangat.Beberapa kali aku meneleponnya, namun sambungannya selalu sibuk.Mungkin dia sedang ngobrol di telepon.Karena bosan sendirian, kucoba menghubungi Mas Yoga.Namun, telepon Mas Yoga pun sama, tidak dapat dihubungi.Oh iya, mungkin Mas Yoga sedang menelepon Mbak Laras.Bukankah tadi memang ingin menelepon istrinya sekaligus memberitahu bahwa belum bisa pulang.Sebenarnya aku ingin turun dari brankar, namun kepalaku sedikit berdenyut, sehingga kuurungkan niatku dan memilih untuk mengambil remot dan menonton salah satu acara di televisi.Ku kecilkan volume televisi, sehingga aku tetap bisa mendengar jika sewaktu-waktu ada yang meneleponku.Sengaja kuletakkan ponsel di bawah bantal.Ketika tiba-tiba, kulihat seseorang berjalan mengendap mendekat ke pintu.
-Ningrum-***Kuputuskan untuk datang kembali ke rumah sakit, setelah panggilan teleponku tidak dijawab Miranti, ada rasa cemas dan khawatir akan terjadi sesuatu padanya.Apalagi, Andika dan mas Yoga juga tidak sedang bersama Miranti.Kupacu langkah menyusuri koridor yang sedikit lengang, hanya beberapa perawat yang berpapasan denganku dan beberapa keluarga pasien yang kebetulan berada di luar ruangan.Dari jauh, tampak beberapa orang berkerumun di ruangan dimana Miranti di rawat. Terlihat beberapa petugas keamanan dan polisi berada di sana.Jantungku berdetak makin kencang, saat kulihat seseorang dibawa oleh polisi dengan tangan di borgol.Zen ....?Jantungku seakan berhenti berdetak, ketika orang dengan borgol di tangan berpapasan denganku.Mereka berlarian menuju ke tempat yang sama, ruangan dimana Miranti berada.Benar, dia adalah Zen.Apa yang terjadi? Kenapa di
"Mas Yoga ...." Panggilku lirih.Mendengar panggilanku, Mas Yoga menghambur dan memelukku."Kamu sudah sadar, Ranti? Syukurlah, terima kasih Tuhan."Mas Yoga menengadahkan kedua tangannya, sebagai rasa syukur. Kurasakan, mataku menghangat karena menahan haru, lalu perlahan mata yang tak kuasa menahan desakan air mata yang berontak keluar, membiarkannya meleleh, hingga membasahi kedua pipiku."Aku ingin pulang, Mas ... aku kangen Mama," ucapku lirih, sambil mengusap airmata."Tentu saja, Ranti. Sebentar lagi kita akan pulang."Dengan sedikit gugup, mas Yoga menjawab. Lalu, bergegas keluar ruangan. Kulihat mas Yoga mengusap air mata, yang tadi dia sembunyikan dariku.Mas Yoga menangis? Tapi kenapa? Bukankah aku baik-baik saja?Tidak berapa lama, mas Yoga kembali bersama dokter dan seorang perawat.Dokter menanyakan beberapa pertanyaan padaku, dan aku menjawab dengan lancar semua pe