Home / Fantasi / Pewaris Langit Ketujuh / Bab 1: Petir Emas & Darah Langit

Share

Pewaris Langit Ketujuh
Pewaris Langit Ketujuh
Author: Andi Iwa

Bab 1: Petir Emas & Darah Langit

Author: Andi Iwa
last update Last Updated: 2025-07-21 03:03:15

Bab 1 – Petir Emas & Darah Langit

Malam itu, langit tak hanya memerah. Ia menangis darah dan memanggil bocah yang seharusnya mati kemarin.

Gohan Lee berdiri sendirian di ladang tua saat angin berhenti dan udara membeku. Bocah kurus itu memeluk keranjang rumput liar di dadanya. Pakaiannya tambal-sulam. Kain lusuh membebat tangan kanannya, sisa luka sabit bulan lalu.

“Anak dungu itu lagi,” gumam seorang petani dari kejauhan. “Masih belum kapok dihina?”

Gohan menunduk, pura-pura tak dengar. Sejak kecil ia dikenal lamban, bodoh, dan tak berguna. Tapi malam ini... bumi menyimpan sesuatu untuknya.

Tanah bergetar pelan.

Langit... berubah merah darah.

“Apa-apaan ini...?” Gohan mendongak.

Pusaran awan hitam menggulung tepat di atas kepalanya. Angin lenyap. Burung diam. Lalu suara datang dari dalam bumi, geraman rendah seperti raksasa bangkit dari tidur.

Dan tiba-tiba...

BLAAARRRR!!!

Petir emas menyambar keras. Tanah di depan Gohan terbelah. Api memancar melingkar. Dari kawah itu muncul sebuah pedang. Berdiri tegak. Tak bergoyang.

Pedang berkilau merah emas, dengan gagang berbentuk naga menggigit ekornya. Aura panas mengalir darinya. Udara berdengung. Waktu seakan berhenti.

Gohan terpaku. Tubuhnya menolak bergerak. Lalu suara datang.

“Gohan...”

“Kau belum siap. Tapi waktumu tiba.”

Suara itu bukan suara manusia, tapi gema... dari langit.

“Apa... siapa kau?” Gohan tergagap, lututnya gemetar.

Tak ada jawaban. Tapi dadanya membara. Jantungnya berdetak seperti genderang perang. Dan di kejauhan... terdengar benar-benar suara genderang. Samar. Jauh. Tapi nyata.

Beberapa petani yang melihat kejadian itu menjerit.

“P-Pedang Langit!”

“Itu bukan legenda?!”

“PEDANG ITU MEMILIH PEWARISNYA!”

Gohan melangkah, tak sadar.

Satu langkah.

Dua.

Tiga.

Tangannya mengulur. Tak tahu kenapa. Tapi darahnya... tahu pedang ini memanggilnya.

Begitu jemarinya menyentuh gagang...

BZZZZTTT!!

Cahaya menyambar.

Dunia runtuh.

Gohan berdiri di tengah medan perang. Ribuan mayat berserakan. Sungai darah emas mengalir dari tubuh para dewa. Di kejauhan, seseorang berdiri...

...dengan wajah yang sama persis dengannya.

Namun mata sosok itu bersinar merah. Di tangannya, pedang yang sama, berlumuran darah para penguasa langit.

“Aku... siapa?”

Gambaran itu hilang. Gohan terbangun di ladang. Tubuhnya terpental, jatuh keras.

“Ghh...!”

Ia meringis. Tapi tangannya... bersinar.

Di telapak tangan kanannya muncul simbol melingkar, bercahaya emas, dengan tujuh bintang kecil di dalamnya. Simbol itu berdenyut pelan, menyala lalu meredup.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gohan merasa... ia bukan manusia biasa.

“Apa... yang terjadi dengan tubuhku?”

Langkah-langkah mendekat. Warga desa berkumpul. Tapi tatapan mereka... bukan hinaan. Tapi takut.

“Itu... simbol Langit Ketujuh!”

“Anak ini... pewarisnya?”

“Dewa penghancur... telah kembali?!”

Seorang tetua, yang biasa memaki Gohan sebagai beban, kini berlutut gemetar.

“Ribuan tahun... dan justru dia yang dipilih?”

“Aku?” Gohan tergagap. “Tapi aku cuma anak biasa...”

“Justru karena itu,” gumam sang tetua. “Langit tak pernah memilih dari singgasana, tapi dari lumpur.”

Sebelum Gohan bisa bicara, suara kembali bergema di benaknya.

“Cari tulang naga... sebelum fajar.”

“T-Tulang naga...?”

Pedang itu kini diam. Tapi langit belum selesai bicara.

Awan hitam menggulung dari utara. Angin berubah tajam. Dan di langit, muncul simbol besar, menyala merah darah: simbol klan Li.

“Itu segel darah terkutuk!”

“Klan Li... sudah punah, bukan?!”

“Siapa mereka?” tanya Gohan, bingung.

Tapi warga tak menjawab. Mereka memandangnya seolah melihat kutukan.

Tiba-tiba, seorang wanita menerobos kerumunan. Napasnya terengah. Wajahnya pucat.

Ibunya.

“GOHAN! Jangan sentuh pedang itu!” jeritnya. “Ikut Ibu sekarang juga!”

“Tapi... Ibu lihat sendiri. Pedang itu—”

PLAK!

Tamparan mendarat di pipinya. Bukan karena benci. Tapi karena takut.

“Kita harus sembunyi! Kalau mereka tahu kau yang dipilih... dunia akan memburu kita!”

“Siapa ‘mereka’? Apa maksud semua ini?! Aku cuma anak desa!”

Wanita itu memeluknya erat, tubuhnya gemetar.

“Maafkan Ibu... Kau bukan anak kandung Ibu, Gohan.”

Deg.

“Apa maksudnya...?”

“Kau... darah langit. Darah yang pernah menghancurkan surga.”

Dunia Gohan runtuh sekali lagi.

“Kenapa baru sekarang...?”

“Karena semuanya telah dimulai, dan kita tak bisa menghentikannya.”

“Ibu... aku takut...”

Sang ibu mencengkeram tangannya.

“Mungkin kau akan sendirian. Tapi dengarkan baik-baik... Darahmu mungkin milik langit. Tapi hatimu milikmu sendiri.”

Langit bergemuruh. Petir membelah awan. Sekilas, naga hijau raksasa menampakkan diri, lalu lenyap di antara kabut malam.

Pedang emas itu menyalak ke langit... lalu padam.

Tanah hangus. Langit tetap merah. Tapi luka di bumi dan cahaya di tangan Gohan tidak akan pernah benar-benar hilang.

Dan dari dalam pikirannya, suara itu terdengar sekali lagi.

“Langit tak pernah memilih pahlawan. Hanya alat... untuk menghancurkan segalanya.”

Gohan menatap langit, matanya gemetar.

Dan malam pun pecah. Bersama takdir yang baru saja terbangun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jumadil Susi
authornya orang Bugis yah ???
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 73 - Rahasia Pedang Langit Ketujuh Terkuak, Kunci Dunia dan Kutukan Abadi

    Hening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 72 - Sekte Bayangan Mengintai, Pengkhianatan dari Dalam

    Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 71 – Kebangkitan Terlarang

    Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 70 – Warisan atau Kematian?

    Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 69 – Kehendak yang Tak Pernah Mati

    Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 68 - Teknik Terlarang yang Diciptakan Gohan

    Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status