Langit baru saja mengakhiri gemuruh petirnya. Tapi di dada Gohan, suara itu masih bergema. Bukan suara ibunya. Bukan teriakan penduduk desa. Tapi bisikan dari pedang itu, dalam bahasa yang tak diajarkan manusia.
“Cari tulang naga sebelum fajar.” Tapi apa maksudnya? Di mana harus mencari? Dan siapa dirinya sebenarnya? Gohan menatap tangannya. Masih ada bekas cahaya keemasan samar yang bersinar dari bawah kulitnya. Pedang yang tadi menusuk bumi kini terdiam. Namun auranya mengintai seperti raksasa yang pura-pura tertidur. Malam belum usai. Dan takdirnya baru saja membuka mata. Desa Langit Sepi menjadi langit yang benar-benar sepi malam itu. Setelah insiden cahaya, badai, dan naga yang hanya muncul sesaat, penduduk desa memilih diam. Mereka takut menyebut nama Gohan. Takut jika langit mendengar. Gohan duduk di dekat ibunya yang tertidur tak tenang. Wajah wanita itu menua seketika sejak mengakui kebenaran. Tentang asal-usulnya. Tentang darah langit. Tentang kehancuran. Tangannya menyentuh gagang pedang emas yang kini tak lagi bercahaya. Tapi saat dia menutup mata, semuanya kembali. Cahaya. Darah. Dan perang. Gohan melihat sosok dirinya, atau seseorang yang mirip dirinya, berdiri di atas benteng. Pakaian lapuk oleh darah. Di bawahnya, lautan api dan pasukan iblis membakar tanah. Tapi yang paling mengerikan adalah sosok itu tersenyum. Senyum pembantai. Gohan terbangun dengan napas memburu. “Apa itu masa depan? Atau masa lalu?” Pedang di sampingnya tampak bergetar pelan. “Kau sudah melihat.” Suara itu datang entah dari mana. Kini lebih jelas. Bukan lagi bisikan, tapi perintah. “Siapa kau?” “Aku... adalah saksi dari tujuh langit. Dan kau... pewaris kehancuran mereka.” Gohan memutuskan pergi. Ia tahu bahaya menanti jika tinggal. Tapi ke mana dia harus pergi? Dia hanya anak desa. Bukan petarung. Bukan biksu langit. Bukan siapa-siapa. Namun langkahnya membawanya ke tempat pertama kali dia bermimpi soal pedang itu, sungai mati di balik Hutan Ibu. Di sana, dia sering melihat cahaya keemasan dalam mimpinya. Dan malam itu, sungai mati itu berdenyut. Airnya menghitam, memantulkan cahaya merah darah. Di tepi batu tertua di sana, terdapat tulang. Bukan tulang biasa. Panjangnya dua meter, melengkung seperti tanduk naga. Tapi bukan itu yang membuat Gohan gentar. Tulang itu... bernafas. Saat tangannya menyentuh tulang itu, simbol di punggung tangannya membakar lagi. Pedang emas di desa, yang dia bawa terbungkus kain, bergetar hebat. Lalu berubah. Warna emasnya pudar menjadi hitam berkilau. Seolah menyatu dengan kegelapan malam. Simbol di tengah pedang muncul jelas. “Pewaris Ketujuh.” Langit langsung bergetar. Daun-daun runtuh. Tanah terbelah di bawah Gohan. "Huwaaaakh!" Api keemasan keluar dari dadanya. Matanya mendadak terbakar. Simbol naga berputar di pupilnya. Langit kembali tenang. Tapi Gohan tetap berdiri terpaku. Tubuhnya bergetar, bukan karena hujan atau petir. Melainkan dari sesuatu yang kini merayap di nadinya. Sesuatu yang bukan miliknya. “Darahku...” Ia melirik tangannya. Urat-uratnya bersinar samar keemasan. “Kenapa berubah begini?” Seakan menjawab, suara dari dalam pedang bergema kembali. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Bukan hanya gema... melainkan perintah. “Kau adalah keturunan terakhir. Pewaris Langit Ketujuh. Segel dalam tubuhmu telah retak. Cari Tulang Naga... atau dunia akan binasa.” “Siapa kau?!” Gohan teriak. Tapi suara itu tak menjawab lagi. Langkah-langkah berat dari kejauhan memecah keheningan. Para tetua desa mulai mendekat. Wajah mereka tegang. Tapi alih-alih marah, mereka... berlutut. "Anak ini... benar-benar klan Li." Salah satu tetua tua bergetar. "Tanda di dahinya... sama seperti di gulungan langit. Dewa penghancur..." Gohan melangkah mundur. Dewa penghancur? Dia? "Jangan dekati dia!" seru salah satu pendeta. "Itu bukan kekuatan manusia. Itu kutukan langit!" “Kutukan?” Gohan mencengkeram dadanya yang terasa panas. “Atau... warisan?” Malamnya, Gohan mencoba tidur. Tapi bisikan dari pedang terus menghantui benaknya. Ia memutuskan kembali ke tempat pedang jatuh. Berharap menemukan jawaban. Tapi yang ia temukan justru sesuatu yang jauh lebih menyeramkan. Begitu ia menyentuh gagang pedang lagi, dunia sekelilingnya lenyap. Gohan tersedot ke dalam pusaran cahaya, lalu... ...mendarat di tengah medan perang purba. Tanah penuh mayat. Langit terbakar merah. Di kejauhan, berdiri seorang pria muda dengan mata emas. Membawa pedang emas yang sama. Wajahnya... "Itu aku..." Gohan bergumam. Tapi sosok itu bukan dia. Setidaknya bukan yang ia kenal. Sosok itu menyeringai. Lalu menebas pasukan manusia tanpa ampun. Dengan satu tebasan, puluhan kepala melayang. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada keraguan. Suara dari langit menggelegar. “Pewaris Ketujuh. Penghancur tatanan. Penguasa langit yang dibuang!” Tiba-tiba pandangan itu retak seperti kaca. Gohan kembali terhuyung dalam tubuhnya sendiri. Pedang kini bersinar hitam. Bukan lagi emas. Ujungnya meneteskan cairan... darah. Gohan terduduk di tanah. Napasnya memburu. Seluruh tubuhnya gemetar. Bukan karena dingin. Ketakutan? Atau... kebenaran yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya? “Itu tadi bukan mimpi... itu ingatan.” “Tapi ingatan siapa? Aku... atau dia?” Ia memandangi pedang yang kini berkilau hitam di pangkuannya. Warna keemasan sebelumnya seolah tertelan oleh bayangan. Tapi meskipun hitam, pedang itu terasa hidup. Berdetak. Seperti jantung kedua yang kini menyatu dengannya. Gohan menggenggam gagangnya. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasakan panas. Melainkan dingin menusuk. Pedang itu sedang menilai dirinya. “Apa yang kau inginkan dariku?” bisiknya. Dan untuk pertama kalinya, pedang menjawab. Bukan dengan kata. Tapi dengan emosi. Duka. Penyesalan. Kemarahan. Seolah pedang itu menyimpan ribuan kenangan. Dan kini semuanya dibebankan pada Gohan. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Ia tidak tahu kenapa menangis. Tapi jiwanya terasa kosong... dan penuh... pada saat yang sama. Seperti ada dua takdir yang saling tarik-menarik dalam tubuhnya. Yang satu ingin menyelamatkan dunia. Yang satu ingin membakarnya. “Aku bukan dewa. Aku juga bukan iblis,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku... hanya Gohan.” Tapi bahkan suaranya sendiri terasa asing sekarang. Langkah-langkah dari arah hutan mengejutkannya. Han Bei, sahabatnya, muncul dengan wajah panik. “Gohan! Desa... desa diserang! Api biru muncul entah dari mana! Para tetua bilang ini kutukan pedangmu!” “Apa?!” Han Bei menarik tangannya. “Cepat! Ibumu masih di sana! Dia bilang... dia tahu kenapa pedang itu memilihmu!” Gohan menoleh ke arah desa yang terlihat di kejauhan. Asap membumbung tinggi. Biru. Menyala seperti roh amarah. Rumah demi rumah runtuh. Teriakan terdengar. Dan Gohan tahu, waktunya untuk memilih bukan besok. Tapi sekarang. Ia mencabut pedangnya. Warna hitam itu berdenyut. Menyatu dengan nadi dan pikirannya. Saat Gohan melangkah ke desa, suara pedang kembali berbisik di telinganya. “Jangan percaya pada darahmu. Bahkan ibumu bukan milikmu.” Langkahnya terhenti. “Apa maksudmu?” Tapi pedang tak menjawab. Dan saat ia tiba di depan rumahnya, Gohan melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan... Ibu angkatnya berdiri di tengah api. Menusukkan belati ke dadanya sendiri sambil tersenyum. “Maafkan aku, Gohan,” bisik wanita itu. “Aku harus menyegel airmu... sebelum mereka tahu kau masih hidup...”Hening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.
Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m
Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det
Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya
Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun
Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh