Share

BAB 7

“Kau melewatkan makan malam bersama.”

Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.

Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.

Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.

“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyakinkan dirinya bahwa ada hal yang salah di sini.

Aku membuang napasku kasar dengan suara keras. Sengaja, agar pria itu tahu aku lelah dengan basa-basinya yang tidak masuk akal seperti sekarang ini. “Ya, semuanya baik-baik saja. Ada masalah?”

Ayah tampak terdiam, sementara aku menggerakkan kakiku tak sabar. “Kau harus bersikap baik padanya, dia adalah calon tunanganmu. Jangan membuat masalah lain lagi, kau tahu berapa banyak yang harus kukorbankan untuk meyakinkan keluarga Halley.”

Mataku bertatapan dengan iris berwarna biru yang tidak aku warisi itu. Tanganku meremas jaket kulit hitamku dengan erat, menahan rasa kesal yang sudah memuncak sejak tadi. Sedikit rasa kecewa muncul memenuhi rongga dadaku. Tak bisa dipercaya, lelaki itu menunggu putrinya pulang hanya untuk memberikan peringatan seperti ini.

 Lagipula kenapa ia harus bersusah payah untuk bersikap baik pada lelaki itu? Toh semua rencana pertunangan itu adalah permainan yang diciptakan oleh keluarga besar ayahnya. “Terserah, aku permisi.” Katanya sebelum benar-benar berbalik dan pergi.

 Ia ingin segera meninggalkan ruangan itu dan mengunci diri di kamar. Tidak ingin mendengar lebih jauh lagi tentang pandangan ayahnya yang selalu meremehkan dirinya.

Aku membuka pintu kamarku dengan kasar, membuat Rossy yang sedang merapikan ranjangku terkejut. “Nona, selamat malam.” Sapanya. Mataku bergulir menatap jam yang menunjukan bahwa waktu sudah larut.

“Kau tak perlu menungguku pulang.” Ucapku pada Rossy. Mata gadis itu sudah memerah, mungkin saja ia sudah mengantuk bekerja sepanjang hari.

Gadis itu hanya tersenyum tipis, “Sudah menjadi tugas saya melayani, Nona.”

“Pergilah, aku ingin langsung tidur.” 

Rossy mematuhi ucapanku dan langsung mengundurkan diri.

***

“Tuan muda, Tuan Daniel Radcliff sedang menunggu Anda di lantai bawah.” Ucapan asisten pribadinya kini membuyarkan lamunannya.

“Suruh dia ke ruanganku.” Perintahnya dibalas oleh anggukan oleh pria yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

Lelaki itu melangkahkan kaki panjangnya menuju sebuah ruang belajar dengan nuansa interior modern. Matanya memandang ke area elit di pinggiran Kota Hartford, tempat dimana ia pernah tinggal sebelum pindah di tengah kota ini.

Ia benar-benar merindukan ketenangan yang hanya bisa ia dapatkan di sana, dibandingkan dengan pusat kota yang begitu berisik seakan tak pernah tidur.

Tak lama pintu ruangannya terbuka lebar, menampakkan sosok menyebalkan yang akhir-akhir ini sering mengganggu hidupnya.

Yeah kau membosankan seperti biasanya, Raphael.” Suara sosok menyebalkan itu menyeruak ke dalam telinganya ketika ia melihat tumpukan buku di mejanya.

Raphael menatap Daniel dengan malas, “Katakan apa maumu lalu kau bisa segera pergi dari sini.”

Lelaki itu mendelik sebal, “Kau tidak suka aku datang kemari? Come on man, kita bahkan sudah berteman sejak kecil.”

“Aku tidak ingat pernah berteman denganmu.” Raphael menjawab dengan singkat. Sebenarnya itu bukan sepenuhnya kebohongan, ia benar-benar tidak terlalu ingat bagaimana masa kecilnya berlalu.

Lelaki itu menyambar Macbooknya, berusaha tetap produktif meski ada pengganggu yang siap merusak suasana tenang ruang belajarnya.

Daniel hanya mengendikkan bahunya tak peduli menanggapi ucapannya, lelaki itu mengambil tempat untuk duduk di seberang Raphael. Untuk sesaat, ruangan itu hening ketika tidak ada satupun yang bersuara. Raphael sibuk memeriksa artikel-artikel yang akan diterbitkan minggu depan. Sebenarnya melihat tulisan panjang seperti ini bukan bidangnya sama sekali, ia lebih menyukai aktivitas fisik dibanding duduk berjam-jam menatap layar monitor.

Namun karena ulah serampangan Alexandra yang sengaja mendaftarkan namanya di klub jurnalis membuatnya terjebak dengan pekerjaan seperti ini. Yah, walaupun gadis itu akhirnya mengalah setelah mereka berdebat panjang. Tapi karena rasa ibanya, ia memutuskan untuk pindah ke klub itu dan meninggalkan posisinya menjadi ketua ekstrakulikuler basket.

Kini, ia sedikit menyesali keputusannya. Menyebalkan, kenapa juga dirinya harus mempedulikan Alexa sejauh itu.

“Wah luar biasa, Alexandra masuk di daftar dua puluh besar pencarian teratas!” Daniel kini bersorak heboh.

Raphael menghela napas singkat, “Sudah pasti itu semua karena Secret.” Ia berkomentar.

Daniel bangkit dari posisi duduknya, menghampiri Raphael yang masih setia menatap Macbooknya. “Lihat, Alexandra De Travis benar-benar terkenal di seluruh penjuru kota sekarang.” Raphael menatap datar ponsel milik lelaki itu yang dipenuhi dengan berita tentang Alexa.

“Antek-antek keluarga De Travis pasti akan membersihkan semuanya kurang dari dua puluh empat jam.” Daniel menarik Iphone lelaki itu menjauh dari wajahnya dan kembali duduk di atas sofa berwarna abu-abu.

Raphael mengendikkan bahunya acuh, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” katanya.

Ia tahu selama keluarga De Travis masih berpihak pada Alexandra, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nicholas De Travis pasti akan segera memberi peringatan pada perusahaan media yang sudah menyampaikan berita menyimpang tentang putri semata wayangnya itu.

Matanya kini bergulir menelusuri berita teratas Alexa yang muncul di G****e, sampai terpaku pada salah satu berita yang memuat gambar seorang gadis dengan gaun anggun sedang berdiri di atas red carpet. Jantungnya berdetak cepat, perasaan geram memenuhi hatinya ketika menyadari gadis itu tidak berada di sana sendirian.

“Alexandra De Travis dan Marc Halley memang kombinasi yang sempurna bukan?” Daniel menatapnya dengan tawa yang tertahan, entah sejak kapan lelaki itu sudah berada di sampingnya sambil ikut melihat ke dalam layar laptopnya.

TAK!

Raphael menutup Macbooknya dengan kasar sebelum meletakkannya di atas nakas, “Kusarankan kau pulang sekarang jika kau masih peduli dengan nyawamu.” Ia mendesis kesal.

Seakan tak peduli dnegan ancamannya, Daniel kini berdiri sambil menatapnya. “Jujur saja, kau tertarik pada gadis itu ‘kan?”

“Kuperingatkan padamu-”

“Come on man, seharusnya kau-”

“Radcliff!”

Raphael kini berdiri tegap, “Berhenti menyeret pembicaraan yang tidak masuk akal tentang Alexa.”

Daniel menghindari tatapan mata mengintimidasi yang dilontarkan oleh Raphael. “Hah, lihat itu. Sifat pengecutmu sangat menyebalkan. Kalau kau benar-benar menyukainya seharusnya kau katakan pada gadis itu.”

Mendengar ucapan itu, Raphael membuang wajahnya ke arah lain. “Aku akan pergi sekarang.” Daniel melanjutkan ucapannya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.

Raphael menyugar surai hitamnya frustrasi.

Apakah jika ia mengatakan yang sebenarnya pada gadis itu, semuanya akan baik-baik saja?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status