Aku panik melihat Dita yang memuntahkan semua makanan dan minuman yang masuk ke mulutnya. Jika dibiarkan, Dita bisa dehidrasi karena kekurangan cairan. Aku berinisiatif untuk membawa Dita ke puskesmas terdekat. Ya, aku hanya mampu membawanya ke puskesmas karena uang di kantong hanya tersisa satu lembar lima puluh ribuan saja. Uangku tidak akan cukup untuk berobat ke rumah sakit yang biasanya membutuhkan biaya mahal. Aku segera mengambil dompet dan memakaikan Dita jaket. Aku mencari keberadaan Dani, untuk mengajaknya ikut serta."Dani, kamu dimana, Nak?" panggilku.Tidak lama kemudian, Dani terlihat keluar dari kamarnya dengan mata memerah. Aku tidak sempat menanyakannya, karena harus segera membawa Dita ke puskesmas."Iya Bu, ada apa?" tanya Dani heran."Ikut Ibu ke puskesmas Nak. Adik kamu sakit!" ajakku pada Dani yang heran melihat ibunya panik."Iya, Bu!" jawab Dani singkat.Kami melangkah bersama keluar dari rumah, tidak lupa untuk menguncinya. Mbak Neni yang sedang menjemur paka
Aku tidak melanjutkan ucapan. Rasanya sungkan ingin mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya saya apa Mbak Dinar? Kalau ngomong jangan setengah-setengah, bikin orang penasaran saja!" ketus Bu Ida."Sebenarnya saya belum punya uang, Bu. Ibu kan tahu kalau saya baru saja ditinggal meninggal suami . Tolong beri saya waktu lagi ya, Bu. Semoga secepatnya saya bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan Ibu," ucapku hati-hati. Semoga Bu Ida mau berbijaksana dan mengerti dengan keadaanku."Terserah ya, itu urusan Mbak Dinar saya gak mau tahu. Yang menjadi urusan saya, Mbak Dinar tetap harus bayar kontrakan. Saya kasih waktu satu minggu, kalau masih belum bisa bayar juga terpaksa Mbak Dinar harus angkat kaki dari kontrakan saya!" Bu Ida mengancamku dengan tatapan bengisnya.Dugaanku salah. Aku pikir Bu Ida akan berbelas kasih karena kini telah menjadi seorang janda dan memiliki dua anak yatim. Dia tetap meminta haknya dan hanya memberiku waktu satu minggu untuk membayarnya."Baik Bu, saya u
Aku menengok ke arah suara yang memanggil, ternyata Mbak Neni. Dia berjalan menghampiri dan menatapku dengan tatapan iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Bu Ida memang begitu orangnya. Makanya banyak yang tidak betah ngontrak disini, karena dia orangnya kejam, tidak punya rasa empati dan toleransi sama sekali. Maafin saya juga gak bisa bantu Mbak Dinar, karena kehidupan sendiri juga pas-pasan, Mbak!" ucap Mbak Neni mencoba membesarkan hatiku.Aku mengerti dengan keadaan Mbak Neni. Suaminya Bang Beni seprofesi dengan almarhum Mas Dito, jadi sedikit banyak tahu berapa pendapatan setiap harinya. Akan tetapi walaupun hidup pas-pasan, Mbak Neni salah satu tetangga yang perhatian dengan hampir setiap harinya mengirimkan keluargaku makanan."Iya gak apa-apa Mbak Nen. Selama ini Mbak sudah sangat baik pada keluarga saya. Terimakasih atas semuanya. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak Neni dan keluarga!" sahutku dengan tatapan yang mengungkapkan rasa terima kasih kepadanya."Sama-sama Mbak, s
"Iya Bu, Pak Sujiwo sudah meninggal beberapa bulan yang lalu karena terkena serangan jantung," jawab security itu dengan wajah serius.Aku terdiam mendengar jawabannya. Jika ayah dan ibu mertua tidak ada, kami harus pergi kemana? ke rumah Kak Disti? Aku tidak yakin Kak Disti mau membantu. Namun disana ada ibu, aku akan coba meminta bantuannya."Bapak tahu tidak, kemana Bu Tantri pindah?" tanyaku penuh harap mendapatkan informasinya."Waah, kalau itu saya tidak tahu Bu" jawabnya datar."Ya sudah, terimakasih atas informasinya Pak, Saya permisi dulu!" Aku berpamitan pada security itu. Dia menjawab dengan anggukkan lalu kembali asyik menonton televisi.Aku kembali melangkahkan kaki, menuju rumah ayah dan ibu mertua yang sudah kosong, karena ada Dani yang sedang menunggu disana. Langkahku kembali terasa berat. Kemana kami harus pergi? Aku sudah tidak mempunyai rumah untuk berteduh. Tidak mungkin jika kami tidur di jalanan malam ini. Kalau aku sendiri, tidak masalah. Namun yang menjadi mas
"Enak sekali kamu mau minta warisan buat bayar hutang, sementara Ibu masih sehat wal a'fiat. Itu sama saja kamu mendoakan Ibu supaya cepet mati!" bentakku pada Dinar, adik yang menjadi benalu di keluarga. Ya benalu, karena kerjaannya mengemis meminta bantuan."Iya, aku tahu salah. Namun tidak tahu lagi harus mencari kemana untuk membayar hutangku. Mas Dito juga sedang berusaha, tetapi belum ada hasil," jawabnya.Aku kembali teringat dengan kedatangan Dinar yang berpura-pura menanyakan kabar ibu, tetapi ujungnya dia meminta bantuan kepadaku. Susah kalau berurusan dengan mental orang miskin, maunya minta bantuan terus. Tentu saja aku menolaknya, seperti yang sudah-sudah. Salahnya sendiri menikah dengan laki-laki kere 'madesu' alias masa depan suram. Tidak sepertiku, mempunyai suami berpendidikan dan berkarir cemerlang. Hidupku bergelimang harta dan kemewahan. Aku bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Namun satu yang tidak bisa aku dapatkan, yaitu kebahagiaan. Ya, aku tidak bahagia de
"Iya, Kak. Mas Dito sudah meninggal dunia ...." jawabku lirih.Kak Disti terlihat sedikit terkejut, tetapi dia kembali terlihat biasa saja. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa iba atau empati atas musibah yang menimpaku."Ya terus, kalau si Dito meninggal dunia kenapa? Memang udah takdirnya kali. Jangan bilang kamu kesini mau minta tolong padaku!" sinis Kak Disti."Iya, aku mau minta bantuan Kak Disti. Tolong izinkan aku dan anak-anak tinggal disini untuk sementara waktu, karena kami sudah tidak mempunyai tempat tinggal. Aku akan mencoba mencari pekerjaan di dekat sini, Mbak!" jawabku lirih.Hatiku berdebar menantikan jawaban dari kak Disti. Apakah dia akan terenyuh dengan nasibku atau kah malah sebaliknya?"Tidak bisa. Mas Rudi pasti tidak akan mengizinkan orang lain tinggal di rumahnya, karena ini rumah Mas Rudi bukan rumahku!" ucap Kak Disti tegas."Aku kan bukan orang lain. Aku adikmu satu-satunya, Kak. Aku yakin Mas Rudi pasti mengizinkan. Kalau perlu, aku yang akan meminta izin l
"Perkenalkan, saya Khodijah. Panggil saja Ibu Khodijah," ucap wanita berjilbab itu sembari mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya.Aku membalas uluran tangannya dan juga memperkenalkan diri."Saya Dinar, Bu," ucapku singkat."Kalau boleh tahu, tujuan Mbak Dinar mau kemana? Kok bisa sampai hujan-hujanan begini?" Bu Khodijah bertanya seraya menatap wajahku dengan tatapan yang menyejukan.Entah kenapa, walaupun baru pertama kali bertemu dengannya, aku menemukan sosok ibu di dalam dirinya."Saya tidak punya tujuan Bu, karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal, " jawabku seraya menundukkan wajah."Ya Allah ... pantas saja kalian sampai hujan-hujanan seperti ini. Kamu yang sabar ya Mbak, ini semua ujian dari Allah," ucap Bu Khodijah kembali memberikanku nasihatnya.Aku hanya menggangguk, seraya tidak hentinya memandangi pintu ruang IGD yang tidak kunjung terbuka. Hati rasanya tidak karuan. Aku benar-benar di landa kecemasan tingkat tinggi. Bagaimana kalau sampai Dita tidak bangun lagi?
Bu Khodijah memeluk tubuh dari samping dan memapahku menuju kamar pemulasaran. Sementara Dani, menggenggam tangan kiriku dengan erat.Jantungku terasa turun naik seperti roler coaster. Kemarin saat kepergian Mas Dito, aku tidak sempat melihat untuk yang terakhir kalinya karena tidak kuat menerima kenyataan sehingga tidak sadarkan diri hingga kembali ke rumah.Namun untuk saat ini, aku tidak mau melewatkan saat terakhir untuk melihat putri kesayangan yang sudah tutup usia, tepat dihari ulang tahunnya yang kedua.Masih melekat dalam ingatan, ketika kami sekeluarga merayakan hari jadi Dita yang pertama. Bukan memotong cake lezat seperti pada umumnya, tetapi kami merayakannya dengan memotong singkong rebus yang dihiasi sebatang lilin yang aku beli di warung Bu Leli. Dita begitu bahagia merayakan hari jadinya walaupun dengan sangat sederhana.Tingkahnya begitu lucu, ketika dia berjalan dengan tertatih menuruti perintah Dani yang memintanya menyuapkan singkong rebus kepadaku dan juga Mas Di