LOGINThe last thing Willow expected is to be rejected by her boyfriend; Asher, the beta of Blue Moon pack, minutes before his coronation party. Drunk and heartbroken, she ends up in the Alpha's son's bed, and not only did she get wild, she also asked him to marry her. Carter is the future heir to his father's business and there's one problem; he can't take over the pack without a Luna. Literally out of options, he takes Willow up on her offer. What better way for her to get revenge on her ex than for her to become Luna? After much conviction, she accepts, but is that really the right choice?
View More"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia."
Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas. Biar aku kerjanya nggak kepikiran. Gitu lho." Elisha merapikan tutup skincare miliknya dan berjalan mendekati Jean Sang suami. "Kan aku kerja juga demi keluarga kita." Jean masih memfokuskan kedua matanya ke arah monitor. Pura-pura tidak melihat gerakan istrinya. Kata-kata Elisha seolah mengingatkan dirinya dengan kebodohannya beberapa bulan yang lalu. Saat ia meminta istrinya itu untuk bekerja, membantu perekonomian keluarga mereka. Dan sekarang, ia seperti dapat karma. Sebab karir istrinya bisa melejit begitu cepat, lengkap dengan gaji yang cukup besar. Sementara ia? Hanyalah penulis lepas yang entah kapan bukunya bisa meledak di pasaran. Ironis bukan? "Iya-iya. Makasih buat kerja keras kamu," balas Jean tak ikhlas. "Ayo dong Mas! Jangan gini..." Ia naik ke atas ranjang. Lalu memeluk pinggul suaminya. "Kita kan harus—" "Iya, Sayang. Iya! Aku dukung semua pekerjaan kamu kok." Jean memilih untuk mengalah. Dan itu terjadi untuk kesekian kalinya. Dia sedang tidak dalam mood untuk berdebat dengan wanita yang sudah hampir 8 tahun ini ia nikahi. "Makasih ya Mas. Aku cinta banget ama kamu," ucap Elisha penuh syukur. Tidak lupa ia memberikan kecupan singkat di pipi Sang suami sebagai ungkapan terima kasih. "Ya udah, sekarang kamu tidur aja!" "Kamu?" "Aku mau nerusin deadline dulu." Elisha menganggukkan kepalanya dan mulai menata diri untuk tidur. Sedangkan suaminya kembali melanjutkan pekerjaannya. Menikmati malam yang dingin dengan saling memunggungi satu sama lain. * "Mas. Hari ini pembantu baru kita bakal datang." "Oh ya? Jam berapa?" Sambil menikmati sarapan paginya, Jean bertanya pada sang istri yang tengah menyuapi anaknya. "Aku nggak tau jam berapa. Soalnya penyalur cuma bilang gitu aja." Perempuan yang tampak rapi itu juga tidak lupa menyantap sarapan untuk dirinya sendiri. "Oke." "Nanti tolong interview yang bener ya Mas. Jelasin apa-apa aja aturan di rumah ini," pesan Elisha. "Iya." "Trus, hari ini jangan lupa jemput Qila ya Mas. Dia pulang jam dua soalnya." "Iya-iya. Aku udah paham kok." Jean mulai sedikit jengah. Elisha yang kini sibuk menyiapkan bekal untuk anaknya sambil repot memakan sarapannya sendiri memberikan senyum kecil ke arah suaminya. Meskipun paginya cukup sibuk dan merepotkan, namun perempuan 28 tahun itu tidak sekalipun mengeluh. "Sayang—" Ia mendekati Qila. Anak tunggalnya yang masih berusia 7 tahun. "Ini bekal kamu yah. Jangan lupa dihabisin." "Iya Mama." "Terus, pas di sekolah jangan nakal ya! Dengerin kata Papa sama Bu Guru. Dan—" Perempuan dengan setelan blouse dan rok sepan selutut. "Udah dong El, anak kamu juga udah pasti paham." Elisha melihat ke arah suaminya. "Kan aku cuma mastiin aja, Mas. Ya kan Qila?" Perempuan itu mengusap rambut anaknya. Yang dibalas cengiran lebar oleh sang anak. "Ya udah Ya, Mama berangkat dulu." Perempuan bertubuh ramping itu memeluk anaknya. Memberikan kecupan singkat di kening, pipi, dan bibir anak semata wayangnya sebelum berangkat. "Mas, aku kerja dulu ya." Elisha juga tidak lupa memberikan kecupan di dahi suaminya sambil pamit untuk berangkat. Hal yang wajib dia lakukan sebelum pergi ke kantor. Jean hanya menhanggukk kepalanya. Ia hanya menerima ciuman istrinya tanpa mau memberikan balasan untuk Elisha. Entahlah, dia sedang tidak mood untuk itu. Dia malah menghela nafas berat saat perempuan itu pergi dari pandangannya. Beginilah pagi yang harus ia lalui. Melihat keribetan Elisha, dan petuah-petuahnya untuk sang anak. "Papa, ayo berangkat!" Pria tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, dan body atletis itu melihat ke arah sang anak dan tersenyum. "Oke. Ayo kita let's go!" Ia menutup laptopnya dan menurunkan anaknya dari kursi makan yang memang dibuat agak sedikit tinggi. Membantu Qila memakai tas dan menggandeng anaknya untuk ke depan. Menuju tempat mobil mereka terparkir. Itulah kegiatan Jean setiap pagi. Mengantar anaknya ke sekolah, bertegur sapa dengan guru yang ada di depan, atau saling melemparkan senyum saat ada wali murid yang dia kenal, sebelum kembali ke rumah. Padahal seharusnya ini jadi tugas Elisha. Tapi sayang, semua itu kini dia yang ambil alih karena istrinya sibuk bekerja. "Seandainya aku nggak kena PHK, mana mungkin aku ngelakuin hal kayak gini." Sudah berulang kali Jean menggumamkan hal yang sama. Ia cukup jenuh menjadi pekerja lepas seperti ini. Membuatnya seperti tak punya harga diri. Apalagi saat melihat tatapan aneh orang-orang padanya. Makin membuatnya merasa tak berguna. Tapi mau bagaimana lagi, mencari pekerjaan di tengah krisis seperti ini juga bukanlah hal yang mudah. Jadi dia harus tetap menjalani semua ini dengan lapang dada. * BRAAK! Sekitar 30 menit, ia kembali tiba di rumah. Dan pria tampan itu langsung ke dapur untuk mencuci piring bekas keluarganya sarapan tadi. "Ck. Bisa-bisanya aku malah ngelakuin semua kerjaan perempuan! Nyuci piring, nyapu, ngepel! Aaargghh!!" Jean terlihat emosi. Ingin sekali membanting piring di tangannya. "Ini kan tugas perempuan, tugas pembantu! Nggak seharusnya aku ngelakuin hal kayak gini!" "Lagian si Elisha itu, katanya mau ada pembantu yang kerja di sini! Tapi mana? Sampai sekarang belum datang juga!" Meskipun sambil marah-marah, Jean tetap melakukan semua pekerjaannya. Sampai, selang dua jam kemudian, terdengar bunyi bel yang dipencet beberapa kali. "Siapa itu? Apa— si pembantu yang dateng?" tanya Jean pada dirinya sendiri. "Bagus deh kalau beneran pembantu yang dateng, jadi aku nggak perlu capek-cepak lagi." Dengan sedikit berlari, pria tampan berkulit eksotis itu menuju ke arah depan. Bersiap membukakan pintu untuk tamunya. "Permisi Pak, selamat siang." Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh...The night was dark, with only the gentle light from the moon shedding and casting its warm glow over the earth. Stars littered the night sky, and against the pitch black backdrop of it all, the scene above looked nothing short of a beautiful painting. The sound of leaves crunching underneath someone's feet cut straight through my thoughts. Immediately, I turned to the side, and standing a couple of feet away from me, was a black wolf, tall and mighty with its beady eyes staring down at me. A couple of moments passed as we both stared at each other, none of us daring to move. Something swirled in the pit of my stomach and before I could make sense of all that was happening, I found myself transforming back into my human form. My fear heightened when I realized whoever it was, was still in its wolf form. I didn't have to think too much because I'd barely mumbled the rest of the questions, before the wolf morphed into his human form, and the moment he did, a huge smile made its wa
I gently pushed the door to my bedroom shut. When a small click reached my ears, I heaved a sigh of relief. I had no idea why I'd just done that. Mum was probably halfway to slumber town now, so why was I so worried that I would have woken her?I sighed again, before gently clasping my hands together. A slight tremble rocked my fingers, but I kept them together, going they would stop soon.Luckily for me, it didn't last long. The moment I witnessed the last of it, I headed to my study desk in the corner of the room and pulled out my books. I had a test in the morning, and AP Chemistry, isn't something you just waltz through with an empty brain. I knew there was trouble the moment I read the first line and was unable to grasp anything. After trying for the second and third time, and still nothing had changed, I just knew I was cooked. There was no way I could focus on studying, not when there was something on my mind. No, not something. Someone.Zayn.No matter how many times I t
I squirmed in my seat as I fought to keep my giddy self from doing something I would regret later. I had my back turned to the mirror as the make-up artist swiped at my cheeks with some brushes. A low giggle slipped past my lips as the brush tickled me. "Hold still now." She chuckled as she dabbed at my cheeks a couple of times. The makeup artist was a petite young woman of about my age or more. " I'm almost done." "Okay." It was taking everything in me not to jump out of this chair and get everything going. Don't get me wrong, I was overly excited about this. " How long do I have to wait for?" "You don't need to." I peeled open my eyes as I got the go-ahead from her to turn to the mirror. I spun in my swivel chair and a huge gasp left my lips the moment I jammed my reflection in the wall-size mirror. I looked gorgeous and I wasn't even exaggerating. In all honesty, gorgeous wasn't the right word for it. It didn't even add up. Two strands of my blonde hair shimmered down the si
"To my sunshine." I grabbed the letter before reading it out loud, a goofy grin on my face. " I can't wait a second to make you mine, but before that, here's a bouquet of roses to remind you that nothing can stand next to how beautiful you are." My grin widened as I hugged the bouquet, its scent wafting through my nostrils. This entire gesture was so Adam; he was the sweetest man in the world and I was so lucky to have bagged him. Another sigh slid past my lips. I missed him terribly. We hadn't seen or spoken to each other in the past week. Why? Because Sam insisted we didn't. She had this crazy ritual that included no calls, texts, or meetings between the bride and groom until the wedding day. Since she was a mutual friend and it was all good fun, we couldn't say no right? A thought occurred to me almost instantly. I was alone and had plenty of time so no one would know, right? It didn't take long for me to decide; I was going to do it. After gently setting the roses aside, I made






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.