Keputusan Rimba Rangkuti untuk meninggalkan Ragajaya sudah bulat. Lagi pula, Cucu kali ini kalah argumen dengan sahabatnya.
“Ragajaya sudah tidak membutuhkan kita berdua, Cu.” Ujar Rimba lagi, “Kau lihatlah!”
Cucu hanya bisa menggeram sembari sorot mata merahnya agak meredup.
Dan memang benar. Ragajaya bak tubuh yang sudah menggeliat, bangun dari tidur panjangnya. Alanes, dan yang segenerasi seperti Suman, sekarang membangun Ragajaya dengan bahu-membahu. Berat sama dijinjing, ringan sama dipikul. Segala permasalahan diutamakan solusinya melalui musyawarah dan mufakat. Hukum di Ragajaya berlaku buat semua. Tidak pandang siapa dia, apabila terbukti bersalah, maka hukum Ragajaya berlaku baginya.
Harkat martabat perempuan di Ragajaya oleh hukum Ragajaya dijaga, oleh masyarakat Ragajaya pun dijaga. Mereka menj
Malam turun tanpa bisik, tapi tak ada yang tertidur dengan tenang malam itu. Sejak kepergian kelompok pembawa damai, udara di perkemahan terasa seperti kain basah yang membungkus tubuh—dingin tapi juga berat. Api unggun tetap menyala, tapi wajah-wajah di sekitarnya lebih banyak membisu daripada bercerita.Bu Senja duduk memintal benang dari kain lusuh, tapi tangannya gemetar. Bukan karena usia, melainkan karena keraguan yang mulai berakar.“Apa benar yang kulakukan ini demi harapan, atau sekadar menolak kehampaan?”Beliau pernah kehilangan anaknya dalam penyerbuan di Lembah Celing—sebuah kehilangan yang membuatnya menjadi semacam penjaga batin bagi para pengungsi. Namun malam ini, sosoknya tak setegas biasanya. Dia mencuri pandang ke arah Nari, bertanya-tanya dalam hati apakah perempuan muda itu benar-benar tahu apa yang sedang mereka hadapi.Sementara itu, Tani duduk di pojok, menatap kedua anaknya yang tertidur memeluk s
Para pengungsi yang berasal dari Lembah Celing berhasil mendapatkan tempat tinggal yang cukup aman. Mereka tinggal di atas gunung batu pipih yang cukup luas. Untuk mencapai puncak, mereka mendaki melalui lerengnya.Di puncak itu, mereka membuat tenda pengungsian. Mereka membuat sebuah tempat untuk mereka berkumpul saat malam. Api unggun akan menyala untuk mengusir hawa dingin di puncak gunung batu itu dari tubuh mereka.Mereka mencari kesibukannya masing-masing selama bertempat tinggal di sana. Kesibukan mereka sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Bagi yang memiliki keahlian mengukir seperti Bagan, dia akan mencari sisi di lereng gunung itu untuk diukirnya. Hasil seni ukir itu mungkin bagi orang lain tidak bernilai sesuatu, tapi bagi Bagan, seni ukirnya itu mampu mengobati luka hatinya akibat kehilangan keluarganya.Begitu pun Nari, si Pemegang Tongkat Batu. Perempuan itu menjadi pusat ketenangan diliputi anak-anak sembari melalui tongkatnya dia menggambar peta dunia baru di pas
Dia berdiri di balik topeng merah-kusam milik Pemurni, mengintai reruntuhan Gosora dari bayang-bayang menara setengah roboh. Senja tumpah ke padang sunyi dalam semburat kelabu, dan gema baru—yang Suar asli pancarkan—masih menggeliat di langit seperti luka yang belum sembuh.“Cucu sedang bergerak ke arah utara,” lapor seorang Pembisik lain melalui perangkat suara sunyi.“Jangan ganggu yang lain. Aku yang akan menangani ini,” sahut Akhsan cepat.Dia tak tahu kenapa suaranya terdengar gemetar. Apakah karena nama itu?Cucu.Dalam doktrin para Pemurni, nama itu adalah simbol penyimpangan. Dia tidak hanya mendengar gema; ia menjawabnya. Dan jawaban adalah bentuk pembangkangan paling berbahaya.---
Menjelang tengah hari, kedua matahari mendekat satu sama lain, menciptakan bayangan vertikal tajam yang menyayat tanah. Udara menegang.Kemudian terdengar suara itu.Gema dalam. Dalam sekali. Bukan hanya didengar—tapi dirasakan. Seperti sumsum yang dipanggil keluar dari tulang.Cucu dan Rimba membeku. Hara pun terdiam otomatis, bak bayi berhenti menangis. Hanya lidah api di unggun yang tetap meliuk, bagai tak terpengaruh oleh dunia.Seorang lelaki tua yang kebetulan berjalan bersama mereka, berlutut, menempelkan telinga ke tanah.“Sangkala Waktu …, tapi ini beda,” gumamnya. “Nadanya miring. Ada yang rusak.”Rimba berbalik ke arah Cucu. “Kau dengar itu? Seperti ada …, sesuatu lain di bawah sana?”“Bukan cuma gema,” bisik Cucu. “Lebih seperti ..., seseorang memanggil balik.”---“Wahai Pak Tua, Anda mau ke mana?” tanya Hara ketika S
Cucu dan Rimba tiba di lerengnya saat langit mulai beranjak ke jingga pekat. Kedua matahari tampak seperti arang berpijar yang tenggelam perlahan, meninggalkan semburat cemerlang di kaki langit. Jalur menuju Puncak Arah berliku dan sempit, menanjak melalui celah-celah batu dan jembatan gantung dari akar kering yang telah mengeras karena panas.Udara semakin tipis. Namun suara menjadi lebih jernih.“Di atas sana,” kata seorang penduduk muda yang menjadi penunjuk jalan mereka, “tetua kami tinggal di ruang gema. Beliau jarang bicara, kecuali pada mereka yang membawa luka masa lalu.”Rimba dan Cucu saling pandang. Luka mereka tidak hanya dibawa—luka itu menempel di napas, menyatu dengan jejak kaki.Sesampainya di atas, mereka memasuki ruang sempit yang dikelilingi lingkaran batu hitam. Tak ada lampu, ha
Pada suatu pagi, langit Tilangkar mengerjap seperti mata yang tak bisa memutuskan untuk terjaga atau terpejam. Semburat jingga berganti kelabu, lalu memucat kembali. Kedua matahari menari lamban, tidak seperti biasanya—seperti ada jeda di antara napas mereka.Rimba berdiri di dekat bibir jurang batu Karang Tundra. Angin mengibaskan rambutnya, membawa aroma garam kering dan abu. Di belakangnya, Cucu mendekat perlahan, membawa secarik kain tenun dari Gunung Silam yang dia pinjam semalam dari seorang penenun angin.“Mereka butuh penanda,” kata Cucu. “Bendera atau lambang. Mereka perlu tahu bahwa mereka lebih dari sekadar pelarian.”Rimba menatap ke bawah, ke arah pengungsi yang kini membuat kamp kecil di ceruk antara dua punggung batu. Mereka mulai membangun tenda dari sobekan kain, menata batu-batu kecil menjadi tanda batas. Seorang anak memahat sesuatu di dinding karang dengan ujung tulang: bentuk lingkaran bertemu segitiga, lalu dib