Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah, dan aku lihat Iwan sudah menungguku di depan muka kelas, duh malu, gugup sekali rasanya, sepatuku mendadak terasa berat begitu pun langkah kakiku ini, aduh serasa gemetar dan ingin putar arah saja kalau bisa. Dia malah berjalan mendekat ke arahku sekarang. Ingin menghindar, tapi tampaknya tidak mungkin deh, jantungku berdetak kencang sekali, apakah ini yang di namakan getar -getar cinta. Sangat gugup kalau berpapasan atau bertemu dengannya, tapi sebenarnya ingin ketemu sih walau sebentar.
"Hai Sin, senang deh bisa lihat Kamu pagi ini, berarti Kita jadian ya mulai hari ini?”
Aku pun hanya dapat menganggukkan kepalaku, dia terus memandangiku terus. Iwan Anak yang baik, dia selalu memperhatikan tugas -tugas sekolahku. Dia juga Anak yang pintar sekali, nilainya selalu bagus, seperti pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sedangkan aku selalu saja memiliki nilai yang masih pas -pasan. Malu sih jadi ejekan dia, tapi aku jadikan semangat saja agar setiap hari rajin belajar, karena sudah jadi tradisi di sekolah siapa yang punya nilai jelek, akan di hukum maju ke depan kelas, Ups semoga saja aku tidak merasakannya.
Siang ini Iwan mengajak aku mengobrol santai di depan kelas, sambil menikmati makanan ringan, dan aku pun mengeluarkan foto saat kami masih usia 3.5 tahun dahulu dari saku baju sekolahku. Foto saat di depan taman kantor papa kami entah beberapa tahun lalu. Mama cerita dulu saat aku, Iwan, Anggun dan Indra tiap hari di bawa ke kantor papa. Masih banyak foto -foto kami saat kecil, tersimpan rapi di album mamaku, mama bilang di koleksi saja, akan lucu jika foto itu dilihat setelah kami besar seperti ini. Sahabat masa kecil yang penuh kesenangan, kejahilan dan teringat sampai kini. Apalagi tentang cerita kecilku bersama Habib dan Rahman, dia adalah anak dari sahabat mamaku tante Ning, sekolah mereka dan rumah kami lumayan berdekatan, dan hampir sering mereka ke rumahku, karena tante Ning memesan pakaian seragam sekolahnya kepada mamaku yang memiliki usaha konveksi.
Kejadiannya saat itu aku baru di belikan hiasan rambut, bentuknya lucu, warnanya hijau, aku sangat suka sekali memakainya, tapi dengan santainya kedua adik -beradik itu merebut dan merusaknya dari kepalaku, sampai naik -naik di atas meja ruang tamuku, ya mereka umurnya masih sepantar aku pasti tante Ning sangat repot kalau harus mengawasi kejailan dan kenakalan mereka saat kecil.
Hal itu masih aku ingat sampai hari ini, dan aku kesal jika mereka main ke rumahku. Trauma saja takut mereka nakal dan menjailiku kembali. Tapi sepertinya mereka sekarang lebih pendiam, bahkan Rahman sering tertunduk malu jika bertemu denganku, mungkin mereka teringat saat -saat kecil dulu menakaliku dan menjahiliku.
Di sekolah, saat jam istirahat tiba, kini giliran aku yang meledek Iwan dengan foto masa kecil kami ini.
"Wan, ingat foto Kita dulu enggak?”
"Ah bohong Kamu, coba lihat sini?"
"Eh iya, Foto lama banget Sin, hadeah Kamu masih ingusan ini, masih di kucir 2 dan pegang es dalam plastik, Hahaha...."
"Tapi lucu kan? memang Kamu tidak masih culun dan ingusan nih!"
"Hahahahhaa, yayaya lucu Sin."
"Aku mau tempelkan saja di Diary ini lah, biar enggak hilang fotonya nanti."
"Ya benar Dek, kenangan tuh, bisa dilihat saat kita tua nanti."
“Terus deh ledek saja aku nya.”
"Hemm, bagaimana? Sudah mulai suka dengan pelajaran Bahasa Inggris?"
"Ya mulai serius belajar nih."
"Kalau masih lemot, kamusnya di bakar saja Dek, terus jadi in kopi deh terus di minum."
"Ehmmm awas ya, lemot-lemot juga Kamu suka Wan, Iya kan?"
"Abis kamu manis sih."
Dia kabur karena malu dengan ledekan aku ini, Hehehehe ya balas dendam dikit -dikit. Tiap hari dia selalu menjahiliku.
Kejailan -kejailan masa kecil dulu masih saja sering dia lakukan sampai kini, apa pun itu membuat hariku lebih seru dan bermakna. Walau sering sekali membuat aku kesal, sedih dan nangis dengan canda yang terkadang kelewatan rasanya.
Tak terasa sudah tiga bulan ini aku berpacaran dengan Iwan, hatiku senang sekali. Dia sering meneleponku setiap pulang sekolah di kala sore hari intinya kalau sama -sama bebas aja untuk menelepon, apa lagi kalau mama dan papa pergi kuliah begini, tepat deh waktunya. Hampir setiap waktu kami habiskan bersama selain sekolah ya lewat telepon. Bagiku kini selain menjadi sahabat, namun Iwan jadi pacar dan teman belajarku setiap hari, baik di sekolah atau di rumah, duh senangnya berasa punya seorang kakak deh. Kedekatan kami dari kecil membuat cinta pertamaku ini sangat manis dan berarti. Duduk berdekatan, saling memperhatikan satu dengan yang lain, membuka bekal dan jajan bersama -sama baik dari rumah atau saat jajan bersama di kantin sekolah, berbagi cerita saat kecil dan belajar bersama dengan teman -teman membuat kisah pacaran menjadi lebih lengkap, ternyata begini rasanya cinta pertama itu. Mungkin akan selalu kami ingat ya nanti sampai tua, sampai nenek.
Akan tetapi, sudah beberapa hari ini, rasanya aneh sekali. Seperti ada yang mengikutiku dan memperhatikan segala gerak -gerikku dari kejauhan saat di lingkungan sekolah. Dan saat aku sedang membersihkan ruang kelas siang ini, aku terima sepucuk surat cinta dari Kakak kelasku, dia menitipkannya kepada teman satu kelas yang sama -sama bertugas piket denganku.
"Surat dari siapa sih?"
"Surat dari Kak Masril."
"Masril siapa ya? Aku tidak mengenalnya sama sekali nama Masril?"
“Kakak kelas 2 B, ganteng loh, manis.”
“Ehmmm, mulai deh ledeki dan menggoda Aku.”
“Serius tahu, duh yang mau baca surat cinta, senyum -senyum sendiri deh, mulai.”
“Berisik ah, diam ya diam dulu!”
Setelah aku baca ternyata lagi -lagi isinya surat cinta. Tapi kan aku sudah punya pacar nih? ya sudahlah aku abaikan saja.
Ternyata Masril lah yang selalu mengikuti aku dan Iwan saat pulang sekolah, siang ini aku dengar dia mengajak berantem Iwan di lapangan sekolah untuk memperebutkan aku. Seperti boneka saja di perebutkan, membuat aku malu dan mereka bertengkar di muka umum lagi. Duh kesel banget rasanya hatiku. Dan perjanjian mereka adalah, jika mereka kalah dalam perkelahian itu, maka harus menjauh dariku. Baik itu Iwan atau pun Masril, yang kalah harus mundur. Kesel rasanya, saat aku mendengar hal itu dan aku pun segera menyusul mereka ke lapangan, ke tempat mereka berkelahi, hanya saja aku terlambat, mereka sudah selesai dan sudah saling di pisahkan oleh teman -teman lainnya yang menonton perkelahian mereka.
Hasilnya Iwan kalah berkelahi, alhasil dia mendadak menjauh dariku seperti kesepakatan mereka secara seketika saat itu juga tanpa berkata -kata lagi kepadaku . Benar -benar tidak menyapa aku sama sekali, diam dan menghindar. Tampak ada beberapa memar di pipinya. Ingin rasanya aku mengobati dan membantunya tapi dia tidak mengindahkan perhatian yang aku berikan lalu bergegas pergi begitu saja. Kesal, aku pun menangis karena sedih. Dan aku harus pulang ke rumah dengan rasa kesal.
Berminggu -minggu aku coba menyapanya, tapi dia selalu mengacuhkan aku. Dan lagi -lagi hanya buang tatapan, memilih diam dan pergi dari aku. Dan pagi ini aku dengar dari teman-teman kalau Iwan sudah pacaran dengan Eni teman beda kelasku anak kelas 1 F, sedih rasanya mendengar semua itu. Kok segampang dan secepat ini mengambil keputusan, apakah putus? Atau menghilang tanpa kata begini.
Beberapa hari kemudian
"Hai Sin."
Kak Masril menyapaku dari belakangku.
"Aku yang temani Kamu pulang boleh ya Sin."
Terus saja dia mengikutiku, bersama teman-teman gengnya. Ikut naik ke angkutan kota yang aku naiki ke terminal, kemudian ikut menunggu angkutan kota berikutnya yang menuju ke rumahku. Ganteng sih kak Masril, tapi caranya itu yang bikin aku sangat kesal. Aku pun tetap cuek saja, tapi lama -lama aku lihat dia geregetan dan kesal padaku.
"Kok diam saja sih Dek, Kak di cuekin seperti ini sama Sintia?”
"Maaf ya Kak, Aku mau pulang ke rumah dulu nih, buru-buru, soalnya Mama telah menungguku di rumah dan Aku tidak biasa kelayapan jika pulang sekolah tanpa izin terlebih dahulu ke Mama."
Aku pun menjawab memberikan alasan, naik ke dalam angkot dan pulang menuju rumahku dengan segera, dia tampak sedih, tapi ya aku harus lakukan itu.
Kesal sekali hari ini, kemudian aku pun membanting tas sekolahku ke kasur saat tiba di rumah dan membuka sepatuku di dalam kamar.
"Brugggk."
"Ada apa Sin? Bikin kaget Mama saja Kamu ini"
Mama pun bertanya kepadaku.
"Tidak apa-apa, cuma lagi sedikit kesal saja Ma."
“Kesal kenapa?”
“Biasalah sama teman Sintia di sekolah.”
Aku mulai kangen, biasanya Iwan sering meneleponku kalau sore hari seperti ini, tapi sudah jam empat sore lebih dia tidak meneleponku juga, sudah mau dua minggu ini aku jadi sedih. Jangan kan mau angkat teleponku, aku tegur saja dia hanya diam. Kalau kata teman -teman dalam waktu dua minggu kalau pacar tidak caling, berarti sudah benar-benar mau putus, menghindar dan menjauh dari kita.
Apalagi aku dengar dia sudah jadian dan punya pacar baru. Kenapa jadi seperti ini sih aku sebal, semoga saja besok dia sudah tidak kesal dan marah padaku, tapi apakah mungkin? Sudah lama sekali dia tidak menyapaku. Seperti inilah kisah cinta monyetku dengan Iwan, hanya dalam hitungan bulan saja. Sedih aku benar kehilangan sahabat dan pacar pertamaku secara bersamaan rasanya.
Mau tak mau aku jalani hubungan dengan Kak Masril walau hanya saling mengenal, belajar bersama, saling menelepon dikala senggang dan menemani pulang bersama di angkutan kota, setidaknya biar Iwan puas dengan keputusannya memilih pacar yang baru. Tepatnya kak Masril menjadi pacarku hanya sebagai teman tapi mesra saja anggap saja dia pengawal pribadiku, setidaknya aku aman jika pulang sekolah tanpa di jemput mama dan papa. Khususnya di terminal yang terkadang sepi, dan banyak anak -anak rese dan isengnya. Setidaknya kalau ada kak Masril dia dapat menjagaku.
Kalau lagi main dengannya, Masril selalu menyanyikan aku sebuah lagu sambil memetikan gitar kesayangannya yang selalu di bawa dan di titipkan di kantin sekolah kami. Lagu apa lagi, selain lagu Mangkinkah dari band Stinky kesukaanku, dan cocoknya itu lagu yang sama -sama kami suka. Seperti sore ini, aku ada kelas menari di sekolah, sedangkan dia habis ada kegiatan OSIS di sekolah juga. Sambil jalan menuju ke rumah kami istirahat dulu deh sambil minum secangkir es, satu cangkir es porsi besar untuk berdua, Hahaha, ini judulnya jorok, irit atau romantis nih ceritanya? mana duduknya di pinggir makam atau kuburan di pinggir jalan lagi, yang sangat jelas bisa di pandang dari segala arah. Duh ah Masril ada-ada saja deh, terbayang dong kalau mama dan papa tak sengaja lewat dan memergoki, bisa jadi bahan ledekan nih nanti saat aku di rumah.
"Kak, yakin mau jajan di sini?"
"Iya? Memang kenapa Sin?”
"Kamu jijik ya jajan di sini sama kakak?"
"Enggak, tapi itu kan kuburan Kak yang tepat di belakang..."
"Ehmmm enggak usah takut, tuh lihat masih ramai, tuh ada si Mang tukang cendol ada Kak Dimas, Hendrik dan Handoko juga lagi pada mojok di sana, malah di atas kuburannya mereka duduk-duduk santai."
Dia terus merayuku, agar tidak takut dengan suasana makam, dan memulai memainkan gitarnya dan mulai menyanyikan lagu kesukaanku.
Tetes air mata basahi pipimu
Di saat kita 'kan berpisah
Terucapkan janji padamu kasihku
Takkan kulupakan dirimu
Penulis lagu: Ndank, Stinky
Ups, aku terbengong dibuatnya, aku terkesima selain lumayan tampan eh doi pintar main gitar dan nyanyi ternyata, di luar yang aku bayangkan. Mendadak hubungan yang awalnya terpaksa dan sekedar status punya pacar biar enggak di bilang jomblo wati ternyata menyenangkan juga dan Masril orangnya cukup baik dan punya banyak teman yang ramah dan baik.
Hampir tiga bulan lebih aku mengenalnya. Dan dia teman yang asyik, pagi, siang sore selalu ikhlas anter aku ke sekolah dan menunggu segala ekstra kurikulerku bersama teman-teman, dan lagi -lagi aku merasa nyaman sebagai seorang teman dekat. Lapangan Garuda dan Tempat pemakaman umum ini menjadi tempat favorit kami setiap hari bersantai baik sebelum les, atau saat senggang dan suasana makam yang mulanya menyeramkan bagiku, sekarang menjadi hal yang biasa saja, siang hari tak mungkin ada hantu kan? Dan tempat ini akan menjadi saksi bisu kenangan aku dan Masril kelak. Masril pacar keduaku saat Sekolah Menengah Pertama setelah Iwan, status sih pacaran, tapi bagiku hanya sebuah cinta monyet untuk mengenal dan bersahabat dekat dengan teman laki -laki dan penyemangat saat sekolah dan les saja.
Hari ini, atau tepatnya pagi ini, kenapa aku tidak melihatnya di sekolah? Ke mana ya dia, aku coba tanya -tanya deh kepada kak Hendrik, Dimas atau Nugroho. Ternyata Masril sakit, dan teman -temannya ajak aku mampir ke rumah Masril sehabis pulang sekolah, baiklah, boleh sekalian aku akan ajak Catur, Fitri dan Nita untuk mengantarku ke rumahnya setelah sekolah nanti. Saat pulang sekolah kami pun bergegas, kami sokongan untuk membeli buah untuk kak Masril, yang paling banyak sokongan tentunya aku kan pacarnya. Untung saja aku rajin menabungkan sisa -sisa jajanku. Sampai di rumah Masril tampak kaget melihatku, tampaknya dia demam, ada ayah serta adiknya di rumah, lagi -lagi kak Hendrik iseng, dia mengenalkan aku kepada ayah Masril sebagai pacar, duh jelas saja aku seketika menjadi bahan ejekan mereka. Tidak berlama -lama kami menjenguknya, karena kami harus segera pulang, intinya aku malu dan takut di sana, tentunya karena ada bapak kak Masril.
“Cepat sembuh ya Kak?”
“Iya, besok sekolah kan?”
“Ehmmm, bang Masril, yang di jenguk mendadak langsung sembuh.”
“Hust, Iya Sin Aku besok masuk kok.”
Rahmat, adik Masril pun meledekku dengan senangnya, Rahmat sama kelas 1 denganku, hanya saja berbeda kelas. Dan baru hari ini aku tahu kalau dia adik kak Masril, semoga saja tidak mengadu -mengadukan kelakuan iseng dan jailku ke kakaknya, selama ini.
Bagian 1 (Kisah Masa Lalu)Hari KelahirankuNamaku Sintia, aku terlahir di Bandung tanggal 23 September 1985, di seorang Bidan desa teman ibuku. Aku dilahirkan dari ibunda yang bernama Eni suryani dan ayah yang bernama Wito. Bagi mereka lahir itu anugerah, tetapi bagiku itu awal kepergianku, ya aku akan di adopsi. Tidak lain tidak bukan yang akan mengadopsi ku adalah Kakak dari papa kandungku sendiri, yang tidak punya keturunan karena menderita penyakit dan sangat menginginkan keberadaan anak dalam rumah tangganya.Hal itu berawal saat ibu kandungku yang sedang mengandungku tiga bulan bingung mendapatkan kenyataan bahwa ia akan memiliki seorang anak kembali, Sedangkan beliau sudah memiliki empat orang anak yang masih kecil - kecil. Akhirnya mereka berniat membantu kakaknya agar memiliki anak, ahli waris dan teman saat tua nanti. Ya mungkin saja keputusan yang mereka ambil telah di diskusikan dan menjadi jalan keluar yang tepat.“Wito ke mana En, mas
Sudah hampir tiga tahun sejak ayah dan ibuku meninggal. Namun faktanya, kini persoalan sengketa tanah dan rumah tampaknya belum juga usai. Aku lelah, dan bisa dibilang jika aku sudah menyerah.Saya telah memberikan amanah kepada kakak laki-laki saya, untuk membantu mengurus semua ini. Entah kenapa hal yang biasanya mudah menjadi sulit dan rumit seperti ini mereka buat. Ya, itu karena bibi dan paman saya terus bertindak buruk, seolah-olah mereka tidak puas dengan hasil yang saya berikan dan jalan yang saya berikan. Saya telah pasrah dengan semua permintaan mereka untuk menjual harta dan warisan mama dan papa. Dan pada saat proses penjualan pertama saya juga hadir dalam transaksi tersebut. Padahal dari kecil hati saya menjerit dan sakit hati karena kehilangan warisan yang saya miliki dari ibu dan ayah. Meski sangat berat, terpaksa saya jual, dengan alasan menjaga hubungan baik antar keluarga. Saya berharap dengan keputusan saya semuanya akan berakhir, tetapi
Tahun terus berjalan walau sering terseok-seok dalam masalah. Malam ini aku iseng mulai melihat tentang hoki, keberuntungan, rasi bintang, shio ataupun tentang tarot. Kebetulan ada tarot online yang melintas di dinding Geoglle info saat membaca berita. Tak harus tunggu lama aku langsung mengklik nya dengan cepat. Aku masuk ke link admin, mereka meminta aku memasukan nama, tanggal lahir dan jenis kelamin. Langsung deh iseng, aku isi semua itu tanpa ragu. Beberapa detik kemudian aku berganti layar. Admin meminta agar aku memilih kartu tarot secara online sebanyak 3 lembar. Karena ketutup semua jelas saja aku klik secara acak. Tak lama kemudian layar HP memperlihatkan layar 3 kartu yang aku pilih. Sosok wanita sederhana itu kartu pertama yang aku dapat, sosok permaisuri dalam kematian, dan sosok permaisuri yang tampak duduk anggun dalam singgasananya. Tak lama berselang setelah aku melanjutkan pilihan lanjutan munculnya penjelasan dari ke tiga kartu
Semenjak mama dan papa meninggal, selain mengurus Suami dan anak aku pun mulai mengisi kekosongan hariku dan kegiatanku, aku berjualan pulsa HP dan token listrik, membantu suami menjalani bisnis percetakan, jualan Online Shop kecil-kecilan, dan menulis puisi dan novel di sela-sela mengajar. Itu merupakan hobi dan kegiatan baruku. Walau aku tidak bisa berkarier seperti dulu lagi tapi aku harus tetap dapat berkarya di kelilingi kegiatan anak-anak. Alhamdulillah mas Dwi sebagai suami sangat mengertikan aku, beliau selalu mendukungku, walau tidak banyak modal yang dapat di berikan tapi dukungan itu menjadi sangat penting dan berharga sekali. Begitu pun aku, dengan kebebasan untuk berkarya, bergaul dan berkegiatan dari yang Dwi berikan padaku aku harus berikan segala yang terbaik, seperti mengurus rumah ku, anak-anakku dan keperluan mereka dengan baik. Apalagi jika mereka sakit, merawat, menjaga dan memperhatikannya menjadi hal yang lebih penting dari segala aktiv
Sudah hampir dua tahun mama dan papa meninggal. Terkadang masih timbul rasa sedih yang masih sesekali muncul di benakku. Teringat masa kecilku dulu, di saat mama dan papa yang sangat mencintaiku, dan memberikan ku segala hal yang terbaik. Rindu sekali saat-saat itu Mama yang sering menelepon ku, mengingatkan aku makan, mengingatkan aku Shalat, aturan jam 21.00 malam harus sudah ada di rumah saat pacaran, atau berbeda pendapat dalam mengasuh ketiga anakku, dan segala celoteh Mama yang sering membuatku gemas dan kesal. Atau sosok dia papaku, kalau aku sakit atau jatuh papa akan menjadi orang yang paling cemas, buru-buru membawa aku ke dokter atau mengurut kaki dan tangan ku jika terkilir, bahkan papa jua lah yang selalu menangis kalau dulu melihat aku di putus in pacar-pacarku atau gagal mengarungi rumah tangga. Terkadang beliau menjadi teman, dan kadang menjadi musuh terbesarku jika beda pendapat. Tapi kini mereka sudah tiada, aku pun hanya dapat merin
Usia kami aku dan mas Dwi kini sudah tak muda lagi, Mas Dwi sudah 43 tahun dan aku hampir 37 tahun. Belum lama sih kami mengarungi hidup bersama membentuk rumah tangga, yang baru ini, tak terasa sudah menginjak 5 tahunan bersama dalam rumah tangga. Tiga orang anak-anak yang lucu pun memberikan keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi hari-hari kami, dan mas Dwi kian rajin bekerja, demi memberikan segala kebutuhan yang terbaik untuk kami, begitu pun aku yang terus berusaha membantu dengan cara dan gayaku kini. Walau semua itu perlu 1 kata iklas dan perjuangan. Iklas menerima takdir tuhan baik kebaikan ataupun paket ujian-ujian yang Allah berikan kepada kami. Mas Dwi masih selalu romantis, jika saja aku masih muda pasti ingin menambah seorang anak lagi, hal itu mungkin akan memberikan keramaian lebih di rumah ini, tapi sudah cukup tiga anak saja. zaman sekarang memiliki anak banyak cendrung harus memiliki finansial yang baik, kita harus ter