Baru saja supir tersebut memutar balik mobilnya untuk kembali ke rumah mertuaku.
Tiba-tiba adik iparku, Dewi, datang menggunakan motor dan menghentikan laju mobil yang aku naiki. "Mbak." Dewi mengetuk jendela mobil di mana aku duduk. Suaranya terdengar agak tergesa-gesa, namun wajahnya terlihat santai. Segera aku menurunkan kaca mobil tersebut, sedikit bingung dengan kedatangannya. "Mbak, ini handphone Mbak tertinggal," ujar Dewi sambil menyodorkan handphone milikku, yang baru saja ingin aku ambil. Tanpa ragu, aku langsung mengambil handphone tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada Dewi, karena aku tidak harus kembali ke rumah mertua, yang akan memakan waktu untuk aku segera pulang. "Terima kasih, Wi, baru saja aku mau ngambil handphone itu." Dewi selalu tahu kebiasaanku yang seringkali lupa membawa barang penting, bahkan sesuatu yang sepele seperti handphone. "Mbak kebiasaan suka lupa," katanya sambil tersenyum. Dewi memang sudah sangat mengenalku, padahal umurku baru dua puluh enam tahun, namun kadang-kadang aku merasa seperti lebih tua karena kebiasaanku yang sering ceroboh. "Kamu bisa saja," balasku sambil tertawa kecil. Kami memang sering saling bercanda, dan itu yang membuat hubungan kami semakin dekat, meskipun kami tinggal di kota yang berbeda. Kami hampir setiap hari berkirim pesan, saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. "Oh ya, Mbak, jangan lupa kalau sudah sampai rumah kabarin, takut nanti nyasar," Dewi menambahkan sambil melirik jam di tangannya. Aku tahu dia khawatir, meski dengan gaya bercandanya. Itu adalah salah satu hal yang membuatku nyaman berada di dekatnya. "Bisa saja kamu," kataku menimpali dengan senyuman. Dewi memang dikenal suka bercanda, dan dia selalu tahu bagaimana membuat suasana menjadi lebih ringan. "Udah ya Mbak, aku balik dulu. Mau menyiapkan acara untuk nanti malam." Namun, aku belum siap untuk berpisah begitu saja, apalagi ada sesuatu yang masih mengganjal di benakku, tentang perempuan yang tadi turun dari dalam mobil dan menyalami mas Deri. "Sebentar, Wi," pintaku, sedikit menghalangi Dewi kembali "Iya Mbak, masih ada yang tertinggal?" Dewi bertanya dengan nada sedikit bingung. "Tidak," jawabku singkat. "Terus?" "Aku mau tanya." Aku melanjutkan, sambil mengingat seorang perempuan turun dari mobil dan menyalami Mas Deri. Mereka begitu akrab dan berjalan bersama menuju rumah mertuaku. "Tanya apa, Mbak?" "Aku tadi melihat ada perempuan yang menyalami Mas Deri, lalu mereka berjalan bersama menuju rumah, itu siapa?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu. Aku tak bisa menahan rasa penasaran yang muncul begitu saja. Dewi terdiam sejenak, seolah berpikir, sebelum akhirnya menjawab. "Mbak lihat?" tanya Dewi, seolah tidak percaya bahwa aku melihat kejadian itu. Aku kemudian mengangguk. "Ya, aku lihat," jawabku. "Lihat dimana Mbak?" "Lihat dari dalam mobil, meskipun jauh. Memang siapa perempuan itu, masih saudara?" tanyaku lagi, tak sabar ingin tahu lebih banyak. "Iya Mbak, saudara dari keluarga papa," jawab Dewi singkat, sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepalaku, merasa lega mendengar penjelasannya, namun ada sesuatu yang masih mengganjal di pikiranku. Masih ada hal yang membuatku merasa kurang nyaman. Aku kembali memanggil Dewi yang ingin kembali. "Aku balik dulu ya, Mbak," Dewi berkata, namun aku masih merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan. "Nanti dulu, Wi," kataku dengan suara lebih serius. Sepertinya aku harus menanyakan pada Dewi, tentang pertanyaan dan juga ucapan ibu-ibu tadi yang membahas tentang Mas Deri, terlebih lagi Lili sudah tertidur di pangkuanku. "Kenapa Mbak?" "Wi, tadi ada ibu-ibu yang tanya padaku, aku istri Deri yang keberapa. Aku bingung dong, padahal aku satu-satunya istri Mas Deri." Aku menceritakan kejadian tadi dengan detail, tentang bagaimana ibu-ibu itu bertanya dengan penuh penasaran. Aku merasa aneh, karena setahuku, aku adalah satu-satunya istri Mas Deri. Dewi yang mendengarkan ceritaku sepertinya terkejut. Dia langsung terdiam beberapa saat, lalu berkata. "Mbak, maaf." Aku langsung menautkan keningku, terkejut mendengar kata "maaf" dari Dewi yang terdengar agak tabu. Tidak biasanya dia meminta maaf tanpa alasan yang jelas. Bersambung.......Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Mas Deri, setelah mendengar kabar duka atas kepergianya, setelah sekali lama aku tidak mendengar kabarnya. Perjalanan menuju kampung halaman Mas Deri kali ini adalah perjalanan yang penuh dengan campuran perasaan. Meski sudah cukup lama aku tidak mendengar kabar darinya, kabar duka atas kepergiannya membuatku merasa harus hadir di sana. Mas Deri bukanlah orang asing bagiku, dia adalah mantan suami, ayah dari Lili, dan seseorang yang pernah aku cintai. Meskipun hubungan kami sudah berakhir, kenangan bersama Mas Deri tetap ada, dan aku merasa bahwa aku perlu memberikan penghormatan terakhir padanya. Aku juga memutuskan untuk membawa Lili, meskipun awalnya dia enggan ikut. Lili masih cukup kecil dan mungkin tidak sepenuhnya mengerti mengapa kami harus pergi ke kampung halaman Mas Deri, tapi aku merasa penting baginya untuk hadir. Apalagi, meskipun hubungan kami tidak lagi bersama, Mas Deri tetaplah ayahnya. Tidak ada ala
Hari ini adalah tepat dua tahun yang lalu, aku dan Mas Deri memutuskan untuk berpisah. Sejak saat itu, hidupku berubah drastis, namun aku merasa cukup bahagia dan puas menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal untuk putriku, Lili. Dalam waktu dua tahun ini, aku telah belajar untuk menjadi lebih mandiri dan kuat, meskipun tentunya ada banyak tantangan yang harus kuhadapi. Aku merasa cukup bangga melihat putriku tumbuh menjadi seorang anak yang ceria, cerdas, dan penuh semangat.Hari ini juga menjadi hari yang penuh makna, karena Lili akhirnya memulai perjalanan barunya di sekolah dasar. Ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Aku tahu betapa pentingnya momen ini, dan meskipun perasaan campur aduk melanda hatiku, aku merasa sangat bersemangat untuk mengantarnya ke sekolah untuk pertama kalinya. Sebagai orang tua tunggal, aku merasa bahwa aku tidak boleh melewatkan momen-momen penting dalam kehidupan Lili. Sebelum kami berangkat, aku memastikan untuk memberikan dukungan penuh a
Aku tidak menjawab pertanyaan dari Rehan, karena aku sendiri juga terkejut melihat mas Deri. Mas Deri, yang memiliki segalanya, kini aku melihat dia menjadi pemulung.Begitu malang nasibnya. Meskipun aku berusaha keras untuk melupakan segala kenangan bersama Mas Deri, kenyataan yang ada di depanku ini membuat semuanya kembali mengingatkan aku pada masa-masa masih bersama Mas Deri.Jujur setelah Lili ikut bersamaku, kehidupan kami berdua jauh lebih tenang. Namun, di sisi lain, hubungan dengan Mas Deri semakin renggang. Meskipun beberapa kali dia datang ke rumah Rina untuk menemuiku, aku tidak sekali pun memberinya kesempatan untuk berbicara denganku. Aku benar-benar menghindarinya. Begitu juga dengan telepon dan pesan yang seringkali dia kirim, aku memilih untuk tidak membalas. Aku merasa bahwa hubungan kami sudah berakhir, dan aku tak ingin kembali ke masa lalu yang penuh dengan kepedihan itu.Tapi sekarang, melihat Mas Deri yang sudah jauh berubah, aku merasa prihatin.Melihatnya m
"Rin, kamu diam saja bisa tidak." ucap Rehan pada sang adik yang hampir saja memberi tahu Diana, tentang pekerjaan aslinya.Tentu saja Rehan berbicara, saat Diana dan juga Lili sedang mencoba permainan lain di wahana permainan yang mereka kunjungi."Mas, ngapain sih di tutup tutupi dari Mbak Diana, cepat atau lambat pasti Mbak Diana tahu kalau Mas ini sebenarnya bukan tukang bangunan, tapi pengusaha properti yang sukses." ucap Rina, dirinya benar-benar heran kenapa sang kakak, yang tidak ingin memberi tahu Diana jika dia adalah seorang pengusaha properti.Namun, Rehan tidak ingin menjawab pertanyaan dari sang adik."Eh malah diam." ujar Rina. "Dan kapan, Mas Rehan mau bilang sama Mbak Diana. Kalau Mas Rehan masih suka sama dia."Rehan menatap pada Rina, setelah mendengar apa yang dikatakannya."Mas jangan bohong, aku tahu Mas tuh masih suka sama Mbak Diana. Dan sekarang saatnya Mas mengungkapkan perasaan Mas pada Mbak Diana, sebelum ada orang lain yang mendekati Mbak Diana." saran Rin
"Diana, aku butuh kamu dalam hidupku, Diana," ucap Mas Deri, masih bersujud di depanku. Suaranya penuh dengan kesedihan dan harapan yang begitu mendalam. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan lebih memilih untuk diam, seakan membiarkan waktu yang berbicara. Sungguh, aku sudah lelah dengan segala kenangan tentang Mas Deri. Kenangan yang dulu begitu indah, dan berakhir dengan kesedihan.Aku memilih untuk beranjak dari dudukku, meninggalkan Mas Deri yang masih bersujud dengan penuh penyesalan. Saat aku berbalik, pandanganku langsung bertemu dengan Rehan, yang sejak tadi berdiri dengan ekspresi tegas di wajahnya. Rehan sepertinya bisa merasakan kegelisahanku, dan dia tahu betul bahwa kehadiran Mas Deri di sini bukanlah sesuatu yang kuinginkan.Rehan kemudian mendekati Mas Deri, memberikan perintah tegas yang langsung menghentikan suasana canggung itu. "Jangan seperti ini, Der. Mending kamu keluar dari rumah ini," kata Rehan dengan nada yang jelas.Aku merasa sedikit lega, karena Rehan s
Rehan yang sedang bermain dengan Lili, kini menatap padaku setelah Rina mengatakan bahwa Mas Deri datang. Kata-kata itu seperti membawa aura tegang dalam suasana yang seharusnya ringan. Tak lama, Rehan bertanya dengan penuh perhatian padaku. "Kamu mau menemuinya?" Sebuah pertanyaan yang sungguh menggugah, namun aku bisa merasakan bahwa Rehan tahu persis apa yang aku rasakan. Dia tahu betapa sakitnya aku karena Mas Deri, tahu betapa dalamnya kecewa yang aku rasakan setelah apa yang terjadi dalam hidupku.Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan itu dengan tegas. "Aku tidak ingin menemuinya, Re." Aku mencoba terdengar yakin, meskipun sebenarnya di dalam hatiku ada banyak perasaan yang bercampur aduk. Mas Deri adalah bagian dari masa lalu yang sulit untuk dihapus begitu saja, meskipun aku terus berusaha untuk melupakan segalanya.Sungguh, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan Mas Deri lagi. Setelah pengkhianatan yang aku alami, hatiku merasa begitu hancur. Banyak kenangan ind