Home / Romansa / SWEETHEART MAFIA / PEDULI TANDA CINTA

Share

PEDULI TANDA CINTA

Author: Kumara
last update Last Updated: 2021-05-11 14:16:01

Kaki Aiza terlalu lemas, nyaris saja dia ambruk ke lantai. "Udah besar kamu sekarang ya!" kata Ramon dengan senyum lebar yang menunjukkan barisan gigi putihnya yang besar-besar. Kepalanya yang selebar muka Aiza menepuk-nepuk puncak kepala Aiza seolah Aiza adalah anak anjing kesayangannya. Pipi Aiza merah jambu memanas.

Tak ada satu kata pun yang mampu terucap oleh bibir Aiza. Dia diam membeku, kehabisan kata-kata, larut dalam aroma parfum Ramon yang memabukkannya.

"Eh, kalian berdua sudah makan? Ayo kita makan malam. Di luar aja. Sekalian cerita-cerita." Ramon bersuara lagi.

***

Aiza dan Delima saling pandang entah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Bagaimana tidak, sekali lagi mulut mereka menganga. Ramon membawa mereka ke sebuah restoran jepang nan mewah, menyajikan hidangan laut yang bisa membuat kantong jebol. Sarah tidak ikut serta sebab dia ada janji dengan temannya malam ini, dia mesti bersiap-siap.

Anehnya, Sarah masih tinggal di rumah Ramon. Dia bahkan melenggang bebas keluar masuk kamar Ramon. Dari situ, satu kesimpulan bisa ditarik Aiza dan Delima, Sarah tinggal bersama Ramon, mereka menetap di bawah atap yang sama. Satu fakta itu cukup mengiris hati Aiza, tapi dia belum sempat membicarakannya dengan Delima.

Delima tampaknya bahkan tak peduli soal itu, yang dia pikirkan sekarang hanya meja penuh makanan yang ada di depan matanya. Lain dengan Aiza yang bahkan tak tahu mau menyantap yang mana lebih dulu.

"Makan ..., kamu nggak suka makanan kayak gini? Mau pindah restoran?" tanya Ramon kepada Aiza.

"Nggak, Mas! Ini juga ..., lebih ..., lebih dari cukup!" jawab Aiza seraya mulai mengambil beberapa potong sushi lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

"Jadi gimana? Apa kabar desa?" tanya Ramon santai dengan mulut mengunyah.

"Baik. Kabar Ibu yang nggak baik. Mikirin Mas terus, sampe makan hati." Delima mengoceh mewakili perasaan ibunya.

"Kok ngomong gitu sih? Kesannya Mas sudah durhaka sama Ibu."

"Ya habisnya ...," Delima meletakkan dulu sendok dan sumpit yang tak mahir dia gunakan. "Mas nggak pulang-pulang tuh kenapa? Ada masalah apa? Kasihan Ibu, Mas. Nahan rindu nahan kangen sama Mas."

"Ya ..., maaf deh, Mas emang terlalu asyik sendiri." Ramon meminta maaf tapi terdengar tak sungguh-sungguh. "Jadi kalian berdua berangkat berdua aja? Ckck, bisa-bisanya Ibu nih! Apa nggak mikirin keselamatan kalian? Kan bahaya, dua anak remaja pergi ke Jakarta tanpa pengalaman. Kalau nyasar gimana." Dia ubah arah pembicaraan dengan licinnya, tapi Delima tak akan terkecoh.

"Kami ini bukan anak-anak, Mas. Jangan ubah topik, deh. Serius ya, Mas mau balik kan? Kami ke sini tuh buat ngajak Mas balik. Ibu disuruh ke sini nggak mau, asyik juga ngurusin sawahnya, takut ada keong. Jadi gimana?" Delima tak tahan untuk langsung ke inti pembicaraan, maksud tujuan.

Ramon mengembuskan napas beratnya ke udara. "Mas pikir Mas nggak bakal bisa balik ke desa lagi. Justru Mas berniat mau memboyong kalian ke sini, tunggu rumah yang Mas bangun selesai dirampungkan. Rumah di desa ikut sawah-sawah itu ya kita jual aja. Kamu juga kan mau kuliah di sini?"

"Kenapa toh, Mas? Apa alasannya? Ibu kan mau selamanya di desa, sampai tua dan mati. Biar bisa dikubur sebelahan sama mendiang Bapak."

"Jangan ngomongin kematian begitu ah. Nggak baik. Lagian, mau sampai kapan Ibu bertani? Ibu sudah tua, udah sebaiknya santai aja, biar Mas yang atur semua."

"Itu juga aku penasaran, Mas. Mas kerja apa, sih? Kok tiba-tiba jadi kaya raya begini?" Delima tak segan-segan bertanya.

Ramon tersenyum miring. "Tiba-tiba? Sudahlah, Bocah ..., kamu pikirkan aja mau kuliah di mana. Jangan curiga sama Mas-mu sendiri."

Delima menggerutu, dia paling benci dipanggil Bocah oleh kakaknya meski dia pun sering menggunakan panggilan bernada ejekan itu kepada Cempaka.

***

Saat mereka bertiga pulang, Sarah sudah siap dengan gaun berpotongan penguin berwarna emas. Gaun bertali satu jari itu menunjukkan belahan dadanya yang cukup terbuka. Riasannya tak kalah tebal dan berwaran, dengan rambut dicepol kasar. Aiza langsung bisa merasakan ada hawa tak enak.

"Ramon! Kamu ikut, kan, babe?"

Ramon yang sedang berganti pakaian di kamar menyahut, "Ya! Aku ikut, Mbak!"

Aneh juga mengetahui Ramon memanggil Sarah dengan sapaan Mbak. Lantas hubungan mereka apa? Aiza membatin. Tak lama kemudian, Ramon keluar dengan kemeja hitam dan wajah lebih bersih cemerlang. Aiza yang sedang duduk di ruang tamu melirik kikuk, tak mengerti situasi apa yang tengah terjadi di depan matanya, sedang Delima sedang berada di kamar mandi.

Ramon menoleh sebentar pada Aiza. "Za, kami berangkat, ya. Mungkin subuh pulangnya. Bilang sama Delima, ya."

Kepala Aiza mengangguk pelan, kikuk. "Eh, dia nggak sekalian kita ajak? Kan dia daun muda boleh juga, tuh." Sarah berbisik dengan genit, tapi Aiza mampu mendengarnya.

"Hush, kamu jangan ngaco, Mbak. Dia masih anak-anak," tepis Ramon.

"Anak-anak? Udah dewasa dia, udah cukup umur, Sayang. Udah ada bulunya ..."Sarah mendesis genit lagi.

"Ngaco ah! Ayo buruan!" Agak kesal, ramon emnarik Sarah keluar, meninggalkan Aiza sendiri dengan muka bingung, dengan hati penuh tanda tanya dan hati yang teriris-iris.

***

Sampai tengah malam, mata Aiza belum juga terpejam, pikirannya masih melayang kepada Ramon. Ramon yang dulu dia ingat begitu soleh, manis, meski sikapnya misterius, sekarang dia terlihat sangat jauh berbeda. Bukan hanya karena dia bertambah usia dan kematangan serta wibawa, tapi ada sesuatu yang lain darinya.

Suara dari luar mengejutkan Aiza, dia bergegas bangkit untuk duduk. Dia lirik Delima yang masih tidur nyenyak di sampingnya. Aiza memasang telinga tajam-tajam, ada suara gedebuk. Aiza lekas keluar dari kamar. Matanya membulat saat dia lihat Ramon terjatuh ambruk di samping meja TV. Segera dia hampiri pria tinggi itu. Aroma alkohol dan bau rokok kuat menguar dari tubuhnya.

"Mas Ramon? Kok pulang sendirian? Mana Mbak Sarah?" Aiza tahu sia-sia bertanya kepada orang yang sedang dalam kondisi mabuk, tapi tetap saja dia memang heran kenapa Ramon pulang sendiri.

Aiza mengerahkan seluruh tenaga untuk membopong tubuh besar Ramon di atas pundaknya. Dia seret pria itu masuk ke dalam kamar. Sejenak Aiza terperangah melihat kamar Ramon yang bertema merah dan tampak begitu sensual, tapi dia alihkan fokus kembali kepada Ramon. Ada Ramon yang sedang mabuk di pegangannya.

Tubuh Ramon ambruk di atas tempat tidur king size berseprai merah maroon. Dengan sabar, Aiza melepas sepatu Ramon. Tiba-tiba saja, Ramon menarik kepala Aiza sampai gadis itu terjatuh di atas dadanya yang bidang.

"Sayang ...?" Suara Ramon parau.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SWEETHEART MAFIA   PULIH

    Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo

  • SWEETHEART MAFIA   UDARA BEBAS

    Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang

  • SWEETHEART MAFIA   ANAK SEORANG PENJAHAT

    "Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi

  • SWEETHEART MAFIA   CINTA SUMBER SENGSARA

    "Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n

  • SWEETHEART MAFIA   HASAN

    Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu

  • SWEETHEART MAFIA   BERPISAH SEMENTARA

    "Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status