Share

Saat Ibu Mertua Berdiri Dipihakku
Saat Ibu Mertua Berdiri Dipihakku
Penulis: Oscar

Part1

"Maaf, Dwi. Papa udah nggak ada. Tidak ada gunanya lagi kita lanjutkan pernikahan ini." 

Bagai tersambar petir hatiku saat mendengar Mas Dimas mengucapkan kata itu. Laki-laki yang baru saja menikahiku dua minggu yang lalu. Kini tepat setelah tahlil malam ketiga berpulangnya mertua laki-lakiku, dia ingin kami berpisah begitu saja.

"Ma__maksud Mas..., apa? Salah Dwi apa, Mas?" Genangan air telah penuh mengisi rongga di tiap sudut netraku. 

"Kamu tahu sendiri alasan Mas mau menikahi kamu, kan? Sekarang alasan itu udah nggak ada. Mas udah memenuhi permintaan Papa saat dia masih hidup. Namun Mas juga punya hak mengambil keputusan untuk diri Mas sendiri."

Air mataku mengalir deras begitu saja. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Mas Dimas maksudkan. Yang aku tahu kami menikah atas persetujuan kedua belah pihak. Sama sekali tak ada paksaan.

Aku memang yatim piatu yang diasuh oleh keluarga Mas Dimas. Papanya yang telah lama menjalin persahabatan dengan ayahku, membuat orang tua Mas Dimas menerimaku dengan senang hati.

Ibuku yang sudah meninggal sejak aku kecil membuatku tak punya siapa-siapa lagi selain ayah. Setelah ayah menyusul kepergian ibu, aku jadi hidup sebatang kara. Karena merasa kasihan, orang tua Mas Dimas merawat dan menyekolahkanku hingga lulus SMA.

Mimpi indahku untuk masuk ke perguruan tinggi hancur seketika saat Om Hadi_ papanya mas Dimas_ mendadak masuk rumah sakit. 

Stroke yang dideritanya sejak dua tahun lalu akhirnya mencapai puncak. Pria berdarah jawa itu ngedrop dan harus dirawat di Rumah Sakit.

Dalam keadaan yang lemah dan memiliki firasat tak enak, Om Hadi memintaku untuk menerima lamarannya sebagai menantu. Aku menoleh ke arah Mas Dimas yang saat itu hanya diam.

Melihat pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak memiliki reaksi untuk menolak, aku berpikir kalau dia juga menyetujuinya. Toh kami sudah saling mengenal setelah delapan tahun hidup bersama dalam satu rumah.

Mas Dimas memang selama ini cuek. Tapi tidak terlihat membenciku. Meski jarang bicara dan menyapaku, tapi dia tak keberatan aku menjadi bagian dari keluarga mereka. Jadi saat itu aku menganggap, bahwa Mas Dimas akan menjadi suami yang baik untukku.

Lagipula, aku akan menjadi tidak tahu diri jika sampai menolak keinginan dari keluarga yang telah menampungku selama ini.

Pernikahan pun diadakan di kamar inap Om Hadi. Tak ada pesta atau syukuran karena kondisinya yang masih lemah. Hanya dihadiri oleh para saksi dan juga beberapa kerabat dekat keluarga mereka.

"Nanti kalau Papa sudah sembuh, kita bikin pesta yang meriah, ya, Pa?" Mama mertuaku mencoba memberikan semangat untuk pria lemah yang telah sah kupanggil Papa.

Papa tersenyum mengangguk. Ada gurat kebahagiaan terpancar di wajah pucatnya. Saat itu aku melirik ke arah laki-laki yang baru saja mengucapkan ijab kabul. Tak ada senyuman di wajahnya. Malah terkesan bersedih. Namun aku pikir hal itu karena papa sedang sakit.

Saat pulang ke rumah pun, dia sama sekali tak menyentuhku. Lebih sering masuk ke kamar saat aku sudah tertidur. Bahkan aku tak tahu kapan dia masuk. Aku yang memang jarang berbicara dengannya sejak dulu tak berani bertanya. Lagi pula jika dia menginginkanku, dia akan meminta dengan sendirinya.

Aku terlalu malu untuk bersikap 'nakal' di usiaku yang baru saja menginjak sembilan belas tahun.

Namun dua minggu setelah pernikahan, Papa berpulang. Bukannya pesta pernikahan yang kami adakan, tapi acara belasungkawa. Hingga akhirnya, malam ini mas Dimas mengucapkan kalimat yang tidak kusangka-sangka sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status