Share

2 — Benturan Pertama

Penulis: Syuhda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-18 08:04:01

Hari itu mungkin hanya hari pertama, langkah awal di dunia kampus yang penuh cerita. Tapi baik Vanya maupun Elvano sama-sama merasakan satu hal—ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat mereka menunggu esok dengan sedikit lebih bersemangat.

Sementara itu, di aula yang mulai sepi, Aurelya masih duduk dengan wajah masam. Ia menatap kertas jadwal di tangannya seperti musuh bebuyutan.

“Gila, ribet banget ini. Kenapa mata kuliah bisa loncat-loncat gini, sih?” gumamnya kesal.

Raksa berdiri tak jauh darinya, baru saja memasukkan buku ke dalam tas. Ia sempat melirik sekilas. “Kalau dibaca bener, nggak ribet kok.”

Aurelya langsung menoleh tajam. “Maksud lo?”

“Maksud gue… mungkin lo terlalu sibuk ngeluh sampai lupa mikirin solusinya.”

Komentar itu membuat Aurelya mendengus keras. Ia berdiri, melipat kertas jadwalnya kasar.

“Lo pikir semua orang jenius kayak lo, ya? Gue juga bisa baca, cuma… ya emang ribet aja!”

Raksa mengangkat alis, wajahnya datar. “Kalau ribet, tinggal ditanya. Nggak usah marah-marah.”

“Gue nggak marah!” bentak Aurelya, meski jelas nadanya tinggi.

Beberapa mahasiswa yang masih lewat menoleh, sebagian berbisik-bisik melihat “debat dadakan” itu. Tapi Raksa tetap diam, hanya menatap Aurelya dengan sorot mata dingin yang entah kenapa justru bikin cewek itu makin emosi.

Aurelya menatap balik, lalu mendekat setengah langkah. “Lo tau nggak, dingin lo itu nyebelin banget?”

Raksa tidak goyah sedikit pun. “Mungkin karena lo terlalu sibuk ngehadepin panasnya diri sendiri.”

Suasana jadi hening beberapa detik. Aurelya menutup mulutnya rapat-rapat, jelas ingin membalas, tapi akhirnya hanya memutar bola mata dan melangkah pergi dengan kasar.

Raksa menghela napas, lalu menatap punggung Aurelya yang menjauh. Dalam hatinya, ia tahu—cewek itu bukan tipe orang yang gampang didekati. Tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya menarik perhatian.

Di luar aula, Shafira yang melihat adegan tadi langsung nyamperin Aurelya.

“Rel, lo kenapa sih? Baru hari pertama udah berantem aja.”

“Dia yang nyari gara-gara!” Aurelya menjawab cepat.

Shafira terkekeh kecil. “Atau jangan-jangan… lo justru kepancing karena dia beda sama cowok lain?”

Aurelya berhenti sejenak, menoleh kesal. “Apaan sih? Jangan aneh-aneh lo.”

Namun, dalam hati kecilnya, Aurelya tidak bisa menolak—ada sesuatu dari dinginnya Raksa yang entah kenapa bikin ia terus teringat.

Dan di situlah, benih benturan pertama berubah menjadi awal cerita yang jauh lebih rumit.

Shafira meliriknya sambil nyengir usil. “Rel, lo jangan-jangan suka tantangan, ya? Biasanya kan lo gampang ngegas, tapi kali ini… kayaknya kena balik.”

Aurelya berhenti berjalan, menoleh dengan tatapan seolah pengen ngebantah keras. Tapi bibirnya hanya terbuka sedikit lalu tertutup lagi.

“Apaan sih, Fir. Gue cuma sebel. Udah, titik.”

Shafira terkekeh, tangannya merangkul bahu Aurelya. “Yaudah, jangan baper. Lagian kampus baru ini isinya kan orang-orang random semua. Bisa aja yang lo kira nyebelin, nanti malah jadi…”

“Stop. Jangan lanjutin.” Aurelya menoleh cepat, wajahnya memerah tipis.

Shafira menahan tawa, pura-pura mengangkat tangan menyerah. Tapi dalam hati, ia mencatat: Aurelya jarang banget kepikiran sama orang. Kalau sampai ada satu cowok dingin yang bikin dia kesal segitunya, berarti ada sesuatu.

Sementara itu, di dalam aula yang mulai benar-benar sepi, Raksa masih berdiri sebentar. Ia menatap kursi kosong, lalu menarik napas panjang.

“Aneh…” gumamnya pelan. “Kenapa gue malah mikirin cewek itu.”

Ia menggeleng, memasang kembali wajah datarnya, lalu melangkah keluar. Dari kejauhan, matanya sekilas menangkap Aurelya yang masih jalan bersama Shafira. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, sempat muncul di wajahnya.

Dan tanpa mereka sadari, benturan kecil hari itu sudah mulai menanam benih konflik—antara dua pribadi keras kepala yang sama-sama enggan mengalah.

Di koridor luar aula, Shafira masih menahan senyum geli gara-gara ekspresi Aurelya tadi. Tapi sebelum sempat lanjut menggoda temannya lagi, sebuah suara memanggil dari arah tangga.

“Shafira!”

Shafira menoleh. Arya Dirgantara, dengan kemeja santai yang digulung sampai siku, menuruni tangga sambil menenteng botol minum. Beberapa mahasiswa cewek di sekitarnya langsung melirik, sebagian berbisik-bisik.

“Eh, lo dipanggil tuh,” Aurelya menyikut pelan.

Shafira berdecak. “Biasa, efek seleb kampus baru.”

Arya menghampiri dengan senyum percaya diri khasnya. “Gue tadi liat lo dari aula. Kok buru-buru banget jalan sama Aurelya? Gue kira lo biasanya santai.”

“Lo ngintaiin gue, ya?” Shafira mengangkat alis, nada suaranya setengah bercanda.

Arya terkekeh. “Nggak lah. Gue kebetulan aja liat. Lagian, susah juga sih buat nggak notice lo.”

Aurelya yang masih di samping Shafira langsung mendengus. “Ih, gombalnya mulai lagi.”

Arya hanya melirik sekilas, senyum tipis di bibirnya tidak goyah. “Kan bukan buat lo, Rel.”

Shafira spontan tertawa kecil, menutup mulut dengan tangan. “Gue bener-bener heran, ya. Baru hari pertama kuliah, tapi lo udah kayak duta kampus.”

“Anggep aja gue sedang menjalankan tugas mulia,” Arya menunduk sedikit, pura-pura formal. “Ngasih kesan pertama yang baik buat temen baru.”

“Kesannya malah sok banget,” Aurelya nyeletuk cepat, membuat Shafira makin ngakak.

Arya justru makin santai, menaruh kedua tangannya di saku celana. “Terserah lo mau bilang apa. Yang penting, Fir ngerti maksud gue, kan?”

Shafira terdiam sepersekian detik, menatap Arya yang menunggu jawaban dengan ekspresi penuh percaya diri. Ia mencoba tetap kalem, meski dalam hati ada sedikit rasa aneh—entah itu sebal karena gombalnya, atau malah geli sendiri.

“Gue ngerti… kalau lo emang nggak bisa lepas dari gaya sok asik lo itu,” jawab Shafira akhirnya.

Arya terkekeh lagi, kali ini lebih tulus. “Setidaknya lo merhatiin.”

Aurelya melotot. “Udah ah, gue cabut dulu. Lo dua orang lanjut aja gombal-gombalan di sini.” Ia berbalik cepat, meninggalkan mereka.

Shafira menatap punggung temannya lalu geleng-geleng kepala. “Dia gampang bete kalau liat lo, tau nggak.”

“Bukan gue doang. Kayaknya emang semua cowok dianggap musuh sama dia.” Arya santai, lalu menatap Shafira lebih dalam. “Kecuali lo. Lo beda.”

Ucapan itu membuat Shafira refleks meremas tali tasnya lebih erat. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, pura-pura ngeliat papan pengumuman di samping. “Gue balik duluan deh, masih mau cek jadwal.”

Arya tidak menahan, hanya tersenyum tipis sambil melambaikan tangan. “Oke. Tapi jangan heran kalau besok gue tiba-tiba nongol lagi, ya.”

Shafira berjalan pergi, berusaha tetap biasa. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih kencang, meski ia sendiri belum tahu kenapa.

Dan di antara ramainya kampus baru, benih interaksi pertama itu mulai tumbuh—bukan dengan ledakan, tapi dengan cara sederhana yang justru lebih berbahaya dari lewat senyum kecil dan kata-kata ringan.

Shafira berjalan di samping Arya, masih dengan langkah ragu. Aula sudah semakin jauh ditinggalkan, hanya suara gaduh mahasiswa lain yang samar-samar terdengar. Sesekali Shafira mencuri pandang, melihat wajah Arya yang tetap datar namun matanya seperti penuh pikiran.

Ada sesuatu yang berbeda dari cara dia melangkah, tidak secepat biasanya, seakan memberi ruang agar Shafira tetap bisa menyeimbangkan langkah.

“Lo nggak keberatan tadi?” Shafira akhirnya membuka suara, nadanya hati-hati.

Arya menoleh sekilas, alisnya terangkat tipis.

“Keberatan kenapa?”

“Maksud gue… lo tiba-tiba nyamperin gue di depan banyak orang. Gue kira lo nggak suka jadi pusat perhatian,” ucap Shafira pelan, sambil menunduk memainkan resleting tasnya.

Arya menghela napas singkat, matanya menatap ke depan. “Kalau orang lain yang liat, biarin aja. Gue cuma nggak mau lo keliatan sendirian di situ.” Kalimatnya sederhana, tapi bagi Shafira rasanya seperti ada sesuatu yang mengalir hangat ke dadanya.

Shafira tersenyum kecil, tapi buru-buru disembunyikan dengan menunduk. “Lo aneh, Ra. Biasanya cuek.”

Arya menoleh lagi, kali ini tatapannya lebih dalam. “Mungkin gue lagi nggak pengen cuek sekarang.”

Ada jeda di antara mereka, langkah terhenti sejenak ketika angin sore menerpa dari arah taman. Shafira merasa jantungnya berdebar lebih cepat, sementara Arya diam saja, seakan menikmati detik-detik tanpa kata itu.

“Shaf…” panggil Arya tiba-tiba, membuat Shafira kaget.

“Hmm?”

“Lo pernah mikir nggak, kalau beberapa hal yang kelihatannya kebetulan, sebenarnya nggak kebetulan sama sekali?” tanyanya dengan nada serius.

Shafira menatapnya bingung. “Maksud lo?”

Arya menahan pandangannya, seolah ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, tapi ditahan. “Nggak, lupakan aja.” Ia kembali berjalan, meninggalkan Shafira yang masih terdiam dengan pertanyaan

menggantung itu.

Shafira menghela napas, berusaha mengatur detak jantungnya. Ada sesuatu dari Arya yang semakin sulit ia tebak, dan itu justru membuatnya ingin tahu lebih dalam.

Shafira menoleh cepat, melangkah lebih cepat dua langkah untuk bisa sejajar dengan Arya. “Kenapa lo ngomong gitu? Jangan bikin gue penasaran setengah mati, Ra.”

Arya tersenyum tipis—senyum yang jarang sekali muncul dari wajah dinginnya. “Lo selalu pengen tau semua hal, ya?”

“Ya iyalah. Kalau nggak, gimana gue bisa ngerti lo?” balas Shafira spontan.

Arya sempat terdiam. Kata-kata Shafira menancap lebih dalam dari yang ia kira. Ia berhenti melangkah, membuat Shafira ikut terhenti. “Lo beneran pengen ngerti gue?” tanyanya pelan, nadanya berbeda—serius, nyaris seperti pengakuan.

Shafira menatapnya, sedikit terkejut dengan sorot mata Arya yang lebih jujur dari biasanya. “Iya, Ra. Dari dulu juga gue pengen ngerti kenapa lo kayak... bikin jarak sama semua orang, tapi kadang justru deket banget.”

Hening sesaat. Angin sore kembali berhembus, membuat rambut Shafira sedikit berantakan. Arya menahan napas, lalu berkata pelan, “Mungkin karena gue nggak terbiasa ngebuka diri. Tapi… sama lo, rasanya nggak seberat itu.”

Shafira membeku, matanya melebar. Ada sesuatu dalam suara Arya yang tulus, berbeda dari kalimat-kalimat singkat yang biasanya keluar.

“Ra…” panggil Shafira lirih, hampir tak terdengar.

Arya menatapnya sekali lagi, lalu mengalihkan pandangan. “Udah, ayo jalan. Kantin keburu penuh.” Ia melangkah lagi, kali ini sedikit lebih cepat, seakan tak mau membiarkan Shafira membaca lebih jauh perasaannya.

Shafira hanya bisa tersenyum samar, melangkah mengikuti dari belakang. Dalam hatinya, kalimat Arya tadi berputar-putar, menimbulkan tanda tanya sekaligus rasa hangat yang sulit ia definisikan.

Dan sore itu, tanpa keduanya sadari, jarak di antara mereka perlahan mulai memudar—walau hanya melalui obrolan singkat dan tatapan yang lebih jujur dari biasanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status