로그인*Di Sini Tempat Persembunyianku* Sebuah bungkusan asing telah menjentik rasa ingin tahu D, seorang remaja lelaki yang bercita-cita ingin menjadi superhero. Isi benda alah berkenaaan menyebabkan dirinya seumpama dihambat keras untuk menyiasat. Pulau Batu atau juga dikenali sebagai Pulau Penyakit dan Pulau Keramat merupakan tempat serta petunjuk dari isi sampul tersebut. Setibanya D di pulau itu, pelbagai kejadian aneh bergentayangan di sana. Selesaikan teka-teki, tumpaskan dalang, selamatkan orang lain, dan sekaligus memecahkan misteri-misteri di segenap penjuru Pulau Batu. Mior dicurigai kerana sejarah lampau tempat tersebut berkait rapat dengan si pak cik angkat. Alang-alang menyeluk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan. D nekad terjun ke dalam kawah maut yang dilumuri dengan kisah duka dan darah.
더 보기Maya memutar tubuhnya di depan cermin ruang tamu untuk kesekian kalinya. Blazer krem yang membalut tubuhnya masih sama elegannya seperti saat pertama ia beli dua tahun lalu, meski sekarang terasa sedikit lebih longgar. Enam tahun, bisiknya dalam hati. Enam tahun, dan tubuhnya malah makin kurus, bukannya tambah berisi... seperti yang seharusnya.
"Wah, cantik sekali, Bu." Pak Karyo muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh hangat. Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak mereka pertama menikah itu tersenyum tulus. "Kayak foto pengantin yang di sana itu." Ia menunjuk ke figura yang tergantung di dinding—foto pernikahan Maya dan Irwan. Maya tersenyum tipis. "Ah, Pak Karyo bisa aja." Ia menerima teh yang disodorkan, menyesapnya perlahan. Aroma melati yang familiar bikin tubuhnya agak rileks. "Yang, dasi aku miring nggak?" Irwan keluar dari kamar, masih berkutat dengan simpul dasinya. Maya letakkan cangkir tehnya, lalu hampiri suaminya. "Sini." Dengan lembut ia membenarkan dasi Irwan. Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma aftershave yang familiar—masih sama seperti enam tahun lalu. "Sudah." "Maya..." Irwan menangkap tangannya yang hendak menjauh. "Kamu oke?" Matanya menatap cemas. Maya mengangguk, meski keraguan jelas di matanya. "Cuma... nervous. Biasa." "Bu Maya, Pak Irwan," Pak Karyo berdeham pelan. "Udah jam setengah tujuh." "Oh iya," Irwan melepaskan tangan Maya, mengambil kunci mobil dari meja. "Kita harus berangkat sekarang kalau nggak mau telat." Maya mengambil tas tangannya, mengeluarkan lipstik untuk sentuhan terakhir. "Pak Karyo, tolong jaga rumah ya. Kita pulangnya mungkin agak maleman." "Siap, Bu." Pak Karyo mengikuti mereka ke teras depan rumah. Langit Jakarta sudah gelap, tapi udara masih terasa hangat. "Selamat ulang tahun pernikahan. Semoga Allah selalu memberkahi." Di mobil, Maya mengeluarkan ponselnya, mengecek alamat restoran untuk terakhir kali. Mereka memilih tempat Indonesia yang cukup berkelas di Menteng—tidak semewah hotel bintang lima, tapi cukup untuk menjaga gengsi keluarga besar mereka. "Siap?" Irwan remas tangannya lembut sebelum nyalakan mesin. Maya tarik napas panjang, ngerasain jemarinya gemetar. Dia tau banget apa yang nunggu mereka malam ini—tatapan penuh tanya, bisikan yang nggak keucap, harapan yang belum terpenuhi. "Siap," jawabnya, lebih buat yakinkan diri sendiri. Dua puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan restoran. Bangunan kolonial yang direstorasi itu tampak hangat dengan pencahayaan taman yang lembut. Maya bisa melihat beberapa mobil familiar sudah terparkir—keluarga mereka sudah mulai berdatangan. Maya merasakan genggaman Irwan mengerat. Mereka berdua tahu apa yang menanti di balik pintu kayu berukir itu—dua keluarga besar dengan ekspektasi yang lebih besar lagi. Ruangan VIP itu dirancang mengikuti konsep pendopo modern—luas dan elegan dengan sentuhan Jawa yang halus. Dua meja bundar besar dengan lazy susan kristal mendominasi ruangan. Aroma rempah dan bunga melati bercampur di udara, menciptakan atmosfer mewah yang tetap akrab. Di meja pertama, keluarga Maya sudah berkumpul. Papanya lagi diskusi serius sama Om Hadi soal harga properti di BSD, sementara Mamanya dan Tante Mira bahas rencana umroh tahun depan. Sepupunya, Andi, sibuk dengan iPad-nya—paling lagi closing another deal, pikir Maya. Typical keluarganya—bisnis nggak pernah berhenti, bahkan di acara keluarga. Di meja satunya, keluarga Irwan mulai berdatangan. Mama mertuanya langsung hampiri Maya, peluk dia dengan kehangatan yang terasa sedikit beda dari biasanya. "Selamat ulang tahun pernikahan ya, Nak. Enam tahun... masya Allah, nggak kerasa ya?" Justru kerasa setiap detiknya, Maya membatin, bales pelukan mertuanya dengan senyum profesional yang biasa dia pake di meeting. Percakapan ngalir ke berbagai topik. Om Hadi dan Papa balik tenggelam dalam diskusi properti mereka. Di sisi lain meja, Tante Astrid lagi cerita dengan antusias soal gallery batik barunya di Kemang. Mama Irwan sesekali nimpal, tapi Maya bisa ngerasain tatapannya yang sesekali arah ke blazer krem yang bungkus tubuh rampingnya. "Oh iya, Dik Linda udah masuk bulan ketujuh ya, Bu?" Tante Astrid beralih ke Mama Irwan. "Anak kedua..." Maya merasakan jemarinya mencengkeram garpu lebih erat. Linda, adik Irwan, baru menikah dua tahun lalu. Tapi sudah hamil anak kedua, sementara dia.... "Alhamdulillah," Mama Irwan senyum bangga. "Semoga lancar kayak yang pertama." Matanya lirik sekilas ke arah Maya. "Sekarang tinggal..." "Eh, soto konro-nya enak ya," Irwan motong cepat, tangannya di bawah meja remas lembut jari Maya yang mulai gemetar. "Tante mau tambah?" "Eh, nanti dulu," Tante Astrid senyum, matanya beralih ke Maya. "Maya sendiri gimana? Udah coba program lagi?" Maya merasakan jemarinya semakin dingin dalam genggaman Irwan. Ia memaksakan senyum profesional yang biasa ia gunakan saat presentasi sulit di kantor. "Lagi fokus kerja dulu, Tante. Project baru..." "Aih, kerja melulu." Tante Mira dari seberang meja ikut nimbrung. "Lihat Linda tuh, baru dua tahun nikah udah anak kedua. Padahal dia juga kerja." Maya teguk air putihnya pelan, berusaha tenangkan diri. Blazer krem yang tadi terasa pas kini kayak mencekik lehernya. Dari sudut matanya, dia bisa lihat Mama Irwan yang mulai gelisah dengan arah pembicaraan ini. "Maya ini emang kebanyakan mikir," Papa coba cairkan suasana. "Semua mesti direncanain detail. Iya kan, Wan?" "Iya, Pak." Irwan ngangguk, tangannya masih genggam erat jemari Maya di bawah meja. "Tapi bagus kan? Lihat aja pemilihan menu malam ini, semua—" "Ah, menu mah gampang diatur," potong Om Hadi, "tapi ada hal-hal yang nggak bisa diatur pake Excel sheet. Iya kan, Maya?" Tawa kecil menyebar di meja. Maya tersenyum tipis, merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Enam tahun, dan komentar-komentar seperti ini masih bisa menusuknya sedalam hari pertama. "Bu Maya," pelayan datang di saat yang tepat, "hidangan utamanya udah siap. Rendang atau ayam bakar?" Maya hampir menghela napas lega dengan interupsi ini, tapi Tante Astrid rupanya belum selesai. "Nanti coba tanya Linda ya, Maya. Dia pake dokter bagus di Menteng. Katanya ada program khusus buat... yang agak susah." Kali ini, Maya merasakan tangan Irwan yang gemetar dalam genggamannya. "Rendang saja," Maya menjawab pelan, bersyukur bisa mengalihkan pandangannya dari tatapan penuh arti Tante Astrid. Hidangan utama disajikan dengan elegan di atas piring porselen putih. Maya menatap rendang di hadapannya, aroma rempah yang biasanya menggugah selera kini terasa mencekik. Dia bisa denger percakapan di sekitarnya mulai beralih ke topik lain—bisnis properti Om Hadi, rencana umroh Mama, gallery batik Tante Astrid—tapi telinganya masih berdenging dengan komentar soal Linda... "Maya," Om Hadi tiba-tiba manggil dia dari seberang meja, suaranya yang berat bikin beberapa kepala noleh. "Kalo mau cepet hamil, kuncinya tuh posisi sama durasi." "Om Hadi..." Maya usaha senyum, tapi jarinya yang gemetar hampir jatuhin garpu. "Irwan ini kebanyakan kerja sih," Om Hadi nyendok rendangnya santai, matanya lirik penuh arti. "Minimal mesti tiga jam sehari, posisi yang tepat. Biar gravitasi bantu." Dia kedip mata. "Kalo cuma lima menit sebelum tidur, ya mana bisa?" Bisikan tawa tertahan terdengar di sekitar meja. Maya merasakan wajahnya terbakar, teringat rutinitas malam mereka yang memang hanya berlangsung singkat—Irwan selalu terlalu lelah setelah lembur. "Dan jangan lupa, posisinya harus yang dalem," Om Hadi lanjut dengan nada sok tau, seolah-olah dia ahli fertilitas. "Kalo cuma missionary standar gitu, susah nembus. Harus yang..." Dia bikin gerakan pake tangannya yang bikin Mama Irwan kesedak tehnya. Maya menunduk, tangannya mencengkeram garpu semakin erat. Di sampingnya, ia bisa merasakan tubuh Irwan menegang, keringat mulai membasahi telapak tangannya yang menggenggam jemari Maya. Mereka berdua tahu persis semua yang disebutkan Om Hadi adalah kebalikan dari rutinitas intim mereka yang singkat dan mekanis. Irwan berdeham keras. "Om Hadi, soal properti di BSD tadi—" "Oh iya, Maya," Mama Irwan motong, suaranya melembut dengan cara yang bikin Maya pengen nangis. "Mama denger di Malaysia ada treatment baru. Temen Mama sukses setelah lima tahun nyoba. Mau Mama minta kontaknya?" Maya merasakan pandangan semua orang tertuju padanya. Blazer kremnya yang sudah terasa longgar kini seolah menyusut, mencengkeram tubuhnya seperti tangan-tangan yang menuntut jawaban. "Makasih, Ma." Maya denger suaranya sendiri jawab, tenang dan terkontrol kayak pas dia mimpin rapat direksi. "Nanti kita omongin." Mama Irwan mengangguk, tapi Maya bisa melihat kekecewaan samar di matanya. Enam tahun, dan mereka masih menunggu. Enam tahun, dan setiap pertemuan keluarga masih berakhir dengan tatapan yang sama. Sisa makan malam berlalu dalam gerakan-gerakan mekanis. Maya mengiris rendangnya menjadi potongan-potongan kecil yang nyaris tidak ia sentuh. Irwan di sampingnya berusaha keras menjaga percakapan tetap pada topik-topik aman—politik, bisnis, cuaca—apa saja selain bayi dan kehamilan. Ketika hidangan penutup disajikan—es teler premium dengan kelapa muda Australia—Maya sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Setiap suapan terasa seperti abu di mulutnya. "Udah jam sembilan," Irwan akhirnya umumkan, lirik jam tangannya. "Maya besok ada meeting pagi." "Ah, masih sibuk aja," Tante Mira senyum penuh arti. "Padahal harusnya—" "Iya, meeting sama client dari Singapore," potong Maya cepat, bangkit dari kursinya. Blazer kremnya yang longgar dia rapetin kayak armor. "Makasih semuanya. Maaf kita harus duluan." Pelukan dan ciuman perpisahan terasa seperti siksaan. Setiap pelukan disertai bisikan "Sabar ya", "Jangan stress", "Coba konsul ke..." yang Maya tanggapi dengan senyum profesionalnya. Di mobil, Maya melepas sepatunya dengan gerakan lelah. Irwan menyalakan mesin dalam diam, membiarkan AC mobil mengisi keheningan di antara mereka. "Yang..." Irwan akhirnya ngomong setelah mereka keluar dari area parkir. "Jangan sekarang," Maya potong pelan, matanya terpejam. "Please." Irwan mengangguk, tangannya menggenggam kemudi lebih erat. Enam tahun, dan mereka masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat seperti ini.Terbenak akan kelegaan seusai diri selamat keluar dari gaung kesengsaraan. Padahal, ia bukanlah penamat. Melainkan sebuah lembaran kepahitan yang baru sahaja dimulai. REMAJA lelaki tersebut berlunjur kaki di atas katil sambil fikirannya menerawang ke 'atmosfera' lain. Luka yang masih terasa ngilu di kaki dan bahunya , dia sentuh seketika. Tetapi, ia tidak sesakit 'tamparan' akan sebuah hakikat yang telah dia ketahui satu-persatu. "Saya ini ayah kamu..." "Tak. Kau bukan ayah aku. Ayah aku dah tak ada!" "Maafkan ayah, D-" "Maafkan kau? Huh. Selepas semuanya terjadi, senang-senang saja kau nak minta maaf macam tak ada apa yang teruk berlaku dengan aku ni..." "Ayah ada sebab tersendiri kenapa ayah buat macam tu, D. Ia demi kebaikan kamu juga." "D
Kalau benar hidup ini adalah sebuah percaturan, maka kini tiba saatnya untuk bertempur. Tetapi... andai kata diri sendiri tidak mampu untuk menghadapinya, lebih baik ditinggal pergi. Sudah pasti diri tidak sanggup. Bukan? Kerana tunjang bahananya adalah sebuah perpisahan. Mahu tidak mahu, hidup kena diteruskan dengan kata 'tanpa'. SAYUP-SAYUP kedengaran suara seseorang yang memanggil namanya. Disebabkan hal itulah dia terjaga. "Pak Cik Mior? Pak cik dah sedar? Alhamdulillah." Tubuh pesakit itu bergerak perlahan dek kesakitan di kaki kirinya. Ada pula tompokan darah berbekas pada balutan tersebut. "Cakap dengan D, pak cik. Kenapa dengan kaki pak cik ni? Cedera pak cik sangat teruklah. D
Bangkai tidak boleh dihapuskan dengan cara memakan ia. Akan tetapi dengan kaedah membuang jauh lalu menanam ia agar bau busuknya tidak lagi menyengat deria si penghidu. Namun begitu, bangkai tetaplah bangkai. "KALAU kau bergerak, kau akan mati!" Dirinya terkaku. Orang tersebut segera menangkap pergelangan si pihak lawan sebelum membantingnya ke hadapan. "Argh!!" jerit si musuh. Senjata api dibuang jauh. Kini mereka berdua seri - tanpa apa-apa senjata. Dia memijak kuat akan paha individu berkenaan. "Jangan pernah main-main dengan aku atau kau akan mati!" gertaknya seketika. "Argh, sa... sakit! Lepaskan aku. Ak... aku janji yang aku... ak... akan pergi dari sini." "Tak semudah itu aku boleh biarkan kau terlepas. Disebabkan
Hembusan bayu cukup mendamaikan jiwa. Pada waktu yang sama, cahaya mentari turut menusup tembus sehingga ke dasar kulit. Begitu juga dengan diri kita. Akan ada beberapa hal yang akan serentak terjadi tanpa sempat untuk kita mempersiapkan perisai nan kebal. Tidak kisahlah kita genius atau pun segagah mana, ia tetap dapat menembusi benteng yang sedang kita bina. Ibarat air laut, hidupan di dalamnya, angin serta pelbagai lagi. Semuanya berjalan dengan lancar dikeranakan ia adalah kuasa Tuhan bukan manusia. Maka, kita sepatutnya tunduk menyerah bukan bersikap sombong melangit. "OKEYLAH. Aku akan bagitahu pada kau tapi aku akan cakap sekali saja. Jadi dengarkan ia baik-baik." Hifza mengangguk. "Huh! Syaz tu sebenarnya..." Tib
Sebelah sayap telah patah, kedinginan salju punya angkara; rencana jahat akan diperpatah, oleh perajurit yang kian mara. FIUH! Sebiji peluru meluncur laju ke arahnya dan dia tidak sempat mengelak. "Aduh!" Lengan kirinya tercedera dek goresan butir mematikan itu. Fiuh! Fiuh! Tembakan dilepaskan lagi oleh pihak di sana. Dia terpaksa menghapus niat untuk meneliti akan mayat yang ditemukannya tadi. Beberapa ketika, suasana kembali sepi. Hanya deruan ombak yang menghempas pantai. Tiba-tiba, sebuah ledakan pula memecahkan keadaan hening. Boom!! Individu tersebut terperanjat. Setelah itu, tiada kedengaran lagi bunyi dari apa-apa senjata api.
Ini bukan kisah tentang seseorang yang mengejar bayang-bayang cinta nan semakin sirna si pujaan hati. Tetapi mengenai sebuah perjuangan bersalutkan pembelaan. Terpuruk dalam kekesalan itu sungguh memeritkan. Jadi, wajar saja jika diri sendiri berusaha untuk memperbaiki keadaan. Walaupun hanya dengan sedikit pembetulan... NIATNYA untuk menyeberang laut menuju ke Pulau Batu itu terpaksa dikuburkan. Hal ini demikian kerana, hujan lebat telah merajai suasana. Namun begitu, tidak jua dia berputus asa. Sebaik sahaja awan berhenti menangis, individu berkenaan akan meneruskan tekadnya. 'Aku yakin, Leo dah bawa Mior pergi ke Pulau Batu sebab 'orang tua' itu ada dekat sana. Cis! Dia fikir, dia boleh larikan diri macam tu saja daripada aku?' Koby berdiri menghadap tingkap kaca kediaman. Rencananya selepas dia se
댓글