Share

3: Membukukan Kenangan

Beberapa rindu ditakdirkan untuk tetap menjadi rahasia semesta. Namun, terkadang beberapa orang bertindak melampaui batasnya untuk bersikukuh mengungkapkannya dan yang mereka dapati tak jarang adalah kecewa.

Maka, Aksa lebih memilih untuk mengikuti kehendak semesta. Ia pungut potongan rindu dan kenangan yang berjatuhan kala nama Bhisma kembali menjamah ingatannya. Lantas ia menyimpannya dalam tumpukan kata di balik jemarinya. Itulah yang ia sebut dengan membukukan kenangan.

Persiapan pameran buku sudah 85%, semua proposal yang dibuat Bima dan anggotanya telah tersebar dan mendapat respons balik. Beberapa diantaranya meminang tawaran untuk kerja sama itu, beberapa senyap tanpa kabar. Aksa dan Bima semakin disibukkan dengan persiapan pameran. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya di UKM, bahkan hingga menginap, seperti sore ini.

"Kamu bikin buku apa tahun ini?" tanya Bima di sela aktivitasnya berhadapan dengan beberapa buku indie karya anggota UKM yang telah terselesaikan lebih dulu dan siap dipamerkan.

"Rahasialah," jawab Aksa cuek. Mata dan tangannya masih asik memungut lembar demi lembar yang keluar dari mesin printer hitam di hadapannya.

"Yaelah, pakai rahasia segala. Toh, nanti juga dipamerkan. Semua mata bisa lihat," cerca Bima.

"Ya makanya nanti saja tahunya."

"Apa bedanya sekarang sama nanti?"

"Aku pengen seseorang melihatnya untuk pertama kalinya."

"Siapa?"

"Seseorang yang selalu aku tulis di sini," timpal Aksa menunjuk dengan mata ke arah lembar demi lembar karyanya yang tercetak dari printer Conan hitam berusia usang inventaris UKM.

"Tapi nggak pernah dia baca," sela Bisma memotong kalimat Aksa yang sejatinya belum usai.

"Dia pasti baca, kok. Pasti mau," lirih Aksa berbicara kepada dirinya sendiri.

Sementara Bima kembali tenggelam menyortir buku-buku sesuai genrenya, Aksa mengeluarkan ponsel dari tasnya. Jemarinya gesit membuka aplikasi perpesanan hijau, mencari grup SMP, dan berhenti pada satu nomor yang tiga digit akhirnya sudah ia hapal di luar kepala.

Ia buka chat pribadi. Minggu depan aku pameran buku. Kamu datang, ya. Kalimat itu terlihat mengisi layar, tapi segera ia hapus kemudian. Jarinya mengetik kembali, tapi ia urungkan lagi. Akhirnya ia tutup kembali aplikasi itu bersamaan dengan deretan keraguan yang menutupi hatinya.

Hujan kembali menjumpai langit kampus sore itu. Ada kilat disertai gelegar halilintar yang sesekali mengejutkan mereka, terlebih Aksa. Ada ingatan yang ikut melonjak ke beberapa waktu belakangan, ketika hujan pertama menyapa. Ia mengingat momen itu dan hatinya berdesir sesaat, terlebih ketika matanya dan Bima beradu.

"Hah? Kenapa kamu? Awas kesambet, hujan-hujan, lho." Peringatan Bima membuat Aksa beranjak dari lamunannya. Aksa segera menangkis ucapan Bima dan kembali sibuk dengan lembar print out karyanya.

Malam itu mereka menginap di UKM. Selain mereka, ada juga 'dedengkotnya' sekretariat yang senantiasa menghuni tempat itu. Mereka adalah Mbak Trya si ketua UKM, Mas Okto, dan Mas Daffa. Ketiganya termasuk senior di UKM dan merupakan 'penghuni tetap' di sana. Berawal dari terusir dari tempat kos, serta ongkos kost yang dirasa mencekik, ketiganya bergantian memutuskan untuk tinggal di UKM.

Meski jauh dikatakan nyaman dan layak untuk ditiduri, hanya karpet tanpa alas yang nyaman, tapi mereka merasa nyaman tinggal di sana. Beberapa kali teguran pihak kemahasiswaan yang memperingatkan mereka untuk segera pindah nyatanya juga tidak diindahkan. Tempat itu telah berkamuflase menjadi rumah yang senantiasa menyambut mereka dengan hangat dan pintu terbuka.

Malam itu Aksa tak bisa nyenyak memejamkan mata. Pikirannya masih berkelana, meski raganya telah merebah ala kadarnya, di atas ubin sekretariat yang hanya beralas karpet usang. Bima, Mas Okto, Mas Daffa juga Mbak Trya tampaknya telah lelap dengan perahu mimpinya masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Aksa. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat ini yang hanya ia simpan seorang diri. Akhirnya, waktu yang semakin menukik dini hari membuat Aksa terpejam dengan sendirinya. Mungkin pikiran dan raganya terlampau lelah.

"Sa, kamu lagi butuh uang, ta?" tetiba Mbak Trya menyapa paginya dengan sekalimat yang membuat hati Aksa melonjak tergeragap. Seolah Mbak Trya tahu apa yang semalaman itu dipikirkannya. Ia memang tengah bingung memikirkan cara untuk membayar UKT. Sementara uang yang seharusnya telah dipersiapkan untuk membayarnya, tetiba raib di kost-an. Peristiwa itu hanya ia simpan sendiri tanpa seorangpun tahu, tidak keluarganya ataupun Bima sekalipun.

Mbak Trya mengucapkan itu seraya matanya terpejam masih menikmati pagi. Sementara jantung teman tidur di sebelahnya, Aksa, telah berlompatan sedari tadi. Aksa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Mbak Trya bisa mengetahui kegundahan hatinya itu. Mungkinkan ia memiliki kemampuan lebih seperti yang ada di drakor yang beberapa minggu lalu ditontonnya, I Can Hear Your Voice? Ah, tapi masak, iya.

"Mbak, sampean nggak punya kemampuan mendengarkan suara hati orang, kan?" tanya Aksa sambil nyengir, tapi di dalam hatinya masih dibuat deg-degan merinding.

"Lha, mbok pikir aku dewa, ta?" jawaban dengan logat kental Jawa Timuran ala Mbak Trya membuat Aksa bernapas lega. Lagian, Aksa pikir, mana mungkin manusia di dunia nyata punya kemampuan seperti itu. Ia pun kembali melepas senyum pada kakak tingkatnya yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri. "Enggak, kok, Mbak," tutupnya membalas pertanyaan Mbak Trya yang sempat membuatnya merinding di awal.

Pagi itu mereka berdua, Aksa dan Mbak Trya, keluar untuk mencari makan. Nasi Pecel Warung Biru menjadi tujuan favorit mereka di kala pagi. Kalau sudah sore atau malam, tentu beda lagi tujuanya. Ada lalapan terenak di seputaran kampus yang selalu menjadi menu andalan mahasiswa di malam hari. Tapi jika pagi, salah satu andalan mahasiswa ya pecel itu. Pecel Warung Biru yang bercat sama sekali bukan biru, melainkan hijau. Tapi itu tak menjadi masalah, yang penting warung itu selalu bisa menjawab kebutuhan mahasiswa akan porsi yang melimpah dengan harga bawah. Selain itu, rasanya juga masih bisa menggoyangkan lidah.

Lima bungkus pecel telah mereka dapatkan. Dua untuk mereka, tiga lagi untuk Bima, Mas Okto, juga Mas Daffa yang masih terlelap. Ikatan mereka sebagai warga UKM memang sudah seperti keluarga. Meski tanpa diminta, mereka akan mengingat satu sama lain jika berhubungan dengan makanan. Terlebih Mbak Tryalah yang selalu melakukan itu. Ia hampir mirip seperi ibu di sekretariat itu. Ia sosok yang paling peduli, ramah, dan perhatian kepada semua anggota, tak peduli anggota baru ataupun lama. Itulah yang lantas membuat Mbak Trya dijuluki Ibu Peri oleh anak-anak UKM. Hal yang paling disukai lainnya dari perempuan berpipi chubby itu adalah ia rajin membawa ataupun berbagi makanan. Siapa yang tidak suka dengan makanan gratisan?

Lepas dari Warung Biru, Mbak Trya mengajak Aksa untuk mampir sebentar ke ATM center yang terletak tak jauh dari posisi warung berada. Sementara Mbak Trya melakukan transaksi di dalam ruang ATM, Aksara menunggu di luar sambil memainkan ponselnya. Jemarinya menuju aplikasi jejaring sosial biru berlogo 'F' dan langsung merangkak ke kolom pencarian. Sekali sentuh saja, nama akun yang ia tuju langsung muncul dari riwayat pencarian yang belum terhapus. Ia sentuh gambar profil bernuansa gelap itu. Masukklah pada beranda si pemilik akun.

Ia tarik ke atas, tidak ada pembaruan terkini yang dilihatnya, selain sebuah postingan foto yang selalu menjumpainya kala ia bertamu ke beranda itu. Foto itu menunjukkan waktu unggah yang teramat usang, setahun yang lalu. Aksa mengumpat dalam hati. Sial. Kamu selalu bisa bersembunyi dari orang-orang yang merindumu dalam sunyi.

Mbak Trya keluar dari ruang ATM dan menghampiri Aksa yang telah lebih dulu menyelesaikan aktivitas stalkingnya-nya. Tanpa banyak kata, Mbak Trya menyelipkan beberapa lembar uang tunai berwarna merah terlipat ke genggaman Aksa. Jelas yang dituju terkejut bukan main.

"Lah, apaan ini, Mbak Try? Belum waktunya bagi-bagi angpao lebaran ini," gurau Aksa yang dibuat sentral mungkin. Tangannya berupaya mengembalikan segenggap uang kertas itu ke Mbak Trya. Tapi ditangkis.

"Kamu pakai dulu aja. Mungkin nanti kamu butuh. Beasiswaku baru saja turun, kok. Jadi, sementara untuk dua atau tiga bulan ke depan aku mungkin belum membutuhkan uang itu. Yuk, balik, kasian anak-anak keburu sekarat menunggu kita."

Tawa Mbak Trya disusul dengan langkahnya bergegas mendahului Aksa yang masih terbengong dengan keterkejutannya yang tak berakhir.

Ia semakin dibuat tidak mengerti dengan sikap Mbak Trya. Terlebih, semakin merasa banyak berhutang budi dengan segala kebaikan Mbak Trya selama ini. Matanya memanas, berkaca-kaca. Ia mempercepat mengayun langkah, menyusul Mbak Trya.

Makasih, Mbak. Sesegera mungkin akan kuganti, nanti. Terima kasih, Allah, telah mendengar keluh hamba dan mengirimkan bantuan lewat peri kecilmu.

                                 ***

Lepas mandi dan bebersih diri di kamar mandi umum UKM, Aksa lanjut bersiap menyantap nasi pecel yang telah ia beli. Jadi selama ia berkeliaran wara-wiri tadi, ia bahkan Mbak Trya pun sama-sama belum tersentuh sabun mandi. Tabiat itu mungkin sudah menjadi kekhasan yang melekat di lingkungan warga UKM. Dengan duduk melingkar berempat, mereka terdiam memuaskan perut masing-masing.

Usai makan pagi dan bersiap masuk kuliah, kelas siang, Aksa menghampiri mesin printer yang semalam sempat ia tinggalkan terbengkalai. Ia bahkan lupa telah menyelesaikan sampai halaman berapa mencetaknya. Untuk tabiat buruknya yang pelupa itu, masih bisa ia siasati dengan selalu membawa notes kecil kemana-mana. Matanya memelototi angka yang tertera di notes itu, halaman 60. Ternyata masih separuh isi buku yang baru terselesaikan olehnya.

Eh, tapi, tunggu. Penglihatannya teralih kemudian. Ada pemandangan aneh di sisi kiri printer. Setumpuk kertas dengan kata menjuntai-juntai telah tertata manis dan rapi di sana. Setumpuk lembaran bakal bukunya telah tercetak lengkap hingga halaman 150. Sudah rapi diurutkan. Tinggal menambah sampul saja dan dijilid sepertinya. Tapi, jin manakah yang membantunya mencetak halaman yang tersisa itu?

Siapapun itu, ia sangat berterima kasih telah membantunya merampungkan pekerjaannya. Ia mengulas senyum kecil. Sepertinya ia tahu jin mana yang telah berbaik hati mencetakkan lembar karyanya itu.

'Akhirnya akulah orang pertama yang membaca bukumu tahun ini. Upps, sorry. :D'

Sebaris kalimat tulisan tangan yang tak cukup rapi namun masih dapat terbaca, terpampang di atas notes bernuansa pink milik Aksara. Lengkap dengan emotikon tawa yang sangat khas Aksara kenal. Sial! Dasar bocah kurang kerjaan, pekik perempuan berlesung pipi itu dalam hati.

***

Beberapa rindu ditakdirkan untuk tetap menjadi rahasia semesta. Namun, terkadang beberapa orang bertindak melampaui batasnya untuk bersikukuh mengungkapkannya dan yang mereka dapati tak jarang adalah kecewa.

Maka, Aksa lebih memilih untuk mengikuti kehendak semesta. Ia pungut potongan rindu dan kenangan yang berjatuhan kala nama Bhisma kembali menjamah ingatannya. Lantas ia menyimpannya dalam tumpukan kata di balik jemarinya. Itulah yang ia sebut dengan membukukan kenangan.

Persiapan pameran buku sudah 85%, semua proposal yang dibuat Bima dan anggotanya telah tersebar dan mendapat respons balik. Beberapa diantaranya meminang tawaran untuk kerja sama itu, beberapa senyap tanpa kabar. Aksa dan Bima semakin disibukkan dengan persiapan pameran. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya di UKM, bahkan hingga menginap, seperti sore ini.

"Kamu bikin buku apa tahun ini?" tanya Bima di sela aktivitasnya berhadapan dengan beberapa buku indie karya anggota UKM yang telah terselesaikan lebih dulu dan siap dipamerkan.

"Rahasialah," jawab Aksa cuek. Mata dan tangannya masih asik memungut lembar demi lembar yang keluar dari mesin printer hitam di hadapannya.

"Yaelah, pakai rahasia segala. Toh, nanti juga dipamerkan. Semua mata bisa lihat," cerca Bima.

"Ya makanya nanti saja tahunya."

"Apa bedanya sekarang sama nanti?"

"Aku pengen seseorang melihatnya untuk pertama kalinya."

"Siapa?"

"Seseorang yang selalu aku tulis di sini," timpal Aksa menunjuk dengan mata ke arah lembar demi lembar karyanya yang tercetak dari printer Conan hitam berusia usang inventaris UKM.

"Tapi nggak pernah dia baca," sela Bisma memotong kalimat Aksa yang sejatinya belum usai.

"Dia pasti baca, kok. Pasti mau," lirih Aksa berbicara kepada dirinya sendiri.

Sementara Bima kembali tenggelam menyortir buku-buku sesuai genrenya, Aksa mengeluarkan ponsel dari tasnya. Jemarinya gesit membuka aplikasi perpesanan hijau, mencari grup SMP, dan berhenti pada satu nomor yang tiga digit akhirnya sudah ia hapal di luar kepala.

Ia buka chat pribadi. Minggu depan aku pameran buku. Kamu datang, ya. Kalimat itu terlihat mengisi layar, tapi segera ia hapus kemudian. Jarinya mengetik kembali, tapi ia urungkan lagi. Akhirnya ia tutup kembali aplikasi itu bersamaan dengan deretan keraguan yang menutupi hatinya.

Hujan kembali menjumpai langit kampus sore itu. Ada kilat disertai gelegar halilintar yang sesekali mengejutkan mereka, terlebih Aksa. Ada ingatan yang ikut melonjak ke beberapa waktu belakangan, ketika hujan pertama menyapa. Ia mengingat momen itu dan hatinya berdesir sesaat, terlebih ketika matanya dan Bima beradu.

"Hah? Kenapa kamu? Awas kesambet, hujan-hujan, lho." Peringatan Bima membuat Aksa beranjak dari lamunannya. Aksa segera menangkis ucapan Bima dan kembali sibuk dengan lembar print out karyanya.

Malam itu mereka menginap di UKM. Selain mereka, ada juga 'dedengkotnya' sekretariat yang senantiasa menghuni tempat itu. Mereka adalah Mbak Trya si ketua UKM, Mas Okto, dan Mas Daffa. Ketiganya termasuk senior di UKM dan merupakan 'penghuni tetap' di sana. Berawal dari terusir dari tempat kos, serta ongkos kost yang dirasa mencekik, ketiganya bergantian memutuskan untuk tinggal di UKM.

Meski jauh dikatakan nyaman dan layak untuk ditiduri, hanya karpet tanpa alas yang nyaman, tapi mereka merasa nyaman tinggal di sana. Beberapa kali teguran pihak kemahasiswaan yang memperingatkan mereka untuk segera pindah nyatanya juga tidak diindahkan. Tempat itu telah berkamuflase menjadi rumah yang senantiasa menyambut mereka dengan hangat dan pintu terbuka.

Malam itu Aksa tak bisa nyenyak memejamkan mata. Pikirannya masih berkelana, meski raganya telah merebah ala kadarnya, di atas ubin sekretariat yang hanya beralas karpet usang. Bima, Mas Okto, Mas Daffa juga Mbak Trya tampaknya telah lelap dengan perahu mimpinya masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Aksa. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat ini yang hanya ia simpan seorang diri. Akhirnya, waktu yang semakin menukik dini hari membuat Aksa terpejam dengan sendirinya. Mungkin pikiran dan raganya terlampau lelah.

"Sa, kamu lagi butuh uang, ta?" tetiba Mbak Trya menyapa paginya dengan sekalimat yang membuat hati Aksa melonjak tergeragap. Seolah Mbak Trya tahu apa yang semalaman itu dipikirkannya. Ia memang tengah bingung memikirkan cara untuk membayar UKT. Sementara uang yang seharusnya telah dipersiapkan untuk membayarnya, tetiba raib di kost-an. Peristiwa itu hanya ia simpan sendiri tanpa seorangpun tahu, tidak keluarganya ataupun Bima sekalipun.

Mbak Trya mengucapkan itu seraya matanya terpejam masih menikmati pagi. Sementara jantung teman tidur di sebelahnya, Aksa, telah berlompatan sedari tadi. Aksa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Mbak Trya bisa mengetahui kegundahan hatinya itu. Mungkinkan ia memiliki kemampuan lebih seperti yang ada di drakor yang beberapa minggu lalu ditontonnya, I Can Hear Your Voice? Ah, tapi masak, iya.

"Mbak, sampean nggak punya kemampuan mendengarkan suara hati orang, kan?" tanya Aksa sambil nyengir, tapi di dalam hatinya masih dibuat deg-degan merinding.

"Lha, mbok pikir aku dewa, ta?" jawaban dengan logat kental Jawa Timuran ala Mbak Trya membuat Aksa bernapas lega. Lagian, Aksa pikir, mana mungkin manusia di dunia nyata punya kemampuan seperti itu. Ia pun kembali melepas senyum pada kakak tingkatnya yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri. "Enggak, kok, Mbak," tutupnya membalas pertanyaan Mbak Trya yang sempat membuatnya merinding di awal.

Pagi itu mereka berdua, Aksa dan Mbak Trya, keluar untuk mencari makan. Nasi Pecel Warung Biru menjadi tujuan favorit mereka di kala pagi. Kalau sudah sore atau malam, tentu beda lagi tujuanya. Ada lalapan terenak di seputaran kampus yang selalu menjadi menu andalan mahasiswa di malam hari. Tapi jika pagi, salah satu andalan mahasiswa ya pecel itu. Pecel Warung Biru yang bercat sama sekali bukan biru, melainkan hijau. Tapi itu tak menjadi masalah, yang penting warung itu selalu bisa menjawab kebutuhan mahasiswa akan porsi yang melimpah dengan harga bawah. Selain itu, rasanya juga masih bisa menggoyangkan lidah.

Lima bungkus pecel telah mereka dapatkan. Dua untuk mereka, tiga lagi untuk Bima, Mas Okto, juga Mas Daffa yang masih terlelap. Ikatan mereka sebagai warga UKM memang sudah seperti keluarga. Meski tanpa diminta, mereka akan mengingat satu sama lain jika berhubungan dengan makanan. Terlebih Mbak Tryalah yang selalu melakukan itu. Ia hampir mirip seperi ibu di sekretariat itu. Ia sosok yang paling peduli, ramah, dan perhatian kepada semua anggota, tak peduli anggota baru ataupun lama. Itulah yang lantas membuat Mbak Trya dijuluki Ibu Peri oleh anak-anak UKM. Hal yang paling disukai lainnya dari perempuan berpipi chubby itu adalah ia rajin membawa ataupun berbagi makanan. Siapa yang tidak suka dengan makanan gratisan?

Lepas dari Warung Biru, Mbak Trya mengajak Aksa untuk mampir sebentar ke ATM center yang terletak tak jauh dari posisi warung berada. Sementara Mbak Trya melakukan transaksi di dalam ruang ATM, Aksara menunggu di luar sambil memainkan ponselnya. Jemarinya menuju aplikasi jejaring sosial biru berlogo 'F' dan langsung merangkak ke kolom pencarian. Sekali sentuh saja, nama akun yang ia tuju langsung muncul dari riwayat pencarian yang belum terhapus. Ia sentuh gambar profil bernuansa gelap itu. Masukklah pada beranda si pemilik akun.

Ia tarik ke atas, tidak ada pembaruan terkini yang dilihatnya, selain sebuah postingan foto yang selalu menjumpainya kala ia bertamu ke beranda itu. Foto itu menunjukkan waktu unggah yang teramat usang, setahun yang lalu. Aksa mengumpat dalam hati. Sial. Kamu selalu bisa bersembunyi dari orang-orang yang merindumu dalam sunyi.

Mbak Trya keluar dari ruang ATM dan menghampiri Aksa yang telah lebih dulu menyelesaikan aktivitas stalkingnya-nya. Tanpa banyak kata, Mbak Trya menyelipkan beberapa lembar uang tunai berwarna merah terlipat ke genggaman Aksa. Jelas yang dituju terkejut bukan main.

"Lah, apaan ini, Mbak Try? Belum waktunya bagi-bagi angpao lebaran ini," gurau Aksa yang dibuat sentral mungkin. Tangannya berupaya mengembalikan segenggap uang kertas itu ke Mbak Trya. Tapi ditangkis.

"Kamu pakai dulu aja. Mungkin nanti kamu butuh. Beasiswaku baru saja turun, kok. Jadi, sementara untuk dua atau tiga bulan ke depan aku mungkin belum membutuhkan uang itu. Yuk, balik, kasian anak-anak keburu sekarat menunggu kita."

Tawa Mbak Trya disusul dengan langkahnya bergegas mendahului Aksa yang masih terbengong dengan keterkejutannya yang tak berakhir.

Ia semakin dibuat tidak mengerti dengan sikap Mbak Trya. Terlebih, semakin merasa banyak berhutang budi dengan segala kebaikan Mbak Trya selama ini. Matanya memanas, berkaca-kaca. Ia mempercepat mengayun langkah, menyusul Mbak Trya.

Makasih, Mbak. Sesegera mungkin akan kuganti, nanti. Terima kasih, Allah, telah mendengar keluh hamba dan mengirimkan bantuan lewat peri kecilmu.

***

Lepas mandi dan bebersih diri di kamar mandi umum UKM, Aksa lanjut bersiap menyantap nasi pecel yang telah ia beli. Jadi selama ia berkeliaran wara-wiri tadi, ia bahkan Mbak Trya pun sama-sama belum tersentuh sabun mandi. Tabiat itu mungkin sudah menjadi kekhasan yang melekat di lingkungan warga UKM. Dengan duduk melingkar berempat, mereka terdiam memuaskan perut masing-masing.

Usai makan pagi dan bersiap masuk kuliah, kelas siang, Aksa menghampiri mesin printer yang semalam sempat ia tinggalkan terbengkalai. Ia bahkan lupa telah menyelesaikan sampai halaman berapa mencetaknya. Untuk tabiat buruknya yang pelupa itu, masih bisa ia siasati dengan selalu membawa notes kecil kemana-mana. Matanya memelototi angka yang tertera di notes itu, halaman 60. Ternyata masih separuh isi buku yang baru terselesaikan olehnya.

Eh, tapi, tunggu. Penglihatannya teralih kemudian. Ada pemandangan aneh di sisi kiri printer. Setumpuk kertas dengan kata menjuntai-juntai telah tertata manis dan rapi di sana. Setumpuk lembaran bakal bukunya telah tercetak lengkap hingga halaman 150. Sudah rapi diurutkan. Tinggal menambah sampul saja dan dijilid sepertinya. Tapi, jin manakah yang membantunya mencetak halaman yang tersisa itu?

Siapapun itu, ia sangat berterima kasih telah membantunya merampungkan pekerjaannya. Ia mengulas senyum kecil. Sepertinya ia tahu jin mana yang telah berbaik hati mencetakkan lembar karyanya itu.

'Akhirnya akulah orang pertama yang membaca bukumu tahun ini. Upps, sorry. :D'

Sebaris kalimat tulisan tangan yang tak cukup rapi namun masih dapat terbaca, terpampang di atas notes bernuansa pink milik Aksara. Lengkap dengan emotikon tawa yang sangat khas Aksara kenal. Sial! Dasar bocah kurang kerjaan, pekik perempuan berlesung pipi itu dalam hati.

                                    ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status