Tak kusangka, Pak RW langsung luruh ke lantai. Lelaki itu bersimpuh di lutut Mas Reno."Mas Reno, maafkan Bapak! Maafkan Bapak!" ucapnya."Loh, Pak? Bapak kenapa? Ayo, berdiri, Pak!" Mas Reno berusaha menarik Pak RW untuk berdiri. Tetapi lelaki tengah baya itu tetap berlutut pada Mas Reno."Ampuni Bapak, Mas! Tolong ampuni Bapak!" pintanya."Iya, Pak. Iya. Tapi Bapak kenapa?" tanya Mas Reno masih sambil menarik Pak RW untuk berdiri.Bukannya menjawab, lelaki itu malah tergugu di lutut Mas Reno. Melihat itu, aku dan Mas Reno saling berpandangan.Beberapa saat setelah membiarkan Pak RW meluapkan kesedihannya, aku dan Mas Reno berusaha mengangkat tubuh tambunnya. Mendudukkan lelaki yang masih tampak bersedih itu ke kursi di antara kami."Bapak kenapa?" tanyanya setelah Pak RW sedikit tenang."Bapak malu," ucapnya. "Bapak udah ngelakuin kesalahan besar sama kamu, Mas.""Maksud Bapak?" tanya Mas Reno."Bapak dibayar buat hasut warga agar mereka percaya Nak Reno sama Mbak Bulan sudah melaku
"Mas, yakin bukan Mami yang jadi dalang semua ini?" tanyaku masih saja galau."Mas yakin bukan, Sayang. Kenapa kamu ragu sama kasih sayang Mami?" sahut Mas Reno sambil sekilas menoleh kepadaku. Kemudian kembali fokus pada jalanan."Mami ingin kamu segera punya anak, mungkin?" tebakku."Ya, udah. Ayo, kita bikin dulu! Hehehehe.""Ish. Bercanda aja!""Serius, Sayang! Ayo, mau cek in dimana?" Lelaki yang sedang duduk di belakang kemudi itu tersenyum lebar ke arahku."Ish!" sungutku.Sebelah tangan Mas Reno meraih jemariku. Meremasnya dengan lembut, kemudian menatapku sambil tersenyum manis."Sayang, menikah itu bukan melulu soal punya anak. Banyak, kan, pasangan yang hidup bahagia tanpa keturunan? Anak itu hak prerogatif Tuhan. Kita cuma bisa usaha. Selama ini kita selalu usaha, kan?""Mungkin aku enggak akan segalau ini kalau kamu enggak pakai hamilin Bulan segala," ungkapku.Mas Reno menatapku, kemudian fokus pada kedua sepion, lalu mobil ditepikannya. Diraihnya kedua jemariku setelah
Makan malam kali ini terasa kaku. Apalagi saat aku melirik Mas Reno. Suamiku itu bahkan belum menyuap satu sendok makanan pun ke mulut. Matanya sejak tadi mengawasi Mas Randi dan Viola. Sedang kedua tangannya menggenggam erat garpu dan pisaunya.Sepasang manusia yang sedang Mas Reno tatap, sepertinya tak menyadari. Mereka dengan santainya menikmati makan malamnya. Atau mungkin mereka berusaha tidak peduli atau ingin menutupi? Entahlah.Mami menatap Mas Reno, wanita itu sepertinya menyadari kalau anaknya tidak sedang baik-baik saja. Tak ingin suasana makan malam ini jadi tak enak, aku menyentuh jemari Mas Reno. Seketika Mas Reno menatapku."Makan!" ucapku tanpa suara.Mas Reno menurut. Kulihat lelaki itu susah payah menelan makanannya. Dadaku sesak melihatnya.Sabar, Mas! Kamu harus kuat! Meskipun memang sangat berat. Saudara yang selama ini kami sayang, tanpa pernah sedikit pun terlintas pikiran buruk, ternyata di belakang menusuk.Tuhan, apa sebenarnya motif Mas Randi? Apa yang buat
Aku menahan lengan Mas Reno saat ia hendak menghampiri Bulan dengan emosi yang menyala-nyala. Aku tak mau nama Mas Reno semakin hancur di depan keluarga besarnya. Kalau sampai bersikap kasar pada Bulan.Jemari Mas Reno mengepal, otot tubuhnya pun tegang. Wajahnya merah padam dengan mata membulat, menatap tajam pada Bulan. Sementara wanita itu tampak tersenyum tak tahu malu."Mohon maaf sudah membuat kaget!"Seketika aku berbalik ke arah mikrofon saat mendengar Viola bersuara. Viola tampak berdiri di depan mikrofon."Perkenalkan, dia Bulan. Istri baru Reno," lanjut Viola.Kontan semua keluarga yang hadir langsung berkasak-kusuk mendengar penjelasan Viola."Viola yang undang Bulan. Karena gimanapun, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Apalagi saat ini dia sedang mengandung anak Reno," paparnya lagi."Viola!" seru Papi.Dengan memegangi dadanya, Papi menatap tajam pada menantu pertamanya.Viola hanya menatap Papi sekilas, kemudian kembali berkata, "silahkan, Bulan! Kamu bagian d
Bukannya panik, Mas Reno malah tampak bernafas lega. Karena tadi kami memang mengira Mami yang kenapa-kenapa. Kalau sampai Mami kenapa-kenapa, kemungkinan besar Mas Reno sangat merasa bersalah."Mas, gimana?" tanya Kiano. Mungkin ia heran melihat Mas Reno tak panik dengan berita yang mereka bawa."Ya, udah. Bawa aja ke rumah sakit," sahut Mas Reno dengan enteng."Ya, udah. Ayo, Mas! Mbak Bulan maunya digendong Mas Reno, dia enggak mau ditolong orang lain," papar Kiano.Hih, modus aja!"Gimana, Dek?" Mas Reno meminta persetujuanku."Iya, enggak apa-apa. Lagian dia emang istrimu. Tambah heboh nanti orang-orang kalau sampai kamu biarin dia," ucapku malas.Akhirnya kami berdua bersama tiga orang sepupu Mas Reno berjalan menuju taman. Langkah kami terhenti saat terlihat Papi turun dari lantai dua."Bulan kenapa, Ren?" tanya Papi."Pendarahan katanya, Pi," sahut Mas Reno. "Nekat, sih, udah dibilangin dokter buat jangan aktivitas berat malah ke sini. Cari penyakit emang!" omel Mas Reno."Uda
"Sebenarnya apa masalah Mas Randi sama kita, ya, Mas?" tanyaku saat kami masih di dalam mobil memandangi mobil Mas Randi. "Apa jangan-jangan ....""Apa, Dek?" sahut Mas Reno saat aku tak menyelesaikan kalimatku."Apa jangan-jangan ... Bulan selingkuhan Mas Randi. Terus biar dia aman, kamu dijadiin kambing hitam, Mas."Mas Reno tampak berpikir sembari memandangi mobil Mas Randi. Ujung jari telunjuknya mengetuk-ketuk setir mobil."Bisa jadi, ya, Dek?" ucap Mas Reno akhirnya. "Terus kalau misalnya Bulan ternyata hamil anak Randi, kalau nanti anak itu lahir terus tes DNA sama aku, hasilnya gimana ya, Dek? Kemungkinan cocok apa enggak, ya? Secara aku dan Randi saudara.""Wah, benar juga, ya, Mas? Kemungkinan bisa begitu. Coba kapan-kapan pas konsul ke dokter, kita tanyain sekalian, Mas," usulku.Mas Reno mengangguk setuju. "Mungkin itu sebabnya, Bulan sangat percaya diri buat buktiin itu anakku, ya, Dek? Kalau misal benar gara-gara aku saudaraan sama Randi terus anak itu bisa cocok juga sa
Aku tersenyum menunggu reaksi Viola. Wanita dengan dress warna burgundy yang menampakkan kedua bahunya itu menatap ponselnya. Kedua alisnya bertaut. Cukup lama dia mengamati benda tersebut.Lalu kedua bola matanya tiba-tiba seperti mau keluar dari kelopaknya. Nafasnya memburu, diikuti sebelah tangannya menutup bibir yang terbuka seketika. Setelahnya ia menatapku tajam. "Enggak mungkin!" tegasnya. "Kamu pasti bohong!" tuduhnya. "Ini bukan Mas Randi! Ini pasti cuma editan kalian!" teriaknya.Aku menatapnya sembari tersenyum jahat. Tak ingin meladeni wanita yang sedang terbakar hatinya tersebut."Iya, kan?" teriaknya lagi. "Jawab aku, bodoh! Jawab?!" jeritnya.Seketika orang-orang yang masih berada di taman menoleh ke arah kami. Tak mau menjadi pusat perhatian, aku memberikan senyum mengejek pada Viola kemudian melangkah pergi."Sil! Sisil! Tunggu, Bodoh!" teriak Viola seperti orang kesetanan. Ia bahkan tak peduli kita di sini sedang apa dan ada siapa saja.Mami menatapku dengan tatapan
Serpihan kaca berhamburan. Suaranya memenuhi indra pendengaran. Nyaris saja kepala Mas Randi terkena lemparan asbak kaca yang cukup tebal. Untung lelaki itu segera menghindar saat mendengar teriakanku, sehingga asbak itu hancur saat mengenai dinding.Semua mata melebar melihat hamburan serpihan kaca itu. Bumi seakan berhenti berputar selama sepersekian detik. Aku bahkan sampai lupa bernapas, saking takutnya kepala Mas Randi pecah oleh hantaman asbak tersebut."Bulan!" geram Mas Randi setelah tercengang beberapa waktu. "Kamu!" Kedua bola mata Mas Randi melotot mengerikan. Kedua tangannya mengepal, lalu beranjak mendekati Bulan."Pak Randi! Pak, tenang, Pak! Sabar!" teriak Pak Lurah dan beberapa orang lain yang berada di ruangan ini saat melihat Mas Randi akan menghajar Bulan.Sementara Bulan tampak sangat ketakutan. Bahkan kedua telapak tangannya sampai gemetaran."Kita selesaikan ini secara baik-baik, Pak! Tolong kendalikan emosinya!" titah Pak Lurah sembari membimbing Mas Randi untuk