Mama mengambil tisu, membantu Renita membersihkan sisa saus di bajunya. Sementara Renita memperbaiki rambutnya yang acak-acakan.“Ya ampun Renita, bersihkan sana ke toilet. Baju kamu sudah penuh saus begitu. Pasti panas, 'kan. Biar aku belikan baju untukmu,” ucapku berpura simpati.Seperti mendapat angin segar, Renita langsung pergi ke toilet, membersihkan diri dari saus yang menempel di tubuhnya. Aku meminta mama menjaga Tabitha karna aku akan mencarikan baju untuk wanita malang itu.Mama mengangguk, lalu melanjutkan makannya yang sempat tertunda.Zahira baik sekali!Tidak, sudah kubilang aku tidak akan memberikan apa pun kepada wanita itu secara cuma-cuma. Paling tidak, sebuah hal yang membuatnya merasa jengkel.Dengan menenteng tas selempang berisi dompet dan ponsel, aku berjalan menuju penjual pakaian. Bukan di dalam mall ini, tapi berjalan keluar menuju sebuah pasar pakaian bekas atau di sebut pajak monza.Kebetulan mall ini bersebelahan dengan pusat pasar tempat banyak para peda
“Indah, kenapa ruanganku kotor sekali, apa tidak pernah dibersihkan?”“Maaf, Bu. Kami sama sekali tidak diperbolehkan masuk ke dalam oleh bu Sarmila,” kata Indah.Bagaimana mungkin kedua orang itu bisa betah di ruangan sekotor ini, aku sampai tak berani membawa Tabitha masuk ke dalamnya.“Tolong kalian bersihkan ruangan ini, kumpulkan kembali kertas-kertas yang berserakan.” Aku memijit kepala pelan. Pusing melihat kekacauan ini.Ketiga orang itu mengambil peralatan untuk bersih-bersih, sementara aku duduk di bawah meja kasir sambil menyusui Tabitha. Kemudian memanggil dua karyawan baru yang ternyata baru saja bekerja seminggu ini.Lancang sekali mama melakukannya tanpa meminta izin dariku.Setelah dibersihkan aku memeriksa kertas yang sudah disusun rapi oleh Indah. Meneliti satu persatu nota catatan belanja dan jumlah stok yang masuk. Aku masih tidak paham bagaimana cara mengeceknya, karena ditulis dengan asal dan sembarangan.Aku memutuskan untuk membawa semua catatan ke rumah, lebih
Terlihat centang dua berwarna hijau tanda chat tersebut sudah dibaca Lula, si pemilik profil bergambar kucing anggora tersebut.Tidak ada balasan sampai beberapa detik lamanya, hingga nomorku tiba-tiba diblokir oleh Lula begitu saja.Wah, gadis ini sepertinya sudah bersiap menabuh genderang tanda perang untukku.Layar ponselku bertukar tampilan dengan gambar Masli. Tanda panggilan masuk dari sahabat baikku itu.“Di mana, Ra? Aku sudah siap mau berangkat, ini!” lontar Masli sesaat setelah aku menekan tombol hijau di layar.Aku sampai lupa kalau hari ini ingin berjumpa dengannya. Apalagi, pertemuan kami sempat tertunda semalam. Tapi aku benar-benar pusing dan juga lelah. Rasanya tidak sanggup harus pergi ke tempat lain lagi.“Maaf, ya, Li. Hari ini aku tidak bisa ke sana. Ada masalah besar di butikku.” Sebenarnya berat hatiku membuatnya kecewa.“Masalah apa? Parah banget, ya?” tanyanya penasaran.“Besok aku ceritakan, ya. Besok pagi aku janji bakalan jemput kamu!” ucapku melemah. Seakan
“Prok prok prok.”Aku mengangkat tangan ke udara, menepuk kuat kedua tanganku sambil berjalan mendekati perkumpulan wanita bergaya sosialita itu.“Zahira!”Mama terbelalak begitu melihat kemunculanku dari balik pohon buatan setinggi tiga meter tersebut.“Akhirnya mama memperkenalkan wanita itu sebagai menantu mama bukan pembantu lagi. Baguslah, aku juga sudah lelah berpura-pura tidak tahu siapa j*lang ini sebenarnya!”Aku menatap sinis pada Renita.“Apa ... Jadi kamu sudah tahu, Zahira?” Mama menarik langkah ke belakang sementara aku semakin mendekat ke arahnya.“Iya, Ma. Bahkan aku tahu di mana kalian melangsungkan resepsi pernikahan mas Adnan dan wanita murahan ini,” teriakku, menatap lekat pada tubuh Renita yang berbalut pakaian kurang bahan berwarna maroon.“Aku tidak bodoh, Ma. Menantu kampungmu ini tak sebodoh itu. Kalian semua telah menipuku dan aku hanya berpura-pura tidak tahu saja. Lalu, mama membawa Renita datang ke rumahku dan aku masih tetap berpura-pura tidak tahu bahwa
Hatiku mencelus saat mengetahui Dipo sudah berada di antara kami, dan lelaki berambut panjang inilah yang telah memberi tamparan kepada mama Sarmila. Entah sejak kapan ia sudah ada di sini.“Ayo, Mbak!”Dipo menarik tanganku, setelah memindahkan jaket kulitnya menutupi badanku yang basah. Kemudian mengambil tasku berikut dengan berkas yang masih tergeletak di atas meja tadi.“Anak kurang ajar, tak tahu diuntung!”Mama memekik, berteriak mengucapkan berbagai sumpah dan makian kepada kami berdua. Dipo menarik lenganku kuat, sehingga tanganku terasa kaku.Lalu seorang security datang menenangkan mama yang seperti orang kesurupan, dibantu Renita yang penampilannya sama kacau sepertiku. Seharusnya petugas itu datang lebih awal saat aku dan Renita bertengkar tadi. Beberapa pengunjung yang melihat keributan tadi menatapku dengan wajah penasaran.“Dipo, apa-apaan, kamu? Itu mama kamu, dia yang sudah melahirkan kamu.”Aku melepaskan pegangan Dipo dengan sekali sentakan. Kemudian memarahinya, m
Belum genap sebulan ia menikahi Renita, kini ia sudah bersama wanita lain. Untuk yang kedua kalinya ia telah menipuku keluar kota dengan dalih berkerja. Nyatanya, kini ia di tempat ini bersama keluarga barunya.Wanita itu terlihat masih muda, rambutnya tergerai indah sampai ke pinggang. Tubuhnya tinggi hampir mengimbangi mas Adnan. Wajahnya, aku tak tahu persisnya seperti apa, mungkin lebih cantik dariku. Sementara wanita berambut putih yang tadi bersandar di kursi roda, barangkali ibu dari wanita itu, artinya mertua dari istri ketiga Mas Adnan.Ada nyeri yang tiba-tiba menusuk tepat ke jantung ini. Sebuah perasaan perih yang kembali menghunjam ke ulu hati.Bahteraku yang tenggelam kini semakin karam ke dasar lautan. Duniaku yang runtuh kini semakin hancur tak bersisa. Hatiku yang luka kini semakin berdarah-darah. Aku tak menyangka, pernikahanku akan berakhir bukan hanya karena kehadiran orang ketiga, namun ada yang keempat, bahkan mungkin yang kelima dan seterusnya.Adnan Fahreza, pr
POV ADNANAku yang waktu itu duduk di kelas lima Sekolah Dasar baru saja pulang sambil berlari tergesa- gesa. Setelah seorang teman mengatakan bahwa ibuku dibawa oleh seorang laki-laki bermata sipit yang mengendarai sedan berwarna putih.“Ibu, Ibu, mana Ibuku?” teriakku saat membuka pagar besi rumahku yang setinggi dada.“Sudahlah, Nak. Tak perlu menangis lagi. Ibumu lebih memilih pria itu daripada ayah kalian. Tak perlu menangis, ada Bibi bersama kalian,” ucap wanita yang sedang mengelus lembut pucuk kepalaku yang berkeringat. Ia mengusap air yang keluar dari kedua mataku dengan sapu tangannya. Lalu memelukku, memberikan kehangatan persis seperti Ibu.Sementara, Dipo sedang meringkuk di ujung ranjang, memeluk kedua lututnya sembari menangis sesenggukan.“Ibu ... ibu, aku mau ikut,” rengeknya dalam tangisnya. Matanya merah hampir bengkak, sedang seragam TK-nya kotor dan ada noda darah di tubuhnya.“Darah ibu,” ucapnya ketika sadar aku sedang mengamatinya. Wajah imutnya berubah dekil,
“Ayolah Adnan, turuti permintaan Mama sekali saja. Kasihan wanita itu sebatang kara,” ucap mama memelas.Ini bukan kali pertama mama mengucapkan kalimat itu, memintaku kembali menikah dengan wanita yang sama sekali tak kukenal.“Kalau kasihan apa harus dinikahi, Ma?” Aku menatap mata mama yang hampir menangis, kemudian meneguk segelas air putih.“Iya harus, dia sangat cocok sama kamu. Wanita itu baik sekali, mama yakin dia bisa memberimu seorang anak laki-laki. Kamu mau anak laki-laki ‘kan?”Ia terus mencari alasan agar aku menuruti permintaan tak masuk akalnya.Mama merayuku dengan dalih anak. Padahal saat itu, Zahira istriku sedang mengandung anakku. Kehamilannya sudah menginjak usia delapan bulan, hanya menunggu sebulan lagi aku akan menimang bayi kecil yang kunantikan selama lima tahun lamanya.Hasil USG menyatakan bahwa Zahira mengandung bayi perempuan, bagiku sebenarnya tak masalah. Asal bayi itu terlahir sehat dan sempurna. Tapi mama sangat kekeh ingin punya cucu laki-laki.“Ka