Pernikahan yang gagal, membuat Kinanti Larasati harus menikah dengan pria lain pilihan Papanya. Tapi sungguh di luar dugaan pria itu sudah memiliki istri, dan lelaki itu bersedia menikahinya karena ingin mendapatkan keturunan dari Kinanti, sebab istrinya tidak bisa memberinya keturunan. Apalagi Miranda istri Wisnu, mengatakan dirinya adalah laki-laki mandul, sehingga ia ingin membuktikan jika dirinya adalah pria normal dan sehat tidak seperti perkataan istri pertamanya itu. Namun setelah semakin lama Wisnu dan Kinanti menghabiskan waktu bersama akhirnya benih-benih cinta hadir menghiasi hati keduanya. Sementara itu istri dari pria sebagai suami pengganti Kinanti, yakni Wisnu Sanjaya adalah sahabat Kinanti sendiri. Miranda, sosok wanita yang ternyata menyimpan dendam pada Kinanti, karena Kinanti selalu lebih unggul di bandingkan dengan dirinya, baik dari segi kecantikan maupun segalanya. Segalanya di lakukannya untuk menghancurkan Kinanti, tapi bagaimana setelah ia tahu jika Kinanti justru menjadi madunya? Lalu bagaimanakah nasib hubungan mereka? apalagi Kinanti ternyata mengandung anak Wisnu?
Lihat lebih banyak“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”
“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”
Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.
“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.
Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.
“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.
“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”
“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”
Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang hendak menikah hari ini tersebut bahkan mendengar teriakan penuh kemarahan dari Pak Darmawan, sang ayah.
“Apakah dengan permintaan maaf semua masalah akan selesai!? Mau ditaruh di mana muka kami, hah!?”
Tubuh Kinanti menegang. Apa yang terjadi, pikirnya.
Namun, saat ia hendak berdiri untuk keluar, sang ibu menghentikannya.
“Biar Mama yang cek keluar,” ucap wanita paruh baya itu. “Kamu tetap di sini. Mengerti?”
Kinanti mengangguk. Hatinya masih tidak tenang dan itu tergambar jelas di wajahnya. Ada banyak pikiran buruk yang masuk ke dalam otaknya–dan Kinanti tidak bisa memutuskan mana yang lebih buruk: apakah terjadi sesuatu pada calon suaminya ataukah pacarnya tersebut sengaja membuatnya menunggu seperti ini.
Namun, Kinanti yakin Bima mencintainya. Pria itu berjanji akan menikahinya sejak lama.
Karena penantian yang menyiksa, pada akhirnya, Kinanti berdiri dan menyusul ibunya ke sumber keributan.
“Kenapa dia tidak datang sendiri dan bicara padaku!?” Di luar, Pak Darmawan tengah marah-marah. Wajahnya tampak merah padam, sementara tangannya mengepal. Tatapannya terarah lurus ke seorang pria yang berdiri di hadapan. “Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”
“S-saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya hanya disuruh datang dan menyampaikan kabar tersebut,” sahut lawan bicara Pak Darmawan dengan gelisah. “Ayah Bima, Pak Subakti, tidak sanggup datang karena merasa bersalah pada Bapak. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa beliau akan menanggung biaya pesta dan kerugian yang ada sebagai permintaan maaf.”
“Memangnya dengan permintaan maaf saja semua masalah akan selesai!?” bentak Pak Darmawan. “Mau ditaruh di mana muka kami sekarang, hah!? Semua undangan akan mentertawakan kami! Mau dibayar berapa juga, kami, terutama putri kami tetap akan menanggung malu!”
“Pa, ada apa?” Soraya menghampiri suaminya yang kini duduk di kursi, berusaha menguasai diri. “Apa yang terjadi?”
Pak Darmawan menarik napas dalam-dalam sebelum berucap, “Bima membatalkan acara pernikahan dengan Kinanti!”
“Apa!?” Soraya tampak terkejut. “Tidak mungkin, Pa. Bukankah Bima sangat mencintai Kinan?”
“Buktinya dia melakukan ini!” ucap Pak Darmawan.
“Lalu bagaimana dengan acara pernikahan ini, Pa? Para tamu sudah datang, di antara mereka ada karyawan dan teman Papa. Mau diletakkan dimana wajah kita, Pa ....”
Baik ayah maupun ibu Kinanti tampak panik dan tidak menemukan jalan keluar, hingga mereka tidak menyadari Kinanti di sana. Wanita dengan pakaian pengantin itu kini terduduk di lantai, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Tidak mungkin,” gumamnya. “Tidak mungkin!” Ia berucap lebih keras, mengejutkan kedua orang tuanya.
“Kinan!” Soraya langsung menghampiri Kinanti dan memeluk putrinya tersebut, sementara sang ayah mengalihkan pandangan.
“Lalu bagaimana dengan aku, Ma?” tanya Kinanti. Ia menggenggam gawanya erat-erat dan mencari nomor keluarga Bima untuk dihubungi.
Namun, tidak satu pun yang menjawab panggilannya.
“Ahh!” Kinan menangis keras, merasa patah hati, sekaligus tidak percaya bahwa pacar yang selama ini ada di sisinya justru akan meninggalkannya di hari pernikahan seperti ini.
Sementara itu, Soraya membiarkan putrinya tenggelam dalam pelukannya, ia tak bisa berbuat banyak selain diam ikut merasakan kesedihan sang anak.
Setelah beberapa saat, akhirnya tangis Kinanti mereda. Hingga akhirnya wanita itu bertanya, “Kita harus bagaimana sekarang, Ma?” Jeda sejenak. “Maafkan Kinan. Gara-gara Kinan, Mama dan Papa harus menanggung malu.”
“Pernikahan ini akan tetap dilanjutkan, dengan atau tanpa Bima.”
Kinanti mendongak, menatap tidak percaya pada sang ayah yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Ia bisa melihat perasaan kecewa dan kalut di wajah Pak Darmawan, serta kemarahan. Namun, Kinanti juga bisa melihat ketegasan dan bahwa apa yang dikatakan oleh ayahnya tersebut adalah keputusan final.
“M-maksud Papa?” tanya Kinanti lirih.
“Kamu tetap harus menikah. Ini bukan karena Papa tidak memikirkan kamu, melainkan karena Papa sangat memikirkan kamu,” ucap Pak Darmawan. “Papa tidak mau kamu, dan kita semua, menjadi buah bibir orang.”
“Tapi–”
“Kamu akan dihina dan diejek karena gagal nikah, kamu akan dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Akan diremehkan.” Pak Darmawan memotong sanggahan putrinya dengan tegas. “Nama keluarga kita akan hancur. Kamu mau semua pihak media sosial memberitakan keluarga kita?”
Kinanti menggigit bibirnya, kemudian menggeleng.
“Bagus.” Pak Darmawan mengangguk. “Kamu tetap akan menikah.” Pria paruh baya itu kemudian menoleh pada sesosok pria lain yang ada di sana–yang baru disadari keberadaannya oleh Kinanti. “Perkenalkan, ini Pak Wisnu. Bos Papa.”
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.”
Kinanti berjalan dengan tenang menuju ruang tamu, ia melihat Wisnu sudah berdiri menantinya. Laki-laki yang sok cool itu berdiri di dekat pintu keluar, menatap ramainya jalan yang terang oleh cahaya lampu.Mendengar suara langkah kaki Kinanti, Wisnu berpaling dan menatap Kinanti. Sungguh ia begitu terkejut melihat hasil balutan gaun yang ia berikan pada istrinya itu, sungguh mempesona.Dalam hati ia pun bertanya, sebenarnya ada apa sampai hati Bima meninggalkan Kinanti, ia jadi penasaran juga, bukan apa-apa, Cuma ia tidak habis pikir kenapa Kinanti yang begitu sempurna ini mendapat perlakuan yang begitu menyakitkan.“Kamu bodoh Wisnu, ya Alhamdulillah jika Bima meninggalkan Kinanti, itu namanya jodoh kamu, tahu!” sentak hati Wisnu.Ia terlihat tersenyum, ia baru mengucapkan rasa syukur dengan sangat jelas.“Alhamdulillah ....”“Hah, Alhamdulillah? Apanya?”“Eh ... anu ....” jawab Wisnu garuk-garuk kepala. Ia malah cengengesan.“Apa, kamu selesai lebih cepat dari perkiraanku, j
“Malam ini aku ingin mengajakmu makan malam di luar, apa kamu bersedia?” kata Wisnu dan kemudian duduk di dekat Kinanti “Makan malam di luar? Di mana?” Wajah Kinanti terlihat berubah, ada sesuatu yang sukar di tebak di dalam sana. Terus terang Kinanti jadi dag-dig-dug ser, duduk begitu dekat dengan Wisnu seperti ini.“Nanti kamu akan tahu.”“Tuhan ... jika suara dia selembut ini ... mana mungkin pertahananku akan tetap kekeh, aku paling tidak bisa menerima perlakuan lembut seperti ini.Kriiiing, Kinanti terkejut, ia tersadar dari lamunannya, ia menoleh ketika Wisnu mengangkat ponselnya.“Ya, ada apa?”Terlihatlah Wisnu bangkit dari duduknya, ia berdiri tidak jauh dari kinanti sementara sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sebelah kanan, Kinanti menatap Wisnu dari ujung kepala sampai ujung kaki, semua terekspos secara sempurna. Ia mengakui jika suaminya memang begitu tampan dan penuh pesona. Tapi karena sikapnya yang dingin dan cuek, membuat hati membeku.Sayup te
Entah mengapa, hari ini terasa sangat membosankan. Kinanti mendengus serta menampar jok mobil yang di dudukinya. Kekesalan terpancar di mimik mukanya.Entah mengapa, hatinya terusik untuk sekedar tahu siapa sebenarnya perempuan yang kini sedang bersama Wisnu, hatinya masih menduga dan bertanya-tanya dan ia ingin memastikan.Keduanya terlihat begitu santai dan akrab, mereka tertawa bareng dengan begitu lepas, dari dalam hati Kinanti terbersit rasa iri, karena saat bersamanya, Wisnu jarang menunjukkan muka manis, mungkin hanya sekali ketika malam ia terjatuh, dan setelah itu tidak pernah.Tapi kali ini, tawa itu begitu berderai, tanpa beban sedikitpun, oleh karena itu Kinanti semakin bertambah penasaran, kakinya kembali turun, membimbingnya untuk keluar dari dalam mobil, dan ... tentu saja mengikuti Wisnu yang kini masuk ke dalam Mall.Kinanti terus berjalan di antara pengunjung yang lain, ia berada tidak begitu jauh dari Wisnu dan perempuan yang masih bersamanya ini.Keduanya berh
Setelah selesai sarapan, Wisnu berangkat ke kantor, sedangkan Kinanti bergegas kembali masuk ke dalam kamar. Ia termangu menatap ponsel yang masih utuh dalam kotak, ponsel baru yang sengaja di berikan oleh Wisnu padanya, ia tersenyum mengenang sikap Wisnu yang begitu salah tingkah ketika menyadari ponsel dalam tasnya jatuh begitu saja di atas lantai.Wajah kikuk dan grogi tergambar jelas, dan semuanya membuat Kinanti tidak habis pikir.“Apa sih susahnya tinggal mengatakan bahwa ia telah membelikan ponsel untuk dirinya, ini malah pura-pura mau berangkat ke kantor, dasar kamu memang pria aneh Wisnu!” gerutu Kinanti seorang diri.Tapi serupa dengan Wisnu, ia pun enggan untuk menyentuh ponsel itu. Rasa gengsi dan marah yang sengaja di buat-buat ia begitu berat hati untuk langsung begitu saja menerimanya, meski yang memberikan ponsel itu adalah suaminya sendiri. Namun baginya Wisnu tetaplah orang asing dan belum sepantasnya jika dirinya begini cepat dekat dan akrab.“Ah Bima, sebenar
Wisnu telah bersiap pergi ke kantor, seperti biasanya ia selalu memeriksa isi tas kantornya. Ia tertegun melihat kotak ponsel yang di belinya kemarin, ia belum memberikan ponsel itu pada Kinanti.Mukanya menoleh saat derit pintu kamar berbunyi, pertanda ada yang masuk.Tapi entah mengapa, bibir Wisnu seakan terkunci rapat untuk sekedar memanggil dan menyerahkan ponsel itu.Kinanti masih diam, ia masih bermuka datar, tak ada bias keramahan di wajah ayu miliknya, membuat Wisnu semakin membeku di tempatnya.“Mari kita sarapan di bawah, Papa dan Mama sudah menunggu.” Kata Kinanti masih berdiri di muka pintu, menanti Wisnu keluar dari kamar.“Aku tidak sarapan hari ini, aku pergi lebih awal ke kantor, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan lebih cepat pagi ini.” Wisnu mencoba memberikan alasan.“Sarapan hanya memerlukan waktu sebentar, lagi pula hari masih terlalu pagi untuk berangkat, apakah itu bukan sekedar alasan kamu agar cepat-cepat pergi?”“Kamu selalu berburuk sangka padaku
“Mas, mau ambil ponsel yang kemarin saya bawa kemari ya?” Kata Kinanti pada tukang servis ponsel yang ia datangi kemarin.“Dengan mbak Kinanti ya?”“Iya mas, apakah sudah jadi?”“Waduh Mbak, maaf ponselnya sudah tidak bisa di perbaiki!”“Yang bener saja Mas, masak sih?”“Iya, maaf ya Mbak?”“Apa tidak bisa di usahakan lagi ya Mas?”“Kemarin sudah saya coba Mbak, tapi tetap tidak bisa!”“Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu.”Kinanti meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa, bagaimana tidak, ia benar-benar kehilangan kenangan yang ia lalui bersama dengan Bima, tak ada lagi yang bisa ia harapkan, tapi tak ada yang bisa di lakukan olehnya kali ini.akhirnya ia kembali masuk ke dalam taksi online yang iya pesan. Dengan lesu ia duduk di jok belakang taksi tersebut dan menatap keluar setelah berbicara pada sang sopir jika ia siap meninggalkan tempat itu.Dalam perjalanan, ia menatap keluar tanpa semangat, tiba-tiba netranya menatap seorang pemuda yang sedang berjalan s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen