"Mau kemana, Mas?" Senja terus bertanya saat Langit menutup matanya perlahan saat akan sampai di cafe Zayyan. "Kalau dikasih tahu sekarang namanya bukan kejutan, Sayang." "Penasaran, Mas. Mau kemana? Nggak balik ke rumah lagi kan ini?" seloroh Senja yang belum diperbolehkan membuka mata. "Maunya di rumah terus ya? Lebih seneng kejutan di kamar kayanya ini." Langit kembali menggoda, membuat wajah Senja merona seketika. Bagas dan Bayu yang duduk di kursi depan pun saling lirik lalu sama-sama menggeleng pelan. Sepertinya mereka mulai kebal dengan segala rayuan dan kebucinan bos mudanya itu. Setiap hari hanya itu lagi dan lagi yang didengar mereka tiap kali bersama. "Goda terus, Mas. Anggap saja kami berdua manekin," sindir Bayu yang kini menerima timpukan bantal mini bosnya. Sampai di depan Mentari Senja Cafe, Bagas segera memarkirkan mobil merah metalik itu. Langit pun membantu istrinya turun dari mobil dengan mata masih terpejam. "Pelan-pelan, Sayang." Langit berujar lirih. Sua
"Itu Om Erwin, Pa," tunjuk Langit setelah sampai di depan rumah bercat biru muda itu. Benar yang dikatakan Langit, Erwin memang masih berdiri di teras rumah sembari menggendong anak lelakinya. Sepertinya dia akan pergi dengan anak dan istri barunya itu. "Ayo turun sebelum mereka pergi." Langit mengangguk lalu meminta Bayu untuk mengambilkan kursi roda papanya di bagasi. Erwin cukup shock melihat kedatangan Dimas dan Langit ke rumah barunya. Dia tak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh anak dan bapak itu. "Kami tunggu di luar saja, Pak. Sekalian mau merokok." Bayu membalas saat Erwin memintanya masuk ke ruang tamu. Bagas pun mengikuti jejak rekan kerjanya. Mereka menunggu di teras, sementara Langit dan Dimas duduk di ruang tamu. "Tumben kalian datang ke sini. Apa ada yang penting atau-- Erwin menghentikan kalimatnya saat istri barunya datang untuk mengajak anak lelakinya ke kamar. "Pak Dimas, Mas Langit," sapa Lenny, mantan sekretaris Erwin yang sebelumnya bekerja di kan
"Mau ke mana, Mas?" tanya Bagas sembari membukakan pintu mobil untuk Langit dan papanya. "Ke rumah baru Pak Erwin," ujar Dimas santai saat Langit membantunya duduk di kursi belakang. Bagas bergeming. Dia sedikit kebingungan, pasalnya tak tahu dimana rumah baru Erwin. Bagas hanya tahu rumah pertama Erwin karena dia pernah mengantar Langit ke sana beberapa kali. "Jalan Majapahit 5, Gas." Langit menutup pintu mobil lalu melangkah memutar arah menuju pintu lain. "Bayu mana, Gas? Belum datang?" tanya Langit sebelum menutup pintu mobilnya. "Sudah kok, Mas. Dia masih di toilet. Tunggu sebentar saya telepon dulu." Langit mengangguk lalu masuk ke mobil begitu saja, sementara Bagas masih berdiri di samping mobil itu sembari menghubungi Bayu. Setelah Bayu datang dengan tergesa, mereka pun pergi ke rumah Erwin. Lebih tepatnya ke rumah baru yang dia tinggali bersama istri barunya. "Rencana papa gimana? Langsung tembak begini begitu atau minta Om Erwin mengaku sendiri?" tanya Langit setelah
"Katanya papa nggak mau mengurus bisnis ini lagi. Mau sibuk mengejar akhirat biar tenang." Langit berujar sembari terus membolak-balik berkas itu satu persatu. "Kamu akan kesusahan dapatkan bukti ini di sana. Mereka lebih takut Erwin dibandingkan kamu, Lang." "Jadi, papa sudah tahu kalau semua karena Om Erwin? Sejak kapan papa tahu ini semua? Kenapa papa nggak bicara apa-apa?" Dimas menghela napas panjang lalu mengambil salah satu dokumen itu. "Sejak Erwin mulai menikah siri dengan mantan sekretarisnya dua tahun lalu. Papa tahu dia mulai menyeleweng, tapi papa kira dia akan berhenti seiring berjalannya waktu. Papa nggak tinggal diam kok, pernah bicara dengan dia berdua. Hanya saja saat itu dia bilang butuh duit untuk persalinan anaknya dan memang benar istri keduanya melahirkan. Papa memaafkan dan menganggap tak terjadi apapun. Erwin sepertinya juga mulai berbenah. Dia merencanakan sesuatu dengan sangat halus, termasuk soal proyek itu. Dia mendapatkan keuntungan cukup besar dari s
"Zay, maaf kemarin batal. Istriku muntah-muntah dan harus ke rumah sakit." Langit menelepon Zayyan, mantan karyawannya yang kini membuka usaha cafe tak terlalu jauh dari kantornya. Mentari Senja Cafe namanya. "Nggak apa-apa, Pak. Mas Bagas sudah cerita soal itu semalam. Ohya, kabar Bu Senja gimana, Pak? Sudah membaik?" tanya Zayyan begitu sopan. "Sudah dibilang jangan panggil Pak lagi. Aku bukan atasanmu dan usia kita sebaya. Panggilanmu itu justru membuatku terasa cepet tua. Panggil Langit saja." Langit terkekeh, begitu pula dengan Zayyan di ujung telepon. "Sudah biasa panggil Pak, rasanya kok aneh harus panggil nama. Kalau begitu kupanggil Mas saja gimana?" "Terserah kamu sajalah, Zay. Mana yang enak dan nyaman, bolehlah." Zayyan manggut-manggut. Senyum lebarnya masih jelas ketara di kedua sudut bibir itu. "Kemarin Bagas sudah bayar ganti ruginya, Zay? Jangan sungkan, bisnis harus dijalankan sesuai aturan. Biaya sewa, dekor dan sebagainya minta sama Bagas." Langit kembali mengi
"Luna kemana, Sus?" tanya Langit keesokan harinya setelah sampai kantor. "Mbak Luna cuti, Pak. Sepertinya setelah kasus kemarin itu dia ketakutan, makanya cuti dadakan." "Cuti gimana, dia baru kerja dua bulan." "Kurang tahu, Pak. Dia bilangnya begitu sama saya." Langit tak membalas. Dia buru-buru ke ruang kerjanya lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa. [Luna kemana, Om? Saya telepon berulang kali nomornya nggak aktif. Tolong bilang sama dia, saya nggak akan diam saja melihatnya semena-mena pada Senja] Langit mengirimkan pesan pada Erwin, papanya Luna. Berulang kali ditelepon, berulang kali pula hanya suara operator yang menjawab. [Luna sakit, Lang. Dia izin tak masuk kerja hari ini. Om minta maaf soal kejadian kemarin ya, Lang. Luna memang kelewatan. Dia belum dewasa menyingkapi masalah ini. Sekali lagi Om minta maaf. Nanti Om akan nasehati dia lagi supaya tak mengganggu kehidupan kamu sama Senja. Mungkin pernikahan kalian ini cukup mengejutkannya, makanya dia belum bisa menerima.