Hanan tertegun. Napasnya tak beraturan. Tanpa sadar, bulir bening meluncur di kedua pipinya. Dingin dan sunyi. Dia benar-benar sadar kalau mata May, dia bukan siapa-siapa lagi.“Kamu masih benci sama Ayah, May?”May melepaskan cengkeraman itu dan menatapnya lama. Tatapan yang tak menyisakan keraguan, hanya luka dan jijik yang tertahan.“Kenapa tidak? Karena Ayah, Bunda jadi janda. Karena Ayah, adik-adikku kehilangan sosok panutan. Dan kalau bukan karena Ayah, mungkin aku masih percaya kalau ketulusan dalam cinta itu ada."Hanan menunduk, suaranya pelan, nyaris putus asa. “Tapi, May … itu kesalahan Ayah di masa lalu. Sekarang Ayah udah sadar.”“Aku ini anak gadis yang ngeliat ayahnya sendiri selingkuh, liat pake mata kepala sendiri, sama pelakor yang mukanya kayak ditabur bedak semangka dan bibir merah nyala kayak abis makan cabe. Lalu aku harus apa? Diam? Nangis? Atau pura-pura nggak tahu?”Suaranya menegang, nyaris bergetar karena emosi.“Aku berdosa kalau benci sama Ayah? Hah? Padah
"Bun, aku minta maaf," ucap May tergesa, menghadang langkah Ida yang bersiap mengantar Raya ke sekolah. Risa ikut dibawa karena katanya hari ini ada urusan penting di luar. May kembali ditinggal sendiri di rumah dengan pikiran yang masih penuh tanya dan perasaan bersalah yang belum sempat reda."Lain kali jangan ceroboh lagi. Di dunia ini ada banyak masalah dan kamu bisa memilih untuk nggak ikut campur," ujar Ida sambil merapikan kerudungnya di cermin. Suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau kecil yang menyelip ke sela dada."Gimana caranya aku menghindar, Bun? Aku bahkan belum tahu kapan harus berhenti dan kapan justru bahaya itu datang karena ...." Kalimat May menggantung."Karena apa?""Karena Bunda sendiri nggak pernah ngajarin aku cara mikir kayak Bunda. Bunda selalu jalan sendiri, tanpa ngasih tahu kenapa dan gimana caranya. Aku cuma disuruh nurut. Gimana aku bisa tahu cara menghindari masalah kalau aku bahkan nggak dikasih ilmunya?"Ida menghela napas, kali ini lebih panjang.
May berdiri dengan napas yang belum stabil. Dia masih belum terima dicap ceroboh begitu saja. Dengan langkah cepat, gadis itu mengikuti sang bunda yang sudah lebih dulu masuk. “Bunda, tunggu dulu. Kenapa, sih, bilang aku ceroboh?” Ida berhenti di tengah ruangan. Bahunya naik turun, kemudian perlahan dia berbalik. Kedua mata itu menatap tajam. “Kamu tahu kenapa ayahmu bisa sampai ke sini?” “Karena dia nyari aku?” May mengerutkan dahi. “Salah. Dia nyari informasi.” Nada suara Ida tegas dan dingin. “Dan kamu dengan senang hati ngasih dia panggung buat baca situasi. Main catur, ngobrol soal nomor misterius, bahkan ngasih petunjuk kalau kamu mulai curiga itu dia.” May tertegun. “Tapi dari cara dia main tadi, aku bisa lihat kayaknya dia tahu sesuatu soal papan itu. Aku cuma pengin—” “May.” Ida mendekat, suaranya lebih rendah tapi penuh tekanan. “Bunda udah tahu itu bukan nomor ayahmu. Dari awal malah, tapi dia memang sedikit terlibat, sedikit tahu. Dan sekarang dia penasaran. Buk
"May, kamu kenapa? Kita tadi udah main dan kamu masih nggak percaya kalau Ayah memang sepayah itu?""Mungkin aja Ayah sengaja ngalah. Tadi jelas banget Ayah bisa membalikkan keadaan, tapi malah milih jatuh ke dalam jebakanku. Itu bukan kekalahan biasa, itu langkah yang disengaja. Iya, kan?"May menyipitkan mata. Pria dewasa, sosok masa lalu, pertanyaan yang sama, inisial A ... mungkinkah maksudnya adalah Ayah? Sengaja tidak menulis inisial H agar Bunda terkecoh?“Kita main sekali lagi. Ayah jangan nolak!”Untuk ketiga kalinya, papan catur kembali tertata di antara mereka. Kali ini suasana lebih sunyi. Tak ada suara canda atau basa-basi, hanya langkah-langkah bidak dan ketukan jemari May di tepi papan.May membuka langkah dengan pion E4. Gerakan yang sama seperti dua babak sebelumnya. Terlihat ringan, tapi sebenarnya itu perangkap awal yang pernah diajarkan sang bunda. Sebuah perangkap untuk memancing lawan keluar terlalu cepat.Hanan menanggapi dengan pion E5, mencoba bermain terbuka.
“Ayah tahu semuanya nggak akan pernah bisa balik kayak dulu, tapi tolong kasih Ayah kesempatan buat menebus semua dosa ini.” Suara Hanan pelan dan memelas, nyaris tenggelam dalam helaan napas penyesalan.May mendengkus. Sorot matanya mengeras lalu mendadak berkata, “Ayah masih cinta sama Tante Ulya?”“Apa maksudmu?” tanya Hanan tampak kaget.“Ah, nggak penting. Aku udah tahu jawabannya.”“May, Ayah tahu Ayah salah, Ayah tahu banget.”“Oh ya? Salah apa?”Hanan menghela napas panjang, kemudian menjawab pelan, “Sehari sebelum nikah sama Bunda, Ayah malah nikah duluan sama Tiara karena Ayah diancam. Setelah itu, saat udah punya kalian, Ayah malah selingkuh sama temen sendiri. Ayah tahu itu salah. Tapi waktu itu, Ayah ngerasa bundamu sering nyindir. Kamu tahu, kan, kadang Bunda suka ngomong nyelekit? Walaupun mungkin cuma bercanda, Ayah ngerasa sakit hati. Terus Bunda juga nggak nyaman kalau diajak pulang kampung, beda sama Nanda.”Mendengar itu, May menoleh pelan. Senyumnya mengembang, ta
“Dulu, waktu muda, Bunda sering main catur buat nenangin pikiran. Kadang coba-coba juga main go. Dari situ Bunda belajar satu hal penting, meski cuma tersisa satu bidak, permainan belum tentu selesai. Dalam catur, kamu bisa punya banyak bidak, tapi kalau gak tahu kapan dan bagaimana melakukan skak mat, itu percuma. Kadang, lawan sengaja biarkan kamu menyerang terus, sampai kamu lengah. Satu langkah salah, kamu bisa kehilangan raja.” “Aku gak ngerti, Bun.” Ida menghela napas. “Jangan terlalu asyik menyerang, May. Musuh yang cerdas justru suka kelihatan lemah di depan. Dia biarkan kamu nyerang lalu jebak kamu dari belakang. Kayak misal kasus si Arga ini. Dia belum bertindak, kan?” May terdiam. Kalimat itu terasa berat, seperti teka-teki, bahkan dia belum sepenuhnya paham cara main catur, tetapi sang bunda sudah menyebut permainan go. “Permainan go itu lebih rumit, May. Kamu harus tahu kapan menutup celah, kapan mengepung. Permainan ini ngajarin sabar, strategi, dan cara berpikir