Kiara duduk di atas ranjang, memandang Giselle dengan sangat serius dan penuh rasa penasaran.
Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui cerita tentang kebersamaan sahabatnya dengan Axel tadi. “Gimana tadi? Ayo dong cerita sama aku, tentang kebersamaanmu sama om-om itu. Terus kalian pergi kemana aja? Apa dia mau tanggung jawab tentang kejadian malam itu atau tidak?” Sederek pertanyaan telah keluar dari bibir Kiara. “Huh, kebiasaan banget sih, coba kalau tanya itu satu-satu!” kesal Giselle, yang diberondong dengan sejumlah pertanyaan oleh Kiara. “Oke, kalian tadi pergi kemana?” tanya Kiara dengan gaya kemayu. “Cuma makan di restoran dan nggak kemana-mana," jawab Giselle, sambil senyum-senyum. “Terus dia ngomong apa? Apa dia mau tanggung jawab atas apa yang dilakukannya?” tanya Kiara, yang begitu kepo-nya. “Aku belum sempat ngebahas soal itu, otak ku tiba-tiba ngeblank, saat dia mengatakan cinta dan dia bilang suka sama aku, sejak pertama kali lihat aku di klub malam kemarin," jawab Giselle menjelaskan. Mata Kiara membulat sempurna, sedangkan mulutnya menganga lebar, setelah mendengar penjelasan sahabatnya. Ia tidak menyangka kalau pria yang membuat sahabatnya gelisah sepanjang waktu ternyata memiliki perasaan lebih. “Tutup mulutmu, nanti ada lalat masuk!” ucap Giselle, sambil menutup mulut Kiara. Hal itu membuat Kiara tersadar dan langsung menyingkirkan tangan Giselle dari mulutnya. “Sorry, aku kaget banget, tapi apa ini artinya dia masih single sehingga tertarik sama kamu?” tanya Kiara, yang memicingkan matanya penuh rasa penasaran. “Kayaknya kalau gak duren ya bujang lapuk. Habis aku tanya jawabannya ngambang nggak jelas gitu, tapi kalau seandainya dia punya istri atau pacar gak mungkin kan dia bilang suka dan ingin dekat sama aku?” Giselle masih berusaha berpikir positif tentang Axel. Kiara mengangguk pelan. “Masuk akal sih, tapi kamu udah jawab perasaan dia belum?” “Belum.” “Bagus, pastikan dulu kalau dia belum menjadi milik siapa-siapa.” Sebagai sahabat Kiara merasa takut kalau sahabatnya itu hanya dipermainkan oleh pria yang baru dikenalnya. “Ya, tapi bagaimana sama dia yang sudah obok-obok aku?” “Ah, iya juga.” Keduanya saling terdiam memikirkan semua itu, tapi Giselle yang memang pada dasarnya pecinta pria dewasa tak ambil pusing dengan status Axel. *** Axel baru saja selesai meeting bersama David dan sekarang ini mereka sedang berjalan menuju ruang kerja. Namun sesampainya di ruang kerjanya, Axel melihat ada Alina duduk di sofa panjang dan sebuah paperbag di atas meja. Alina tersenyum, saat melihat Axel dan David muncul dari luar, tapi ia tidak bergeming dari duduknya. “Sayang, kenapa datang kesini nggak hubungi aku dulu?” tanya Axel, yang sudah ada didekat Alina dan duduk disampingnya. “Aku cuma mau nganterin makan siang aja kok, nggak ganggu kerjaan kamu.” jawab Alina, yang mengambil paperbag di atas meja. “Seharusnya kamu gak usah repot-repot nganter makanan, aku sebentar lagi ada meeting di luar.” “Aku sama sekali nggak repot, sekarang makan siang lah dulu sebelum berangkat meeting.” “Oke, sayang.” Alina mengeluarkan semua makanan yang ada di paperbag dan menata rapi di atas meja. “David, ayo ikut makan. 10 menit lagi kita meeting di luar!” ajak Axel, yang memandang asisten pribadinya. David yang berdiri tidak jauh dari mereka merasa bingung dengan apa yang dikatakan Axel, karena setahunya, tidak ada meeting lagi setelah ini. Namun ia tidak ingin menanyakan pada atasannya tentang hal tersebut. ‘Pasti Tuan mau ketemu sama Nona Giselle, mangkanya alasan seperti itu biar Nyonya cepet pulang,’ batin David, yang sudah dapat memprediksi kelakuan Axel. “Kenapa diam? Cepat duduk dan nggak usah banyak pikir!” titah axel, yang melihat David tidak bergerak dari tempatnya. David pun akhirnya menganggukkan kepalanya. Ia duduk di sofa tunggal dan ikut makan bersama mereka. Selesai makan, Axel berpamitan meeting pada Alina. “Sayang, maaf. Aku nggak bisa nganter kamu pulang.” “Ya, nggak apa-apa, Mas. Semoga meeting kamu sukses.” Alina mengusap-usap bahu suaminya berusaha memberikan semangat. “Aamiin.” Axel mengecup kening Alina, kemudian melangkah keluar diikuti oleh David dari belakang. Kini mereka sudah ada di jalan dan David hanya menjalankan mobilnya tanpa arah dan tujuan. “Tuan, kita tidak ada meeting lagi, jadi Anda mau kemana, sampai Anda harus berbohong pada Nyonya?” tanya Axel, sambil mengemudikan mobilnya. “Kita ke sekolah Giselle, semoga aja dia belum pulang.” “Sudah kuduga,” gumam David, yang masih bisa didengar oleh Axel. “Nggak usah menduga-duga, aku harus lebih giat mendekatinya.” “Memangnya kenapa? Apa pertemuan kemarin tidak berhasil?” ledek David. “Berhasil, tapi dia belum mau menjadi kekasihku dan kalau dia nggak bisa jadi kekasihku mana mungkin aku bisa memiliki keturunan bersamanya.” David tersenyum dan melirik Axel sebentar. “Sepertinya pesona Anda sudah mulai luntur dan kayaknya Anda harus berusaha lebih keras buat mendapatkan apa yang Anda inginkan.” “Nggak usah meledekku seperti itu, aku pastikan dia jatuh dalam pelukanku!" ketus Axel. “Oke, kita lihat saja nanti," sahut David, santai. Axel menarik nafasnya dan membuangnya kasar, merasa kesal pada David, yang terus saja meledeknya. Tidak terasa David menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang sekolah. Axel memandang semua murid SMA itu keluar dari pintu gerbang sekolah, tapi tidak ada Giselle diantara Mereka. “Mana dia? Kenapa belum keluar? Apa mungkin dia sudah pulang duluan?” gumam Axel, yang terus saja menatap pintu gerbang sekolah. “Sabar, Tuan. Mungkin dia masih berada di kelas," sahut David, yang masih mendengar gumaman Axel. “Semoga aja gitu.” Sepuluh menit kemudian, barulah Giselle muncul bersama Kiara sambil bercanda . Axel tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera keluar dari mobilnya, menghampiri mereka berdua. “Hai, udah mau pulang ya?” tanya Axel, yang telah menyapa mereka berdua. “Iya,” jawab Giselle dan Kiara secara bersamaan. “Gis, kita jalan-jalan sebentar yuk,” ajak Axel, yang sudah menggandeng tangan Giselle. “Kemana?” “Terserah kamu, pokoknya aku pengen jalan sama kamu.” “Oke.” Axel tersenyum tipis, saat Giselle tidak menolak ajakannya dan ia akan memanfaatkan ini buat meluluhkan hatinya. “Ki, aku pergi dulu ya," pamit Giselle. Kiara mengangguk pelan, kemudian berbisik di telinga Giselle. “Hati-hati, cari tau apakah dia sudah punya gebetan atau belum.” “Hemmm ….” Kini keduanya sudah masuk dalam mobil dan David telah menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. “Kamu mau kemana?” tanya Axel, sambil membelai rambut Giselle. “Makan dulu bisa tidak?” “Emmm … gimana kalau kita ke apartemen aja? Aku mau masakin makanan kesukaanmu?” “Om bisa masak?” tanya Giselle, yang telah memandang Axel dengan mata berbinar. “Bisa dong.” “Oke deh, masak di apartemen Om aja. Aku mau cicipi masakan Om, tapi awas ya kalau gak enak!” ancam Giselle, sambil tersenyum lebar. Axel tersenyum sambil mengacak rambut Giselle. “Dijamin kamu pasti ketagihan!” Giselle memasang wajah tak yakin dengan apa yang dikatakan Axel dan ia perlu membuktikannya. Axel mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang supaya menyiapkan bahan masakan yang lengkap dan dalam waktu singkat. David yang dari tadi menyetir mobilnya sesekali memandang mereka dari kaca spion yang ada di atasnya. Ia tersenyum melihat Axel berusaha keras supaya Giselle merasa dicintai. Tidak butuh waktu lama mereka sudah sampai di apartemen dan orang suruhannya juga sudah menyiapkan semua yang diinginkan Axel. “David, kamu kembalilah ke kantor!" titah Axel. “Baik, Tuan.” Setelah kepergian David, Axel pun mulai membuka jasnya dan menggulung lengan kemejanya. Ia melangkah menuju dapur diikuti Giselle dibelakangnya. “Baby, duduklah di kursi meja makan, sambil lihatin aku masak.” Axel menyeret kursi meja makan agar Giselle segera duduk. Giselle hanya terdiam memandang Axel, hanya karena dirinya dipanggil baby. “Beb, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Axel, yang telah menyipitkan matanya. “Kenapa memanggilku baby?” Axel melangkah pelan lebih mendekat pada Giselle, kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang. “Itu karena aku mencintaimu dan aku ingin kamu menjadi pacarku," bisik Axel ditelinga Giselle. Kini kedua mata mereka saling bertemu, membuat jantung Giselle berdegup kencang dan tidak dapat lagi dikondisikan. Cup! Tanpa aba-aba, Axel mengecup bibir Giselle membuat matanya membulat sempurna, sedangkan pipinya sudah merah bak kepiting rebus, karena menahan malu.Kiara duduk di atas ranjang, memandang Giselle dengan sangat serius dan penuh rasa penasaran. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui cerita tentang kebersamaan sahabatnya dengan Axel tadi. “Gimana tadi? Ayo dong cerita sama aku, tentang kebersamaanmu sama om-om itu. Terus kalian pergi kemana aja? Apa dia mau tanggung jawab tentang kejadian malam itu atau tidak?” Sederek pertanyaan telah keluar dari bibir Kiara. “Huh, kebiasaan banget sih, coba kalau tanya itu satu-satu!” kesal Giselle, yang diberondong dengan sejumlah pertanyaan oleh Kiara. “Oke, kalian tadi pergi kemana?” tanya Kiara dengan gaya kemayu. “Cuma makan di restoran dan nggak kemana-mana," jawab Giselle, sambil senyum-senyum. “Terus dia ngomong apa? Apa dia mau tanggung jawab atas apa yang dilakukannya?” tanya Kiara, yang begitu kepo-nya. “Aku belum sempat ngebahas soal itu, otak ku tiba-tiba ngeblank, saat dia mengatakan cinta dan dia bilang suka sama aku, sejak pertama kali lihat aku di klub malam kemarin,"
Di kantor, Axel begitu sibuk dengan pekerjaannya, tapi tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya telah diketuk dari luar. Tok, tok, tok. “Masuk!” titah Axel, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya. Pintu terbuka dan tampaklah David masuk dan duduk dihadapan Axel tanpa disuruh terlebih dahulu. “Ada apa?” tanya Axel, yang sudah menghentikan pekerjaan. “Saya sudah mendapatkan semua informasi tentang gadis remaja yang Anda inginkan.” “Siapa dia?” tanya Axel, penuh rasa penasaran. “Namanya Giselle Anastasia, usia 18 tahun, masih sekolah SMA kelas lll, kedua orang tuanya pengusaha sukses, tapi mereka bercerai dan dia kadang tinggal di rumah ibunya, tapi sering di rumah ayahnya …..” David menceritakan semua tentang Giselle secara detail. “Jadi dia belum punya kekasih?” tanya Axel, setelah mendapatkan penjelasan dari David. “Belum.” “Oke, kalau begitu mulai hari ini aku akan mendekatinya.” Axel begitu antusias, saat mengetahui dirinya memiliki peluang besar untuk mendapa
Axel baru saja tiba di rumah, dilihat istrinya sudah menyambutnya dengan wajah dilipat, hanya karena semalaman dirinya tidak pulang. “Sayang, kenapa wajahmu kelihatan kesal gitu? Apa kamu nggak suka suamimu pulang?” tanya Axel, yang tersenyum mentoel hidung istrinya. “Suka, tapi aku kesal. Masa malam Minggu juga kamu ada pekerjaan, terus kapan ada waktu buat aku?” protes Alina, masih dengan wajah dilipat. “Maaf, ini memang diluar dugaanku. Tadinya aku habis keluar bareng David mau langsung pulang dan malam mingguan bareng kamu, tapi malah ada kerjaan mendadak. Aku janji seharian ini waktuku hanya buat kamu.” Axel sebisa mungkin memberikan alasan yang masuk akal, supaya Alina tidak marah dan cemburu mengetahui dirinya bersama wanita lain. “Tau ah, aku kesel sama kamu, Mas!” Alina melangkah meninggalkan Axel begitu saja, menuju kamar pribadinya. Axel menarik nafasnya dan membuangnya kasar, kemudian ia mengejar Alina. Dalam kamar ia memeluk istrinya dari belakang. “Maaf, lai
Silaunya sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui kaca jendela kamar, membuat Giselle pelan-pelan mulai membuka matanya. Ia menggeliat dan belum menyadari dimana dirinya berada. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, sambil menguap merasakan ngantuk dan kepala yang masih terasa sakit akibat kebanyakan minuman memabukkan semalam. “Ah, sepertinya semalam aku kebanyakan minum, sampai pusingnya belum juga hilang," keluh Giselle, yang memijat keningnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar yang tidak ada siapapun kecuali dirinya. Ia baru sadar kalau kamar itu bukanlah kamarnya, ataupun kamar sahabatnya. “Astaga, ini kamar siapa? Kalau Kiara bawa aku pulang ke rumahnya, ini bukan kamar dia?” Giselle kebingungan hingga turun dari tempat tidurnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kiara dan tidak lama kemudian panggilannya pun telah diangkat. “Halo," jawab Kiara dari seberang telepon sana. "Ki. Kamu dimana?” tanya Giselle, tanpa basa-basi. “A
Axel keluar dari mobil mewahnya dan dengan gagahnya masuk dalam sebuah klub malam diikuti oleh asisten pribadinya dari belakang. Ini merupakan hal yang biasa baginya, saat ia sudah mulai jenuh dengan semua kesibukannya sebagai seorang pimpinan perusahaan terbesar di kota tersebut. Dengan menyilangkan kakinya, ia duduk di sofa ruang VIP, sambil menikmati minuman memabukkan dan suara musik DJ yang memecah keheningan klub malam tersebut. Seorang wanita malam telah datang menghampirinya dan mencoba menggodanya. Namun nampaknya Axel kurang nyaman dengan kehadiran wanita tersebut. hingga ia menyuruh asisten pribadinya agar membawanya jauh-jauh dari dirinya. “David, singkirkan wanita ini dariku!” titah Axel yang sedikit sedikit menggeser duduknya. David pun mengangguk. “Baik, Tuan.” David beranjak dari duduknya dan sedikit menarik tangan wanita itu dengan perasaan heran, karena biasanya tuanya itu senang bermain-main dengan wanita malam. Mau tidak mau wanita itupun mengikuti D