LOGINWilliam baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya di luar kota, tapi sudah mendapatkan laporan dari sopirnya, tentang putrinya, Giselle.
Tidak hanya sampai disitu saja, ia juga mencoba menanyakan apakah Giselle menginap di rumah mantan istrinya atau tidak, tapi ternyata tidak. Saat ini William duduk di ruang keluarga, sambil memijat keningnya yang terasa berdenyut, memikirkan kelakuan Giselle yang sulit diatur. Ia melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Giselle belum juga pulang. Ia berusaha menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. “Ah, dia pasti nongkrong bareng teman-temannya,” gumam William, yang sudah hafal dengan hobi anak gadisnya. Ia akan menunggu satu jam lagi dan jika Giselle belum pulang juga, maka ia akan mencarinya dan membawanya pulang secara paksa. Tiga puluh menit kemudian, Giselle datang dan disambut oleh sang pelayan yang ada di rumahnya. “Malam, Non,” sapa pelayan, setelah membuka pintu. “Ya, malam,” jawab Giselle, sambil masuk ke dalam rumah. “Maaf, Nona. Anda disuruh menghadap Tuan William sekarang juga,” ujar pelayan yang berjalan di belakangnya. Giselle langsung menghentikan langkah kakinya dan memutar tubuhnya memandang pelayan wanita paruh baya tersebut. “Apa Papa sudah pulang?” tanya Giselle, yang menatap datar sang pelayan. “Sudah, Non. Dari tadi sore Tuan sudah ada di rumah,” jawab pelayan menjelaskan. “Sekarang Papa ada dimana?” “Tuan ada di ruang keluarga, Non.” Giselle mengangguk, kemudian ia melangkah meninggalkan pelayan rumahnya yang masih berdiri di tempatnya. Ia tidak menyangka kalau ayahnya akan pulang secepat itu, karena biasanya ayahnya melakukan perjalanan bisnisnya paling cepat sepuluh hari, tapi ini baru lima hari sudah kembali pulang. ‘Untung aja aku tadi nggak nginap di apartemen Om Axel,’ batin Giselle, yang tersenyum tipis, sambil melangkah menuju ruang keluarga. Sudah satu bulan ini Giselle mulai akrab dan lengket dengan Axel, Tidak hanya itu ia juga sudah mulai mencintainya. Bahkan ia sering menginap di apartemen saat ayahnya tidak ada di rumah. Biarpun demikian, tapi Axel belum bisa menyentuhnya dan hanya sekedar berciuman bibir, karena banyak sekali alasan untuk menolaknya, apalagi mengingat statusnya yang belum resmi berpacaran. “Malam, Pa,” sapa Giselle, yang berdiri di samping ayahnya. William menoleh memandang Giselle. “Malam, kamu dari mana aja jam segini baru pulang?” “Aku habis dari cafe sama Kiara, Pa,” jawab Giselle bohong, sambil duduk di samping ayahnya. Kemarin-kemarin William mempercayai Giselle, tapi setelah mendengarkan penjelasan dari sopirnya, yang selalu mengantar jemput ke sekolah dan juga penjelasan dari mantan istrinya, membuat rasa kepercayaannya itu sedikit menghilang. “Kamu jangan bohong, Papa tau kamu nggak pergi sama Kiara, tapi bersama seorang laki-laki yang lebih dewasa dari kamu, iya kan?” tanya William, yang menatap Giselle penuh selidik. Dengan susah payah Giselle menelan ludahnya, saat mendengar pertanyaan sang ayah barusa. Ia tidak ingin ayahnya tahu kalau dirinya berhubungan dengan Axel, meskipun belum resmi berpacaran. “Kenapa diam?” tanya William, setelah sekian lama tidak ada jawaban dari Giselle. “Emmm … aku nggak pernah pergi sama siapa-siapa kecuali Kiara sama teman-teman cewek aku,” jawab Giselle, yang berusaha berdalih. “Kamu nggak usah bohong, karena Mang Ujang sudah mengatakan semua sama Papa. Kamu sering menyuruh dia pulang setelah kamu dijemput oleh laki-laki itu. Mama kamu juga bilang kalau selama Papa pergi keluar kota, kamu nggak pernah tinggal sama Mama. Begitu juga Mbok Darmi bilang, kalau selama Papa pergi kamu nggak ada di rumah, jadi kemana saja kamu selama Papa nggak ada?” tanya William, yang menahan amarahnya. Ia tidak ingin marah dengan Giselle, tapi bukan berarti mendukung semua kenakalannya. Diam-diam Giselle mengepalkan tangannya marah, setelah mengetahui jika sopir dan pelayan di rumahnya mengadu pada ayahnya. ‘Huh, berani banget mereka ngadu sama Papa? Mereka pikir mereka itu siapa?’ batin Giselle dengan begitu sangat geram. “Giselle, jujur sama Papa. Kemana kamu pergi jika tidak ke rumah Mama?” tanya William, yang mengusap lembut bahu putrinya supaya berkata jujur padanya. “Aku di rumah teman, Pa. Aku beneran nggak ada hubungan sama cowok manapun seperti yang diceritakan sama Mang Ujang,” jawab Giselle, yang masih tetap tidak mau mengaku jika dirinya dekat dengan pria dewasa seperti Axel. William menarik nafasnya, kemudian membuangnya kasar. Ia harus benar-benar sabar dalam menghadapi putrinya yang sulit dikendalikan dan itu semejak dirinya bercerai dengan istrinya. “Oke, kalau kamu nggak mau ngaku nggak apa-apa.” “Memangnya apa yang mau diakui kalau aku nggak punya hubungan spesial sama cowok?” ujar Giselle, yang berusaha tenang. “Kalau gitu mulai sekarang kamu sepulang sekolah langsung pulang dan tidak boleh keluyuran. Kalau malam kamu juga nggak boleh keluar, termasuk malam Minggu!” Giselle terkejut atas keputusan ayahnya yang begitu sangat mendadak dan terlihat serius. “Papa kok gitu? Aku kan juga butuh hiburan dan kumpul-kumpul sama teman-teman cewek aku,” protes Giselle yang tetap tidak setuju dengan keputusan sang ayah. “Mereka bisa datang ke rumah kita. Kalian boleh membuat party atau apa terserah yang penting tidak keluyuran malam-malam!” tegas William memutuskan. “Ih, kenapa Papa sekarang malah membatasi pergerakan aku gini sih?” kesal Giselle. “Papa tidak pernah membatasi kamu, tapi Papa tidak ingin anak gadis Papa terjerumus dalam dunia hitam. Lagipula kamu ini cewek dan tidak pantas keluar rumah sampai larut malam,” tutur William lembut supaya Giselle bisa mengerti dengan kekhawatiran nya. Giselle semakin kesal, karena sekarang ayahnya membatasi pergaulannya dan ini artinya ia tidak bisa bertemu dengan Axel. “Aku nggak mau Papa mmengurung aku di rumah ini, aku butuh hiburan dan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah aku dapatkan!” tolak Giselle seraya menatap kesal ayahnya. “Maksud kamu kebahagiaan yang bagaimana lagi? Bukankah selama ini Papa sudah memberikan apa yang kamu butuhkan dan inginkan?” tanya William, yang sudah merasa mencukupi semua kebutuhan putrinya. “Papa nggak tau kalau aku itu kesepian, setiap hari dari aku kecil sampai sekarang aku hanya di rumah sama Bibi dan Mbok Darmi. Sedangkan Papa sama Mama cuma sibuk bekerja. Aku itu sebenarnya nggak butuh uang yang banyak, yang aku butuhkan cuma kehadiran Papa dan Mama, serta kasih sayang, jadi jangan menyalahkan aku kalau aku mencari kesenangan diluar sana!” ucap Giselle dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Namun dengan cepat ia menghapus air matanya dan melangkah pergi menuju kamarnya, tanpa memperdulikan ayahnya. William tercekat mendengar semua yang dikatakan Giselle barusan. Diakui memang selama ini dirinya maupun mantan istrinya jarang memperhatikan dan memberikan waktu untuk bersama Giselle, karena kesibukannya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Ia selalu berpikir jika semua kebutuhan dan uang yang banyak terpenuhi, akan membuat putrinya bahagia, tapi nyatanya tidak. Ungkapan perasaan putrinya tadi membuat hatinya merasa sakit, mendengar keinginan putrinya yang begitu sederhana, namun tidak dapat diwujudkan hanya karena kesibukannya dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan alasan terbesar hancurnya rumah tangganya juga dipicu dengan tidak adanya waktu buat keluarga, serta komunikasi yang semakin memburuk.Sepulang sekolah, Giselle langsung pergi ke apartemen milik Axel dan tidak memintanya untuk menjemputnya. Disanalah ia baru memintanya agar segera datang menemuinya.Sambil menunggu Axel datang, Giselle terus saja kepikiran tentang perkataan Kiara. Awalnya ia tidak mau mengambil pusing tentang hal itu, tapi lama-lama menganggu pikirannya dan akhirnya memutuskan buat menanyakan siapa wanita yang dilihat Kiara di mall kemarin.Lima belas menit kemudian, pintu apartemen telah terbuka, tampaklah Axel masuk dengan bibir yang menyunggingkan senyum manisnya memandang Giselle yang sedang duduk di sofa.“Baby, kamu kenapa tumben banget nggak mau di jemput dan pengen aku datang kesini?” tanya Axel, yang telah membelai lembut kepala Giselle.“Maaf, aku telah menganggu pekerjaanmu, tapi ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu dan ini penting supaya aku tidak kepikiran.”Axel mengerutkan keningnya menatap Giselle, sambil d
Di dalam kelas, sambil menunggu guru masuk dalam ruangan, mereka semua ngobrol bersama teman-temannya masing-masing, termasuk Giselle dan Kiara.Mereka berdua ngobrol dengan santai, sampai akhirnya Kiara mengingat sesuatu yang dilihatnya kemarin sore saat berada di mall.Sesaat ia ragu untuk mengatakan semua itu, tapi sebagai sahabat ia tidak bisa diam saja.“Oh, iya. Kamu kan udah pacaran sama Om Axel nih, apa kamu pernah dikenalkan sama keluarganya atau kakaknya gitu?” tanya Kiara, yang menyipitkan matanya penuh selidik.Giselle merasa aneh karena tiba-tiba saja sahabatnya itu menanyakan hal tersebut padanya. “Memangnya kenapa?”“Nggak ada apa-apa, cuma penasaran aja,” jawab Kiara yang tersenyum tipis.“Aku memang belum pernah diperkenalkan sama orang tuanya, tapi dia pernah bilang anak tunggal.” Kiara mengangguk pelan dan kembali merasa ragu untuk memberitahu kalau kemarin sore diri
Kali ini Axel tidak menyetir mobilnya sendiri, sehingga ia bisa leluasa memeluk Giselle yang tengah menyandarkan kepalanya di bahunya.“Baby, maaf kalau hari ini kita hanya bisa makan siang dan tidak bisa menghabiskan waktu bersama seperti biasanya, soalnya Papa aku memintaku segera pulang. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan,” ucap Axel, yang membelai lembut kepala Giselle.“Tidak apa-apa, Sayang. Aku juga pengen istirahat, rasanya badanku capek semua setelah pulang dari bandung kemarin,” jawab Giselle, yang semakin mengeratkan pelukannya.“Oke, kita makan siang dulu setelah itu kamu pulang dan istirahat.”“Ya.”Kali ini Axel berbohong dengan Giselle, karena akan cepat pulang supaya bisa mematahkan kecurigaan dan dugaan Alina tentang perselingkuhannya.Dengan demikian Alina berhenti mencurigainya dan hubungannya dengan Giselle tetap aman. Bukan karena ia takut kehilangan A
Setelah kepergian David, Alina kembali ke kamarnya. Meskipun ia merasa sakit hati atas kabar perselingkuhan suaminya, tapi ia masih menyiapkan baju ganti buat suaminya seperti biasanya.Sepuluh menit kemudian, Axel keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya.“Mas, kamu malam ini mau makan apa?” tanya Alina, duduk di sofa tunggal yang ada dalam kamarnya.“Aku ikut apa yang kamu inginkan,” jawab Axel, sambil memakai bajunya.Alina mengangguk dan tidak berbicara apapun lagi, ia masih berpikir bagaimana caranya mengetahui wanita simpanan suaminya itu.‘Oke, daripada pusing-pusing mendingan aku ikuti saja kemanapun dia pergi. Setelah aku tau siapa dia, awas aja. Bakal aku labrak tuh anak ingusan yang berani-beraninya menggoda suamiku!’ batin Alina dengan tekad yang kuat, sedangkan kedua tangannya mengepal.Selesai ganti baju, Axel menghampiri Alina dan duduk disampi
Memikirkan apa yang dikatakan teman-teman arisannya, membuat Alina merasa kecewa. Suami yang dibanggakan dan dicintai kini dibicarakan oleh banyak orang, karena hubungannya dengan seorang gadis remaja.“Apa aku cari informasi dari David aja ya, tentang semua kebenaran ini? Eh, tapi kalaupun dia tau pasti tidak akan membocorkannya padaku dan aku yakin itu,” gumam Alina bimbang.Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan kalau suaminya akan mengkhianati cintanya dan mencari wanita lain. Namun kini ia mendapatkan kabar kalau suaminya memiliki wanita idaman lain.Sebagai wanita ia paham kalau dirinya bukanlah wanita yang sempurna, karena belum bisa memberikan keturunan, tapi ia juga tidak mau diselingkuhi seperti ini. “Aku harus cari tau siapa wanita simpanannya. Setelah itu, baru aku akan pikirkan langkah selanjutnya,” gumam Alina dengan mengepalkan tangannya menahan amarahnya.Ia turun dari ranjang dan mencari sesuatu
Di dalam mobil, Raka sibuk membaca koran, sambil menunggu Giselle pulang sekolah, namun kegiatan itu terhenti saat ponselnya berbunyi.Ia segera mengambilnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Ia tersenyum, ketika mengetahui kalau ibunya lah yang menghubunginya. Dengan segera ia pun mengangkatnya.“Halo, Ibu. Ada apa?” tanya Raka, setelah berhasil mengangkat teleponnya.“Halo, Raka. Kau lihat ini!” ucap laki-laki yang menelponnya memakai ponsel ibunya dan mengalihkan panggilannya menjadi video call.Dengan cepat Raka menerima peralihan dari panggilan suara menjadi video call. Ia terkejut dengan mata membulat sempurna, melihat ibu dan adiknya disekap di gudang belakang rumahnya dengan tangan terikat ke belakang.“Hai, kalian siapa? Lepaskan ibu dan adikku!” teriak Raka.“Kalau kau mau mereka berdua selamat, temui aku disini!” kata pria bertopeng itu.“Oke, aku kesana sekarang juga da







