Beberapa saat Sebelumnya ...
Cahaya sedang berdiri di dapur, jemarinya lincah meracik bumbu dan bahan makanan yang hendak dimasaknya.Ia sesekali melirik jam dinding, mengira-ngira kapan Angkasa akan pulang. Altair sudah tidur di kamar, memberi kesempatan bagi Cahaya untuk memasak dengan tenang.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar samar dari arah ruang tamu. Cahaya menoleh, kedua alisnya bertaut."Mas Angkasa? Apa kamu sudah pulang?" serunya sambil melangkah keluar dari dapur, tetapi tak ada jawaban.Ruangan itu kosong. Cahaya menggeleng pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menyelimutinya."Mungkin cuma perasaan aku aja," gumamnya, lalu kembali ke dapur.Namun, baru saja ia mengambil ulekan untuk melumat bumbu, suara langkah itu terdengar lagi—lebih dekat.Jantung Cahaya berdegup lebih kencang. Ia menoleh perlahan, napasnya tercekat saat melihat bayangan samar di balik pintu dapur."Part 35"Ayo kita bawa Cahaya pulang. Dia butuh istirahat."Angkasa mengangguk. Ia melepas jas hitamnya, menyelimutkan ke tubuh Cahaya yang gemetar. Perlahan, ia membantu istrinya berdiri.Cahaya bersandar penuh pada Angkasa, seolah hanya suaminya yang mampu membuatnya merasa aman."Mas... aku takut... mereka bilang... mereka mau---""Ssstt... jangan dipikirkan." Angkasa menangkup wajah istrinya, menatap dalam ke matanya yang basah. "Nggak ada yang bisa menyentuhmu, paham? Aku nggak akan biarin siapapun melukaimu."Cahaya mengangguk kecil, meski rasa trauma masih membayang di matanya.Angkasa membantu Cahaya berjalan keluar dari gudang, tubuh istrinya masih gemetar dalam pelukannya. Malam yang dingin seakan menyerap seluruh sisa kekuatan Cahaya. Napasnya terass sesak, matanya sembab, tapi ia terus berusaha tegar.Mobil hitam sudah menunggu di luar. Angkasa membukakan pintu, membantu Cahaya duduk di kursi belakan
Suara berat yang begitu dikenalnya terdengar dari pintu.Angkasa.Tatapan Cahaya langsung beralih. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan napas memburu."Kamu nyari mati, ya?" Suara Angkasa terdengar begitu dingin. Matanya menatap tajam si penculik.Si penculik terkekeh. "Kau siapa? Pacarnya, huh? Atau mungkin suaminya yang nggak becus jagain istri sendiri?"Angkasa mendengus."Turunkan pisau itu, atau aku yang akan memastikan kau mati malam ini." Suara Angkasa rendah namun tajam.Preman itu tertawa mengejek. "Cih, sok jagoan! Kau pikir aku takut? Kalau kau benar-benar peduli sama istrimu, mundur sekarang juga!"Cahaya menatap Angkasa dengan air mata berlinang. Ketakutan melingkupi dirinya, tapi ada sedikit cahaya harapan dalam tatapannya. Ia percaya suaminya akan menyelamatkannya.Angkasa melangkah perlahan, menegangkan tubuhnya. Matanya tak lepas dari belati di leher istrinya."Aku mundur ..
Part 34 Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam, hanya suara mesin dan napas berat Angkasa yang memenuhi kabin. Tatapan matanya lurus ke depan, rahangnya mengeras menahan emosi. Kaivan di sampingnya terus berkoordinasi lewat ponsel, meminta orang-orangnya melacak jalur mobil mencurigakan itu. "Angkasa, kemungkinan mereka bawa Cahaya ke gudang kosong di pinggir kota. Tempat itu sering dipakai buat transaksi ilegal." Angkasa mengepalkan tangan, buku-buku jarinya memutih. "Kalau benar mereka sentuh Cahaya ... aku nggak bakal biarin mereka hidup!" desisnya penuh amarah. Kaivan menoleh, menatap Angkasa dengan serius. "Bapak tahu kamu khawatir, Angkasa, tapi kamu harus tetap memikirkannya dengan kepala dingin. Cahaya butuh kamu tetap waras buat selamatin dia," tukas Pak Lanang di jok belakang. "Iya, Pak." Angkasa menghembuskan napas kasar, mencoba mer
Setelah menenangkan Altair, Kaivan mulai berkeliling rumah, memeriksa setiap sudut ruangan. Tatapannya tajam, seolah mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan. Ia menemukan beberapa jejak kaki di lantai, bekas tapak sepatu yang tak wajar di rumah itu."Bu, waktu Ibu datang, rumah ini apa sudah berantakan seperti ini?"Bu Ratna mengangguk pelan."Iya, Nak. Saya langsung panik waktu lihat keadaan rumah. Cahaya nggak pernah meninggalkan Altair sendirian."Kaivan mengepalkan tangan. "Kalau penculiknya bukan orang biasa... berarti orang itu memang sudah mengincar Cahaya sejak lama."Ia mengeluarkan ponsel dari saku, kembali menghubungi seseorang."Halo, Bro ... Aku butuh bantuanmu lagi. Cek semua CCTV di sekitar komplek ini. Cari mobil atau orang mencurigakan yang masuk atau keluar."Kaivan menutup telepon, lalu menatap Altair yang sudah tertidur di pelukannya.Sementara Kaivan dan Pak Lanang sibuk berkoord
Part 33Angkasa meraih jaketnya, lalu bergegas keluar rumah dengan hati yang dipenuhi amarah dan kecemasan. Angkasa duduk sejenak di belakang kemudi, menghela napas panjang. "Kemana aku harus mencari Cahaya?"***Pak Lanang mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya merah padam menahan amarah. Jemarinya terus memijat pelipis, seolah mencoba menenangkan diri, tapi jelas pikirannya kalut."Harusnya aku nggak percaya sama Angkasa! Dia memang nggak becus jadi suami! Sudah aku bilang dari awal, Cahaya terlalu baik untuk laki-laki kayak dia!" geramnya, suara beratnya bergetar.Bu Mega yang duduk di sofa hanya bisa menarik napas panjang. Wajahnya cemas, tapi ia berusaha tetap tenang."Mas, tolong tenang ... Marah-marah nggak akan bikin Cahaya cepat ketemu. Lebih baik kita minta bantuan orang buat nyari Cahaya. Altair gimana? Cucu kita pasti ketakutan."Pak Lanang berhenti melangkah, kedua tangannya mengepal. Ia menatap ist
Beberapa saat Sebelumnya ...Cahaya sedang berdiri di dapur, jemarinya lincah meracik bumbu dan bahan makanan yang hendak dimasaknya.Ia sesekali melirik jam dinding, mengira-ngira kapan Angkasa akan pulang. Altair sudah tidur di kamar, memberi kesempatan bagi Cahaya untuk memasak dengan tenang.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar samar dari arah ruang tamu. Cahaya menoleh, kedua alisnya bertaut."Mas Angkasa? Apa kamu sudah pulang?" serunya sambil melangkah keluar dari dapur, tetapi tak ada jawaban.Ruangan itu kosong. Cahaya menggeleng pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menyelimutinya."Mungkin cuma perasaan aku aja," gumamnya, lalu kembali ke dapur.Namun, baru saja ia mengambil ulekan untuk melumat bumbu, suara langkah itu terdengar lagi—lebih dekat.Jantung Cahaya berdegup lebih kencang. Ia menoleh perlahan, napasnya tercekat saat melihat bayangan samar di balik pintu dapur."