Bab 16*Pagi. Jelita membuka mata karena terdengar adzan subuh berkumandang dari ponselnya. Gadis itu membalikkan badan dan melihat Arjuna di sampingnya. Suami yang masih dengan setengah hati bisa ia terima dalam kehidupannya. Entah. Dari sudut mana pun Jelita melihat, Arjuna hanya terlihat seperti temannya. Teman masa kecil yang kebaikannya tak ada yang bisa menggantikan. Hanya saja waktu pernah mencekat mereka pada kesalahpahaman, hingga yang tersisa hanya benci dan kerenggangan.Gadis itu memejamkan mata, terlalu sesak memikirkan kondisi hati dan perasaannya. Lalu, mata itu kembali terbuka bersamaan dengan helaan napas lelahnya. Kembali ingatan itu hadir di memorinya. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar.Jelita membuka pintu kamar, setelah duduk di bawahnya beberapa menit tenggelam dalam tangisan. Tempat yang beberapa saat lalu menjadi sandaran untuknya dan Arjuna. Tempat yang beberapa saat lalu ia tumpahkan tangisnya atas masa lalu yang ia rasa tak adil
Bab 17*Jelita pulang saat hari mulai gelap. Ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci, itu berarti Arjuna sudah berada di rumah. Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan kondisi terang, karena lampu telah dihidupkan. Ia melangkah ke kamar, ingin mengganti pakaian dan membersihkan diri, juga menunaikan kewajiban shalat magrib yang hanya tersisa beberapa menit saja.Usai melakukan itu, Jelita melangkah ke kamar Arjuna. Ia ingin mengajak suaminya untuk makan malam. Karena Jelita tak memasak, ia telah memesan go food untuk santapan malam ini.“Lita, ayo pindah kamar,” pinta Arjuna saat itu.Sejenak Jelita bergeming, rasa aneh itu kembali hadir dalam hati gadis itu. Ia masih hanya bisa melihat Arjuna sebagai teman. Jelita seolah terjebak di masa remaja mereka, di mana ia dan Arjuna memiliki hubungan yang sangat dekat sebagai teman.Jelita menghela napas, mencoba membuang semua pikiran tak jelas itu. Ia telah berjanji pada diri sendiri untuk melawan arus. Melawan semua perasaan tak bisa
Bab 18*Jam telah menunjukkan pukul lima sore, Jelita baru saja tiba di rumah sakit. Ia ingin menyusul Arjuna dan akan pulang bersama. Letak antara rumah sakit dan kantor Jelita tak jauh, hanya tiga menit dengan berjalan kaki. Lalu lalang para pasien yang duduk di kursi roda menghiasi bangunan berwarna putih itu. Juga para perawat yang hilir mudik dengan tugasnya masing-masing. Ada yang membawa cairan infus dan peralatan lainnya. Ada juga yang sedang selonjoran di kursi tunggu dengan pakaian khas dokter operasi, mungkin baru saja selesai melakukan operasi pasien.Jelita yang melihat itu semua, bisa membayangkan bagaimana lelahnya Arjuna dengan pekerjaannya. Namun, lelaki itu bahagia saat ia bisa melihat senyum keluarga pasien yang berterima kasih padanya. Atau saat esok pagi, Arjuna melihat pasiennya tersenyum setelah melewati masa kritisnya.Dokter. Salah satu pekerjaan mulia. Tak heran Arjuna benar-benar bertekad untuk mewujudkan cita-citanya. Semua berawal dari Aldi, yang membuk
Bab 19*Kevin berhenti tepat di kursi panjang di belakang bangunan rumah sakit. Lelaki itu duduk di sana, dan menepuk bagian kursi di sebelahnya, mengisyaratkan Jelita agar duduk di sampingnya.Jelita menggeleng, ia tak ingin menuruti Kevin untuk duduk di sana. Untuk apa lagi, kini keduanya bukan siapa-siapa.“Aku mau pulang,” ucap Jelita setelah beberapa detik tak mendengar apa yang ingin dibicarakan oleh Kevin.“Duduk dulu,” Kevin meminta.“Aku ingin cerita banyak hal.” Kevin berkata lagi. “Ini,” Kevin mengulurkan tangan dengan map cokelat yang sedari tadi dipegangnya.Jelita mengambil map itu dari tangan Kevin, lalu segera membukanya. Gadis itu membulatkan matanya ketika melihat apa yang tertulis di sana. Kevin rutin melakukan fisioterapi di rumah sakit ini, yang ditangani oleh dr. Amir Dalimunthe Sp.OT.Begitu yang tertulis di sana. Jelita menatap Kevin yang kini juga tengah menatapnya. Mata berbulu lentik itu menelisik wajah Kevin yang baru disadari ternyata ada beberapa bekas
Bab 20*Kevin merasakan beberapa orang mengangkat tubuhnya. Lalu dibaringkan di tepi jalan, dengan rasa sakit dan darah yang keluar dari kepalanya, membuatnya tak bisa melakukannya apa pun, hanya bisa merasa dan samar mendengar. Juga kaki dan tangannya yang tak bisa digerakkan.“Yang ini masih hidup,” ucap seseorang memegang denyut nadi Kevin. Ia masih bisa merasakan dalam kondisi setengah sadar, tapi untuk membuka mata saja ia tak mampu. Lelaki itu ingin melihat ibunya, tapi mata itu tetap terpejam.“Meninggal, Pak.” Seseorang berkata pada yang lainnya saat mereka memeriksa denyut nadi dua orang dewasa yang satu bersama Kevin.Kevin ingin berteriak memanggil ibu dan pamannya. Namun, suara itu tercekat dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Ia ingin berlari memeluk jasad orangtuanya, tapi tubuh itu tak bergerak, hanya indera pendengaran yang sedikit berfungsi. Emosi sedih dalam dirinya berkecamuk, ia tak bisa melakukan apa pun, hanya bisa mengeluarkan setetes air mata dari sud
Bab 21*Saat Kevin sadar, ia tak menemukan ponselnya. Sepertinya ia juga kehilangan beberapa uang yang ada di dompet. Entah siapa yang mengambilnya, mungkin salah satu dari para penyelamat itu atau siapa.“Seingatku ada uang di dompet, Mas!” ucap Kevin pada Gilang yang masih duduk di sampingnya.“Cincin. Mas Gilang nemu cincin nggak?” tanya Kevin lagi.Gilang menggeleng. Ia tak menerima apa pun dari orang suruhannya, selain dompet yang berisi kartu-kartu. Itu tandanya Kevin juga kehilangan cincin pernikahan yang akan disematkan di jari manis Jelita. Kejadian itu seolah menghapus semuanya tanpa sisa. Menghapus semua jejaknya untuk menuju pada Jelita.Terkadang dalam sebuah musibah, ada orang-orang yang mematikan empatinya dan mengambil kesempatan untuk hal-hal keji seperti itu. Mungkin orang jahat itu mengambilnya sebelum polisi mengevakuasi korban. Atau mungkin barang itu ikut terpelanting dan tak ditemukan jejaknya. Entahlah.“Sudahlah. Yang penting kamu selamat, Vin.” Gilang mengu
Bab 22*Matahari terlihat begitu cerah di atas sana. Menambah semangat bagi siapa saja yang menjalani harinya. Minggu pagi, setelah sarapan dan berolahraga memutari jalan, Arjuna kini sibuk mencuci mobilnya.Sebuah ember berisi air sabun terletak di samping kakinya. Seluruh permukaan mobil berwarna hitam itu telah dipenuhi busa. Tangan Arjuna dengan cekatan menggosok lembut dengan spons ke seluruhnya, lalu menyiram dengan air hingga terlihat lebih mengkilap.Me time. Arjuna hanya punya waktu saat hari weekend. Sejak kuliah ia sering menghabiskan waktu akhir pekan dengan pekerjaan rumah yang ia senangi. Sesekali ia akan keluar bersama teman-teman kampusnya. Sejak menikah, kebiasaan itu masih sama, hanya saja ia lebih suka keluar dengan Jelita dibandingkan dengan teman-teman.Ya, orang yang sudah punya istri ya ajak istri keluar.“Mas, berapa ongkosnya?” Suara seseorang mengagetkan Arjuna yang masih sibuk menyiram dan memeriksa bagian-bagian yang masih kotor.Arjuna berbalik, lalu mend
Bab 23*Jelita mati-matian menahan isak tangisnya saat itu, setelah Kevin menuntaskan ceritanya. Gadis itu terluka sedalam luka di hati Kevin yang kehilangan ibu dan keluarganya.Keduanya sama terluka atas takdir yang tak memihak, waktu yang tak pernah mau bekerja sama. Atas takdir hidup masing-masing yang masih belum bisa diterima. Harusnya mereka bahagia sekarang. Hidup bersama dalam rasa saling mencintai.Kenapa waktu tega mengambil segalanya. Pertanyaan baru disertai rintihan pilu yang muncul di hati Jelita.“Kamu seharusnya mengatakan apa yang terjadi, bukan mengirimkan pesan konyol yang membuatku ingin mati.” Masih di bangku taman di belakang rumah sakit, Jelita menumpahkan tangis dan penyesalannya.“Aku bahkan tak bisa menjamin akan hidup setelah itu.” Kevin berkata lirih.Jelita diam menatap wajah Kevin yang berusaha menahan emosi sedih dalam dirinya. Ia mengerti bahwa lelaki itu tak ingin ia berharap banyak saat itu. Kevin diambang hidup atau mati, lalu dengan keberanian mac