“Sejak menikah, kau jadi lebih pendiam?” Alicia memulai keheningan yang terpecah sejak keduanya membebaskan diri dari keramaian pesta menelusuri sebuah lorong panjang dan melewati empat pintu kayu. Alicia berhenti di sebuah pintu di ujung sambil mengeluarkan sebuah kunci, kemudian masuk lebih dulu.
Sesaat Jenna mengamati ruangan laus tersebut, ruang pribadi sekaligus ruang untuk beristirahat. Dengan satu ranjang besar, dua set sofa, meja rias dan beberapa cermin besar yang berjajar dengan sudut yang berbeda. Ada pintu kamar mandi di sudut dan satu koper besar di atas ranjang yang masih terbuka. Menampilkan beberapa gaun. Di dekat ranjang ada tiga sepatu dengan model dan warna yang berbeda, yang tampaknya senada dengan gaun di koper.
“Apa pernikahan memang membuat sakit kepala seperti yang dikatakan Monica?”
Jenna berhenti mengamati, menoleh ke arah Alicia yang melangkah mendekati ranjang.
“Apa kemesraan yang ditampilkan
Di sepanjang lorong rumah sakit, kedua kaki Jenna yang terseret memaksa melangkah. Pandangan wanita itu kosong dan merana. Satu tangan memegang tas dan satu tangan meremas amplop putih di tangan. Yang berisi hasil pemeriksaan dokter dan foto USG. Usia janin di dalam kandungannya sudah memasuki minggu keenam. Masih sekecil kacang tapi sudah memiliki denyut jantung.Hati Jenna menangis, janin itu tidak berdosa. Tetapi kenapa ia merasa begitu terbebani dengan keberadaannya. Semua usahanya telah sia-sia. Seolah semua derita ini belum juga usai, datang bertubi-tubi tanpa peduli dengan hatinya yang sudah tak sanggup lagi menampung.Ia tak pernah tahu mengenai sebuah kehamilan, apalagi seorang anak. Bayangan semacam itu tak pernah terbayangkan ada di antara hidupnya dan Jerome. Hubungannya dan Jerome jelas tak ada harapan. Bagaimana mungkin harus ada hal bodoh ini di antara mereka.“Jenna?” Suara haru seseorang tiba-tiba terdengar dari arah depan Jenna. Dip
“Merindukanku, Jenna sayang?” sapa Jerome dalam senyuman mengerikan yang tersungging di bibir. Kedua kaki tersilang dan kedua lengan yang bersandar di lengan sofa.“A-apa yang kaulakukan di sini, Jerome?” desis Jenna berusaha keras menahan getar di sepanjang garis bibirnya. Menekan dalam-dalam rasa takutnya. “Bagaimana kau masuk?”“Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku,” koreksi Jerome.Jenna bergeming. Wajahnya yang pucat mengembangkan kepuasan di wajah Jerome.“Sepertinya dua hari cukup bagimu untuk bersenang-senang, bukan. Aku datang untuk menjemput istri tercintaku.” Jerome mengurai silang kedua kakinya dan bangkit berdiri. Tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Jenna.“Aku tak akan kembali ke rumahmu. Tak akan pernah.” Diam-diam Jenna memegang gagang pintu, bersiap memutar tubuh dan melarikan diri. Berharap Juna tak berada jauh dari sini. Tapi ia tak punya ponsel untuk
Jenna terbangun seketika merasakan gejolak menyerang perutnya secara tiba-tiba. Dengan segera tangannya bergerak menyingkap selimut dan melompat turun dari tempat tidur untuk berlari ke kamar mandi. Berjongkok di depan lubang toilet dan muntah dengan keras. Jerome pun yang lengannya tadi melilit pinggan Jenna, ikut bangun karena lengannya yang disentakkan oleh Jenna. Ia mengangkat kepalanya sedikit dan mendengar suara muntahan. Bangkit terduduk lalu menyusul Jenna. “Apa kau perlu dokter?” Jerome muncul dan tangannya bergerak menyentuh punggung Jenna berniat untuk memijit dan meredakan rasa sakit Jenna. Tetapi hanya sesaat tangan itu berhasil menyentuh tubuh Jenna, wanita itu sudah bangkit sambil menutup lubang toilet. Berdiri di depan wastafel dan mencuci wajah serta kedua tangannya. Tanpa melirikkan pandangan sedikit pun pada Jerome. Merasakan sikap Jenna yang sengaja menghindarinya, Jerome menahan lengan Jenna yang hendak keluar kamar mandi. “Wajahmu pucat
Rasa pusing teramat yang menusuk kepala menyadarkan Jenna dari ketidaksadarannya. Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya yang tersilau ke wajahnya. Kemudian bangkit terduduk oleh rasa haus yang terasa mencekik leher. Pandangannya langsung teralih ke arah nakas, melihat segelas air putih dan langsung meneguknya hingga tandas. Sambil menelaah ingatannya sebelum ia jatuh pingsan. Jerome yang memaksanya makan makanan di lantai dan muntah.Rasa sakit di kepala kembali muncul mengingat jambakan kuat pria itu yang rasanya nyaris menguliti rambut di kepalanya. Satu tangannya bergerak menggosok bagian belakang kepalanya. Kemarahan, rasa dongkol, dan sakit hati bercampur aduk di dalam dadanya. Menyumpahi pria itu dengan segala macam sumpah yang berjumbal di kepalanya.Hingga suara pintu kamar yang dibuka mengalihkan perhatian Jenna. Memunculkan kembali luka hatinya yang masih ternganga lebar. Tidak cukupkah pria itu merampas segala hal di hidupnya, hing
“Hampir keguguran?!” Suara Jerome bergema di sepanjang lorong yang sepi. Ia bahkan tidak tahu jika Jenna sedang hamil, dan sekarang saat tahu tiba-tiba nyawa anaknya dalam kandungan Jenna berada dalam bahaya. Ditambah ia sendirilah yang nyaris membunuh anak itu dengan kedua tangannya sendiri. Kedua tangannya terkepal keras, giginya bergemeletuk, dan salah satu kepalan tangannya menghantam ke dinding lorong. Membuat sang dokter terperanjat keras dengan wajah pucat sambil menelan ludah. Tubuhnya bergetar hebat oleh rasa takut jika tinju itu meleset dan mengenai dirinya. Jerome Lim, selain sebagai salah satu petinggi yang memiliki kekuasaan cukup besar di rumah sakit ini, sosoknya sebagai pria dingin dan kejam bukanlah sekedar rumor omong kosong. Ia bahkan tak berani mempertanyakan dengan bekas kekerasan fisik yang terlihat di rahang pasiennya. Tak perlu dan tak ingin tahu lebih banyak atau sedikit pertanyaan akan mengusik emosi seorang Jerome Lim dan nyawanya berada da
Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Jenna melihat Jerome berdiri di teras seolah menunggu untuk menyambut kedatangannya. Jenna menahan napasnya sesaat oleh kegugupan yang muncul, rasa dingin meresap di sepanjang tulang punggungnya dengan gugup. Kedua tangannya saling bertaut. Mengatur degupan jantungnya ketika mobil berhenti.Jerome menuruni empat anak tangga di teras, dan langsung membuka pintu mobil. Dengan senyum tanpa dosa seolah semua hal menyakitkan yang telah diberikan pria itu pada Jenna tidak pernah terjadi.“Turunlah.” Jerome mengulurkan tangan. Wajah pria itu terlihat hangat, yang penuh kejanggalan dalam pandangan Jenna.Jenna hanya menatap uluran tangan tersebut dengan raut datar. Tak menyambut uluran tangan tersebut, dan turun sendiri menggunakan kedua kakinya.Dengan tangan yang masih melayang di udara, tubuh Jerome mematung. Menghela napas pendek lalu berbalik. Mengambil dua langkah besar sebelum membungkuk dan membaw
Jenna melihat seseorang sudah mulai menghias pagar di tangga dengan bunga hiasan. Pelayan berseragam sibuk ke sana kemari memindah beberapa perabot sedangkan yang lainnya membuat berbagai macam hiasan di dinding, di langit-langit, dan di berbagai macam sudut rumah. Membuat Jenna ingin melihat lebih dekat. “Nyonya, Tuan melarang Anda turun.” Doris memperingatkan Jenna yang sudah hendak menginjak anak tangga. Ya, sejak Jenna keluar rumah sakit, pria itu bersikeras menyuruhnya tetap di dalam kamar. Dan baru dua hari yang lalu Jerome mengijinkannya keluar setelah ia mengaku bosan dan mendekati gila jika ia terus mendekam di dalam kamar. Itu pun hanya boleh berjalan-jalan di lantai dua. Yang hanya ada ruang kerja dan perpustakaan dan bioskop mini. Yang sedang tak ingin ia kunjungi hari ini karena keramaian di lantai satu terlihat lebih menarik perhatiannya. “Hanya sebentar. Toh dia juga tidak akan tahu.” Jenna mulai menginjak anak tangga pertama dan turun. Mengaba
Jerome benar-benar tidak muncul semalaman. Membuat Jenna pun tidak bisa tidur dan bangun pagi itu dengan kantong panda di bawah kelopak matanya karena kurang tidur. Serangan muntahnya menjadi lebih parah dari biasanya. Hingga memuntahkan cairan pahit karena makan malamnya sudah keluar di tengah malam. Bahkan dengan rasa lapar yang melilit, perutnya terasa begitu penuh dan selalu mual setiap mencium bau makanan yang dibawa Doris.Jenna geram bukan main. Semalaman ia menderita karena mual dan rasa lapar, dan Jerome malah bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana. Membuat hati Jenna terbakar.Setelah nyaris pingsan di kamar mandi, Jenna berhasil kembali berbaring di tempat tidur dengan bantuan Doris. Pelayan itu keluar dan kembali dengan segelas teh hangat yang tersisa setengah.“Saya sudah menghubungi tuan Jerome. Sebentar lagi tuan akan …”“Kenapa kau memberitahunya?” bentak Jenna meletakkan cangkir di nakas.Do