Baper. Mungkin itu bahasa anak gaul zaman sekarang. Aku tidak tahu sejak kapan kata-kata itu menjadi sangat populer, karena yang kutahu, kata itulah yang tepat menggambarkan suasana hatiku sekarang.Baik aku jujur atau tidak, sepertinya si tuan licik tahu kalau sekarang aku sedang gugup, akibat pelukannya yang sangat erat.Bagaimana tidak? Kami masih saja berada di posisi intim, meski Nenek dan Pak Ridwan sudah menghilang sejak tadi dari kamar."Eheum! Aman."Pak Al menarik napas lega, begitu pun aku. Kami terdiam lagi sampai mataku menangkap hal-hal yang aneh terasa mengganjal di bawah selimut. Tepatnya di bawah handuk yang dikenakan Pak Al.Oh Tuhan! Mataku yang perawan ini sudah teracuni oleh pemandangan yang terlalu dewasa. Mana kulitku dan kulitnya seolah tertempel sempurna.Geurah!Aku harus menghentikannya sebelum berkeringat, entah karena kepanasan atau memang kini jantungku terlalu ekstra berolahraga."Pak!" panggilku memberanikan diri. Sepengamatanku, tak ada tanda-tanda Pak
Konon katanya, kalau orang baru menikah itu pasti ada yang namanya 'honeymoon'-lah, jalan-jalan ke pantai, mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama 'suami' bertualang. Itu ekspektasiku, sayang ... nyatanya semua itu tidak pernah terjadi.Ambyar. Wes, ambyar!Sebagai pengantin baru, kami malah tak punya waktu jalan-jalan sama sekali. Apalagi kalau si pemilik lesung pipi itu sudah bertitah, semua khayalanku yang membahagiakan menjadi kacau-balau.Sungguh mengejutkan! Lelaki yang bersikeras ingin kupanggil 'Mas' dibandingkan 'Pak' itu benar-benar tidak memberiku kesempatan belanja dan berjalan-jalan sama sekali. Sebab, setelah kemarin bertengkar dengan Pak Ridwan, dia langsung saja memesan tiket pulang ke Bandung tanpa diskusi. Dia bilang, kami harus cepat kembali, karena ada klien penting yang harus dia temui hari ini.Astaga Naga Bonar! Apakah benar, segini susahnya punya suami gila kerja? Sampai mau beli daster batik Emak saja belinya tetap saja di Pas
Adakah yang lebih buruk dari kebohongan? Kurasa itu ada, yaitu kebohongan yang berakhir dengan mempermalukan diri sendiri. Seperti halnya yang kulakukan siang tadi. Dengan bodohnya aku mengatakan di depan semua orang di kantin, bahwa Mas Al dan aku tidak punya hubungan. Kalau pun ada, itu hanya rasa kasihan Mas Al sebagai Bos.Hanya itu.Kalau dipikir-pikir, betapa aneh alasanku pada mereka dan buruknya mereka percaya. Akan tetapi sayang, sepertinya tadi di kantin suamiku tak setuju dengan apa yang kulakukan. Diam-diam kulihat, wajah Mas Al langsung berubah jadi sangat datar ketika kubilang pada Gladis kalau aku hanya bawahannya yang banyak hutang.Mungkinkah dia marah? Masa, sih? Bukankah itu kenyataannya? Aku hanyalah wanita yang banyak hutang pada 'bank emok' atau pun rentenir. Apanya yang salah?Ah, sudahlah, bodo amat!Aku menyingkap gorden kamar, menatap jalanan di depan apartemen yang diterangi lampu jalan. Hatiku benar-benar gelisah, setelah kejadian tadi siang, Mas Al belum k
Aku membuka mata, lalu mengerjap beberapa kali karena merasa silau. Kulihat sekelilingku, ternyata aku masih di bumi tepatnya di kamarku belum pulang ke khayangan. Kutolehkan kepala ke kanan, ternyata gorden telah terbuka dan cahaya matahari masuk lewat kaca."Aw!" ringisku. Tadinya aku mau mencoba bangkit tapi sepertinya belum bisa, entah kenapa tumit dan pergelangan kakiku masih saja ngilu.Pasrah.Aku mendesah pelan. Menyadari kondisi ini, tak ayal mengingatkanku pada peristiwa semalam di mana aku merasa mengantuk hingga hampir tertidur di belakang punggung Mas Al pada saat dia membawaku ke apartemen.Kukira lelaki itu akan membangunkanku, tapi aku salah. Mas Al ternyata mau bersusah payah membawaku sampai ke tempat tidur dan mengompres pergelangan kakiku agar bengkaknya berkurang.Melihat ini semua, entah kenapa gelenyar aneh di dalam dada ini terasa semakin nyata. Apalagi, saat aku tertidur, aku bermimpi rambutku dibelai seseorang bahkan rasanya sangat nyata hingga aku merasa nya
Dua hari libur, rasanya cukup bagiku untuk menyembuhkan luka kaki. Karena kalau kelamaan, bisa disebut songong nanti.Masa, baru saja jadi staf liburnya sudah kayak Bos besar. Bisa-bisa Pak Ridwan berubah jadi Hulk kalau aku minta ijin lagi. Awalnya Mas Al bilang, biar dia yang meng-acc langsung, tapi kan, kok rasanya kayak enggak ada akhlak, ya? Berasa nepotisme gitu.Mentang-mentang jadi istri Bos, jadi mudah mengajukan libur? Eh, tapi, siapa juga yang tahu di kantor selain Pak Ridwan, kalau aku istri Bos?Masa hantu? Ya kali, kalau hantunya datang di acara akad kami yang rahasia itu mah. Bisa jadi."Fey! Hey, Fey!" Suara seseorang mengagetkanku yang sedang melamun sepanjang jalan menuju ke arah lift.Aku berhenti dan memutar langkah, mengarah ke sisi kanan. Bibirku langsung tersenyum lebar kala kulihat siapa yang memanggilku."Geaaaaa!" teriakku membahana plus norak.Ternyata bukan hanya aku saja yang bahagia, Gea pun sama. Sekali pun kami sering bertengkar tapi kalau sehari saja e
Mas Al itu tipe lelaki yang banyak ide dan rencana yang tak terduga. Kadang dia merencanakan A, kadang B dan kadang-kadang suka enggak masuk di akal. Namun, anehnya, berkali-kali pun aku dijahili. Kok, rasanya aku enggak kapok, ya? Malah aku suka senyam-senyum sendiri, jika mengingat semua tingkah 'absurd' suamiku.Buktinya saja, seperti tadi tanpa kuduga, dia tiba-tiba saja memelukku udah gitu di depan Bu Ana dan Yura lagi. Kan, asem!Lalu, sekarang? Dia sama sekali tak melepaskan genggamannya di tanganku. Dia seakan takut kalau aku kabur dan meninggalkannya.Padahal, aku mau kabur ke mana? Orang belum gajian.Mendapati perlakuan manis yang overdosis ini, harus diakui aku semakin galau.Di satu sisi aku diam-diam merasa senang dan dadaku bergetar hebat kala untuk pertama kalinya, dia menggenggam tanganku erat tapi di sisi lain aku merasa tak enak hati karena sejak tadi Bu Ana menatapku tajam tanpa berkedip.Ah, seandainya wanita setengah baya itu tahu, aku pun tak mau ada di sini.Wa
POV AlAku memandang layar infokus tanpa minat. Info mendadak dari Gea tentang Yura yang mengajak bicara gadis ceroboh itu telah mengganggu pikiran.Sekali pun, orang-orang di depanku terus saja mengoceh mengenai penjualan yang naik. Dada ini masih saja tak lega.Berkali-kali otak ini sudah mencoba berkonsentrasi pada deretan angka dan rapat yang membosankan, nyatanya perasaan tetap mengalihkannya.Sekarang, bayangan Fey bahkan menari-nari di pelupuk mata.Ck! Aneh, padahal belum tentu, akan terjadi apa-apa setelah dia mengobrol dengan Yura. Fey itu gadis yang cukup kuat, walau kadang terlihat butuh pertolongan.Sedang Yura ... agh, aku tahu dia gadis yang tak biasa. Perbuatannya tak bisa terduga, dulu dia hampir saja mau bunuh diri karena tidak mendapatkan nilai A di pelajaran Kimia. Bisa dibilang, Yura adalah ancaman yang tak terdeteksi.Apakah Fey akan baik-baik saja bersama Yura?Sial! Kenapa aku jadi banyak memikirkan Fey? Dia hanya 'istri sementara', bukan? Untuk apa aku bersika
Dari segi mana pun Yura memang cantik, walau agak menyeramkan. Kulitnya putih pucat, rambut keriting bergelombang hitam kecoklatan sepundak. Mata Yura agak sipit, lengkap dengan bulu mata lentik dan panjang.Aku jadi penasaran apakah ini bulu mati asli apa palsu? Tapi, yang kutahu tubuhnya lebih tinggi dan proporsional. Berbeda denganku yang mungil, kurus dengan banyak lekukan menonjol."Kamu, sudah sejauh apa dengan Mas Al?" tanya Yura setelah kami hanya saling pandang setelah lima menit duduk berhadapan.Aku tak menyangka dia mengajakku ke restoran mahal seperti ini. Apa dia ingin menyombongkan diri, kalau dia lebih punya segalanya dari pada aku?"Heum, sejauh apa, ya? Menurutmu gimana?" tanyaku, mengetes Yura.Sepertinya wanita ini punya kepribadian ganda deh, terkadang dia sok ramah, terkadang dia bisa sangat menyeramkan. Seperti sekarang, bahkan langit pun tiba-tiba hujan gledek.Yura tersenyum tipis. Dia menyenderkan bahunya ke kursi restoran dengan sikap jumawa."Menurutku hubu