Ciuman itu tidak manis. Tidak hangat. Itu adalah pernyataan dominasi dan kemarahan.
Ariadna terdorong ke rak. Tangannya masih memegang folder Espora, jantungnya berdebar kencang.
Ketika Vernando menarik diri, matanya dingin.
“Kalau mau main api, Ariadna,” gumamnya pelan, “siap-siap terbakar.”
Dia melangkah pergi tanpa menoleh.
Ariadna berdiri diam. Bibirnya basah. Napasnya tercekat. Matanya panas.
Tapi yang membuat air mata jatuh bukan karena dicium tanpa izin, bukan karena merasa terhina.
Melainkan karena sesuatu di dalam dirinya—bagian kecil, memalukan, dan menyedihkan—bahwa dirinya justru tidak membenci sentuhan itu.
Ia menatap pintu yang sudah tertutup. Dada sesak. Karena ia sadar... mungkin, ia hampir menghancurkan hati seseorang yang tidak pernah diberi pilihan untuk tumbuh sebagai manusia biasa.
—------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari setelah kejadian itu, udara di rumah mereka bisa dipotong dengan kartu nama—tipis, tajam, dan penuh pasif-agresif.
Vernando bersikap seolah Ariadna adalah pot tanaman di lorong: keberadaannya diakui, tapi tak pernah ditatap langsung. Ia melewati Ariadna di tangga, ruang makan, bahkan lorong depan kamar, tanpa sepatah kata pun. Hanya angin yang berani menyapa di antara mereka.
Dan Ariadna? Frustrasi bukan kata yang cukup. Dia merasa diabaikan sepenuhnya. Namun, ada sisi dari driinya yang merasa pantas diperlakukan seperti itu, sehingga gadis itu diam saja.
Merasa stress, ia menghubungi Hana untuk pergi minum ke klub. "Kalau aku tetap di rumah, aku bakal lempar piring karena stress. Dan aku sayang piringku yang keramik Italia itu,"
Malam itu, Vernando pulang lebih lambat dari biasanya. Jam dua pagi dan rumahnya sunyi. Tidak ada Ariadna yang muncul di tangga. Tidak ada suara musik dari kamar. Merasa aneh, dalam hitungan detik, ia sudah sampai di kamar dan melihat bahwa Ariadna tidak ada di situ.
Ia turun lagi ke lantai satu, berdiri di ruang tamu, ragu sejenak. Lalu mengeluarkan ponsel dan menekan satu nomor cepat.
"Di mana dia?" tanyanya dingin.
"Masih di klub Voxa, Pak. Bersama temannya. Saya mengawasi dari jarak aman. Mau saya bawa pulang sekarang atau tunggu sampai Ibu Ariadna selesai sendiri?"
Vernando diam sejenak. Rahangnya mengeras. "Tidak usah. Aku yang jemput."
Di Voxa, lampu strobo menari liar. Musik EDM menekan dada, dan alkohol sudah naik ke kepala Ariadna. Hana pamit ke toilet. Dan seperti hukum gravitasi, Ariadna yang memang pada dasarnya manis__dan makin manis dengan pipi yang memerah karena alkohol jelas saja menarik segelintir pria mabuk maupun setengah mabuk di situ.
"Sendirian, Cantik?"
Ariadna menoleh malas. "Enggak. Jelas-jelas banyak orang disini. Apa matamu itu butuh solusi mata minus?"
Tawa kasar. Salah satu dari mereka mencoba menyentuh pinggangnya. Ariadna menepis.
"Ayo, jangan jaim."
"Jangan sentuh aku."
Salah satu pria menunduk sedikit, menyipitkan mata. "Eh... kayaknya gue pernah lihat lo deh… lo yang di TV itu ya? Eh, eh, ini yang nikah sama... siapa tuh—"
Mereka mendadak diam. Salah satu dari mereka membisik, "Anjir, itu beneran istri Vernando, bukan sih?"
Suasana berubah seketika. Wajah-wajah mabuk mendadak sadar. Langkah-langkah mereka mundur perlahan, seperti tikus melihat ular. Tapi sebelum mereka benar-benar kabur, satu suara menyusul:
"Lepaskan tanganmu, sebelum aku pastikan kamu nggak bisa pakai tangan itu lagi."
Vernando.
Senyap sejenak. Aura dingin dan tajam yang ia bawa membuat grup pria itu mundur perlahan seperti tikus melihat ular.
Ariadna menatapnya. Mata Vernando menyala marah, rahangnya mengeras. Dan anehnya... ia terlihat marah. Atau... cemburu?
Ia memakaikan jaket ke bahu Ariadna yang memakai blouse transparan tanpa lengan dan menyeret gadis itu keluar klub. Tanpa bicara. Tangannya kuat menggenggam lengan Ariadna, membuatnya seperti gadis SMA dibawa guru BK..
________________________________
Di dalam mobil, keheningan menusuk. Sampai Ariadna menyalak.
"Apa maksudmu? Kenapa seminggu ini kamu kayak hantu rumah—ada tapi nggak kelihatan? Ngomong pun nggak. Sekarang tiba-tiba nyeret aku kayak aku milikmu?"
Vernando menatap lurus ke depan. "Kamu mabuk."
"So what?! Itu bukan alasan kamu bersikap kayak... kayak aku transparan!"
"Aku nggak perlu alasan untuk jaga jarak dari hubungan yang tidak ada perasaan."
Ariadna mendengus. Lalu—tanpa aba-aba—ia mencium Vernando. Cepat, liar, penuh kemarahan.
Ia menarik wajahnya mundur. "Itu balasannya."
Vernando menoleh pelan. Matanya menyipit. Napasnya berat. Lalu ia membalas ciuman itu. Kali ini... lebih brutal.
Tangannya meraih tengkuk Ariadna, menariknya lebih dekat. Ariadna yang tadinya terkejut, kini menerima lidah pria itu di dalam mulutnya dengan patuh. Ciuman mereka berubah jadi perang—lidah, napas, dan remasan saling bersaing untuk menang.
Vernando menarik tubuh Ariadna maju, melintasi konsol tengah yang menghalangi, dan dalam hitungan detik ia sudah duduk di pangkuan Vernando.
Jaketnya terlepas entah ke mana. Pergelangan tangannya dikunci erat oleh Vernando sembari bibir dan lidahnya dikulum dan dikunyah habis oleh pria itu.
Ketika tiba-tiba Vernando berhenti dan tersadar oleh sinar lampu mobil lain yang lewat di depan mereka, Ariadna membalas dengan menyerang lehernya. Pria itu menarik napas panjang ketika Ariadna menciumi lehernya, menggigit dan menjilatnya secara liar.
Dengan kesadaran yang tersisa, pemuda itu berkata pelan, setengah terengah “Ari…aku peringatkan, setelah ini aku tidak bisa berhenti” Tangannya menyusuri paha mulus gadis itu, naik, menyingkap roknya sampai naik ke pinggang.
“Ini di basement….” lanjut Vernando seperti mengingatkan untuk waras tapi tangannya tetap menyusup ke balik blouse Arianda, melepas tali branya di punggung,
"Terus... jangan berhenti," rengek gadis itu lirih, rasanya bagai racun manis di telinga Vernando, mematikan seluruh logikanya.
Dan Vernando menjawab dengan tangan yang mengusap punggung Ariadna, membuka kancing blus satu per satu dengan kesabaran yang nyaris hilang. Baju Ariadna melorot ke pinggangnya, dan udara dingin di dalam mobil terasa kontras dengan panas kulit mereka. Mobil berembun cepat. Jendela mengabur. Dunia luar menghilang.
Ariadna merintih pelan ketika Vernando membungkuk, menyusuri lehernya dengan ciuman basah. Setiap hisapan kecil, setiap tarikan napas cepat, membuat tubuhnya gemetar, tapi bukan karena dingin.
Kaki Ariadna menekan pedal rem tanpa sadar. Vernando menggenggam pahanya, lalu merapatkan tubuh mereka lebih dekat, hingga tak ada celah lagi.
“Bilang kalau kamu mau,” bisik Vernando di antara ciuman.
“Jangan bicara omong kosong Sean. Foto apa yang kau maksud?”“Aw, apa Ariadna kita takut pada gambar-gambar lama?” ejek Sean Ariadna mendengus kesal “Kita tidak pernah memilki foto vulgar. Kecuali kau merekayasa sendiri. Dan aku peringatkan untuk tidak bermain-main tentang itu.” “Ah takutnya, aku berhadapan dengan putri menteri….dan istri mafia.” sahut Sean mengejek.Ariadna memandang mantan kekasihnya itu dalam-dalam. “Percayalah, jika menjadikanku musuh, maka walau aku tidak ingin, kau akan benar-benar jatuh.”“Kenapa aku perlu merekayasa foto, Ari? Tanpa rekayasa aku sudah punya banyak koleksi foto kita di klub malam, kau mabuk di apartemen, berbikini di pantai. Bukan foto vulgar, tapi cukup menghancurkan citramu yang kini pura-pura anggun dan terhormat. Kira-kira kalau media Indonesia dapatkannya… kau akan viral dalam dua menit.”Ariadna mengangkat dagunya. “Kalau kau mengancamku, kau baru saja memperlihatkan bahwa kau benar-benar berbahaya, Sean.”Sean menyipitkan mata. “Aku t
Bab 11 - MantanSosok itu berdiri tegak di sudut ruangan. Kacamata gelap. Gaya rambutnya memang berbeda—lebih pendek dan disisir rapi. Tapi postur tubuh itu… bahkan posisi bahu kirinya yang sedikit turun—Ariadna tahu betul siapa itu. Sean, pacarnya yang sudah hampir setengah tahun tak diingatnya lagi sejak ia menunggalkan Sydney. Ariadna tak sempat pamit waktu itu, dan memang hubungan mereka saat itu sudah dingin selama beberapa bulan.Jantungnya berdebar. Tidak sekadar terkejut—lebih ke rasa tidak percaya yang pekat bercampur panik.Apa yang dia lakukan di Indonesia? Terlebih, di tempat ini? Dan… mengapa berpakaian seperti salah satu bodyguard tamu penting? Siapa yang dia layani?Mata Ariadna membelalak samar, namun ia berusaha menjaga sikap. Sean juga menoleh sekilas ke arahnya, sejenak saja. Tapi Ariadna tahu: di balik kacamata hitam itu, ia juga sedang mengamati gadis itu.Ariadna menyentuh lengan Vernando pelan, mencari momen. “Aku ke toilet sebentar.” bisiknya.Vernando mengang
Suara Vernando pelan, namun cukup keras untuk menggedor jantung Ariadna hingga berdebar keras. Vernando membawa tangan Ariadna ke pipinya, lalu memejamkan mata. “Seperti ini.” katanya pelan“Hah?”Vernando membuka matanya “Iya, persis seperti ini.”Ariadna mengerjap-ngerjap tak mengerti. Vernando menahan tawa. Matanya yang tadinya lembut berubah menjadi tatapan jahil. “Kamu ketiduran, Ari.”“Ketiduran?”“Iya, lagi tanggung, tiba-tiba kamu jatuh ke dadaku dan ketiduran. Nggak bergerak.”Vernando menyeringai geli memandang Ariadna yang masih bengong. “Kita belum melakukannya. Aku tidak punya fetish menyentuh gadis yang sedang mendengkur.”“Astaga…..” Ariadna memegang pipinya yang terasa panas karena malu.. “Kalau kamu mau melanjutkan sekarang, boleh,” bisik Vernando. “Tapi aku cuma bisa pakai satu tangan.”“Veerr…nannnn…doooo1“ Ariadna mendesis kesal. Ditinjunya bahu pria itu kecil. Vernando menangkap tangan gadis itu. Ditatapnya Ariadna dengan pandangan yang sulit diartikan, membuat
Ariadna menggigit bibirnya,tatapannya penuh hasrat yang tak lagi bisa dipendam. “Aku mau. Sekarang.” Dengan kalimat itu, tubuh gadis itu memperdalam posisinya ke pangkal paha Vernando, mendesah saat jemari Vernando mulai menyentuhnya. Dengan mata terpejam, samar-samar Ariadna mendengar Vernando membuka resleting celananya. Sambil menikmati sentuhan Vernando dan hangatnya pelukan pria itu, suara di luar terasa semakin menjauh… dan gelap. ++—-----------------------------------------------------------Ariadna membuka matanya.Bangkit dengan kepala masih pusing, dia berusaha mencerna situasinya saat ini. Ini pagi hari : check. Ini di kamar : check. Ia mengerjap cepat. Samar-samar ia ingat kakinya menekan tuas rem mobil. Ingat tangan Vernando di pahanya, ingat bau parfum mint itu, ingat suara serak di telinganya"Bilang kalau kamu mau."Ariadna merona seolah suara itu sungguh-sungguh terdengar lagi."Aku mau… sekarang."AAAAAAAAKKHHH Ariadna berteriak dalam hati. Memukul-mukul kepalany
Ciuman itu tidak manis. Tidak hangat. Itu adalah pernyataan dominasi dan kemarahan. Ariadna terdorong ke rak. Tangannya masih memegang folder Espora, jantungnya berdebar kencang. Ketika Vernando menarik diri, matanya dingin. “Kalau mau main api, Ariadna,” gumamnya pelan, “siap-siap terbakar.” Dia melangkah pergi tanpa menoleh. Ariadna berdiri diam. Bibirnya basah. Napasnya tercekat. Matanya panas. Tapi yang membuat air mata jatuh bukan karena dicium tanpa izin, bukan karena merasa terhina. Melainkan karena sesuatu di dalam dirinya—bagian kecil, memalukan, dan menyedihkan—bahwa dirinya justru tidak membenci sentuhan itu. Ia menatap pintu yang sudah tertutup. Dada sesak. Karena ia sadar... mungkin, ia hampir menghancurkan hati seseorang yang tidak pernah diberi pilihan untuk tumbuh sebagai manusia biasa.—------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Beberapa hari setelah kejadian itu, udara di rumah m
Sudah sebulan sejak Ariadna tinggal di mansion Vernando dan resmi menjadi istrinya—CEO Angels Entertainment yang juga sekaligus bos mafia internasional di bawah tanah.. Selain sikap aneh Vernando padanya di malam pernikahan mereka terkait penculikan Ariadna di masa lalu, gadis itu tidak merasa ada hal lain yang mengganjal. Pembicaraan mereka malam itu berakhir begitu saja ketika Ariadna menegaskan bahwa dia sungguh-sungguh tidak punya ingatan tentang itu. Sejak itu, mereka tidak pernah membahasnya seolah interogasi Vernando malam itu tidak pernah ada. Yang menarik? Mereka sudah tidur seranjang selama tiga puluh hari tanpa satu pun adegan panas. Bahkan tidak ada sesi accidental brushing-of-the-hand seperti di drama. Yang ada hanya bantal tambahan di tengah ranjang dan jarak yang bisa diukur dengan meteran bangunan. Ariadna tidak tahu harus bersyukur atau merasa tersinggung. “Jadi… aku ini istri, boneka pajangan, atau semacam roommate yang kebetulan sah di mata hukum?” gumamnya