Share

Aku Gila

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-07-09 15:57:11

Matahari pagi menyengat kelopak mata Isabella. Tubuhnya terasa berat, lembab oleh keringat dan sesuatu yang lain—rasa bersalah yang lengket

Ia membuka mata perlahan.

Kasur kosong di sebelahnya, tapi bau Leonardo masih menempel di kulitnya—kayu pinus dan garam, seperti laut di pagi hari.

"Tuhan..." suaranya parau.

Ia mencoba duduk, tapi rasa sakit di antara pahanya mengingatkannya pada semalam. Pada bagaimana tubuhnya melengkung mengejar kepuasan, sementara jiwanya menjerit ingin kabur.

Rasa lelah tapi terpuaskan satu hal yang kontradiktif dia rasakan pada tubuhnya. Dia mengingat semuanya. Semua yang dia lakukan bersama Leonardo. Meskipun logikanya terus menolak tapi, semalam dia lebih liar dari yang dibayangkan. Bahkan mengingatnya membuat Isabella malu. 

Tiga tahun pernikahan, dia tidak pernah seliar itu saat bercinta dengan Matteo.

Pintu kamar terbuka. Matteo masuk dengan nampan sarapan, wajahnya cerah seperti tak ada yang terjadi. 

‘Apakah lelaki ini gila? Apakah benar dia suamiku’ pikir Isabella.

"Selamat pagi, sayang," ujarnya, mencium kening Isabella.

Isabella gemetar. "Kau—kau bisa pura-pura semuanya normal?"

Matteo menghela napas. "Ini untuk keluarga kita, Bella. Leonardo hanya... alat. Kamu tetap istriku tidak akan berubah menjadi istri Leonardo hanya karena kamu tidur satu kali dengannya"

‘Dia mengatakan itu seolah itu sesuatu yang biasa? Seharusnya dia cemburu, marah, apa benar dia masih mencintaiku?’ Batin Isabella menjerit dan menangis, dia tatap mata suaminya, mencoba menyelami sorot mata itu, dan sialnya Isabella tidak menemukan sorot mata penyesalan ataupun cemburu setelah istrinya bercinta dengan saudara angkatnya.

Alat. Kata itu menggantung di udara, lebih kotor dari selimut yang berantakan.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Isabella turun ke dapur dengan nampan di tangannya.

Setiap langkah menuruni tangga terasa seperti mengaraknya ke medan perang baru. Bau kopi pahit sudah menyergap hidungnya sebelum ia sampai di dapur—tapi yang lebih menusuk adalah kehadiran Leonardo yang sudah menunggu.

Ia memergoki Leonardo di sana.

Lelaki itu sedang menuang kopi, tubuhnya yang tinggi membayangi pintu. Saat ia menoleh, matanya—hijau seperti hutan yang terbakar—menyapu tubuh Isabella dari kepala hingga kaki.

"Kau seharusnya tidak berada di sini," Isabella mendesis.

Leonardo mendekat, suaranya rendah. "Aku ingin memastikan kau baik-baik saja, maaf kalau semalam aku terlalu bersemangat."

Napas Isabella tersengal. Tubuhnya ingat. Ingat bagaimana jari-jari Leonardo—

"Jangan!" Isabella mundur. "Ini salah. Semuanya salah!"

Tapi Leonardo mengejarnya, menahannya di sudut meja. "Aku tahu kau merasakannya juga," bisiknya. "Kau menggigit bahuku semalam. Kau meneriakkan namaku bukan Matteo."

Isabella memalingkan muka, berusaha mengubur kenangan tubuhnya yang berkhianat. Tidak. Itu hanya pengaruh obat. Itu pasti hanya efek zat yang mereka berikan padanya.

Tapi kenapa, saat ini juga, jantungnya berdegup kencang mendengar suara Leonardo? Kenapa dadanya sesak ketika bau kayu cendana dan tembakau yang melekat pada lelaki ini menyusup ke hidungnya?

Sepanjang hari, bayangan sentuhan Leonardo terus menghantuinya. Setiap kali ia menutup mata, tubuhnya mengingatkan pada sensasi yang seharusnya dibencinya. Matahari bergerak melintasi langit, tapi pikiran Isabella tetap terjebak dalam labirin rasa bersalah dan keinginan yang tak bisa diakuinya.

Ketika senja tiba dan bayangan panjang mulai menyapu lantai kayu rumah mereka, Isabella menyaksikan dari balik tirai kamar saat Matteo dan Leonardo memasuki ruang kerja bersama. Setelah kejadian semalam, seharusnya ia tak ingin berurusan lagi dengan keduanya. Tapi rasa penasaran menggerogotinya—apa mungkin mereka membicarakan bisnis di saat seperti ini? Atau... apakah mereka merencanakan sesuatu yang lain untuknya?

Malam itu, Isabella melihat Matteo dan Leonardo masuk ke ruang kerja, setelah peristiwa semalamnya sebenarnya dia malas berurusan lagi dengan suaminya ataupun Leonardo. Namun, dia penasaran apa yang akan mereka bicarakan, tidak mungkin bisnis. Akhirnya dia menguping pembicaraan Matteo dan Leonardo di ruang kerja.

"Dia bakal hamil atau tidak?" geram Matteo.

"Butuh waktu, Matteo, kau tunggu saja! Benihku sehat tapi tidak menjamin akan jadi hanya dalam satu kali percobaan" jawab Leonardo dingin. "Aku bukan mesin yang bisa kau kendalikan."

"Tapi, Kau hanya bisa melakukannya satu kali, Leo!"

“Terserah kamu, Matt! Aku hanya membantu, menurutku satu kali tidak menjamin istrimu hamil!” Leonardo mengatakan itu tanpa tekanan.

“Okay, kamu boleh lakukan satu malam lagi! Tapi, kali ini harus hamil!”

Isabella menahan napas. Satu malam?

Tapi Leonardo tertawa—suara yang dalam dan berbahaya. "Bagaimana kalau ternyata tidak berhasil juga? Kau mau aku masuk ke kamarnya lagi?"

Matteo mulai gusar

Isabella tidak mau mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai, dia lari.

Sialan! Aku tahu orang tua Matteo menginginkan keturunan, tapi tidak harus seperti ini. Kenapa Matteo harus menyuruh Leonardo yang menghamiliku, ada apa dengannya?’ Isabella membenamkan wajahnya di bantal.

Setelah lelah menangis Isabella masuk ke kamar mandi, dia ingin mengusir noda yang ada di tubuhnya. Hari ini entah sudah berapa kali dia mandi, namun bekas sentuhan Leonardo rasanya masih tertinggal di sana.

Ini bukan masalah suka atau tidak suka, namun moral.

Di kamar mandi, Isabella menatap cermin. Tangannya mengelus perut yang masih rata.

Bagaimana jika ia hamil? Artinya dia mengandung anak Leonardo?

Air matanya jatuh. Tapi yang lebih mengerikan—ada bagian dirinya yang berharap ia mengandung bayi Leonardo.

"Aku gila," bisiknya pada bayangan di cermin.

Di luar, hujan mulai turun. Seperti air mata langit yang tahu—mungkin saja ini menjadi awal kehancuran rumah tangga yang sudah mereka bangun dengan cinta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Apakah Cinta Kita Bisa Selamat?

    Panggilan itu masih terngiang-ngiang di telinganya, menghantui setiap langkahnya. Suara Leonardo yang parau, sarat dengan kerinduan yang begitu dalam, seakan mencengkeram jiwanya. "Aku sangat merindukanmu, Isabella. Pulanglah." Kalimat itu yang membuatnya meninggalkan segalanya dan memacu mobilnya dengan cepat menuju Villa.Jantungnya berdebar penuh harap, membayangkan senyum lemahnya, pelukan hangatnya yang selama ini menjadi pelabuhan teramannya. Namun, saat dia membuka pintu Villa, sunyi yang menusuk menyambutnya. Rumah itu terasa kosong, hampa, dan dingin bagai kuburan."Leo?" panggilnya, suaranya gemetar menggema di lorong-lorong megah. "Leonardo?"Tidak ada jawaban. Hanya detak jam dinding yang berdetak keras bagai genderang peringatan di kepalanya. Rasa takut yang irasional mulai merayap, menyelimuti hatinya dengan es. Pikirannya langsung melesat ke skenario terburuk—kesehatannya yang masih rapuh, kecelakaan yang mungkin terjadi, atau... atau sesuatu yang lebih mengerikan.Tiba

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Bold

    Hari ini Isabella meninggalkan Leonardo di villa. Pertemuannya dengan Contessa, yang datang mewakili suaminya, terasa berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang mengambang di udara—sesuatu yang tidak sepenuhnya nyaman. Perempuan bangsawan itu kini tampak lebih sibuk, matanya lebih awas, seolah setiap gerak Isabella pantas dicermati. Mungkin karena Contessa tahu, diam-diam suaminya masih menyimpan perasaan pada Isabella. Dan jika orang cukup jeli, mereka akan melihat bahwa Contessa seperti berusaha meniru gaya Isabella, sedikit demi sedikit.Semua karena Damiano. Suaminya itu masih menyimpan gambar Isabella di tempat yang hanya dia sendiri yang tahu. Dan Leonardo, lelaki yang pernah dia cintai, ternyata juga tergila-gila pada Isabella. Contessa masih belum mengerti—mengapa kedua lelaki penting dalam hidupnya itu sama-sama terpikat olehnya? Apa istimewanya Isabella? Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak kalah cantik. Tapi mungkin bukan soal cantik saja.Isabella datang dengan setelan hit

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Destroy The Enemi

    Udara pagi di Tuscany terasa berat bagi Isabella. Dinding-dinding rumah sakit dan bayangan Matteo yang masih berkeliaran terasa seperti sangkar. Setelah beberapa hari memastikan kondisi Leonardo stabil, ia mendesak dokter untuk mengizinkan mereka pulang. Argumennya logis: udara segar Danau Como akan lebih mempercepat penyembuhan Leonardo. Dokter akhirnya luluh, dan izin pun diberikan.Luca, yang setia mengawal, melaporkan bahwa persiapan jet pribadi dan dokumen kepulangan sudah lengkap. "Matteo masih menghilang bagai ditelan bumi," lapor Luca, "Tapi beberapa polisi yang disuapnya sudah kami amankan. Mereka akan menjadi saksi kunci."Leonardo, yang sudah mampu duduk tegak, menghela napas. "Dia akan terus bersembunyi. Dia tidak akan berani muncul selama ayahnya, Riccardo, masih terpojok. Ayah dan anak itu sama saja: pemberani hanya ketika berkuasa, pengecut ketika jatuh."Isabella menyimpan dokumen terakhir ke dalam koper dengan gerakan mantap. "Justru itulah keuntungan kita, Leo. Denga

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Berita Bahagia Di Tengah Kekacauan

    Isabella membeku, darahnya seakan berhenti mengalir. Matteo, mantan suaminya yang seharusnya masih mendekam di penjara, sekarang berdiri di hadapannya dengan senyum getir dan mata penuh kebencian."Luar biasa, bukan?" Matteo melangkah mendekat, tangannya dengan lihai memainkan pisau yang berkilat di cahaya redup. "Uang dapat membeli banyak hal, Isabella—termasuk kebebasan diam-diam dan rekayasa berita yang meyakinkan semua orang bahwa aku masih berada di balik jeruji."Leonardo mendesis kesakitan saat mencoba bergerak melindungi Isabella. "Kau membayar sipir penjara," ujarnya dengan suara terengah, menyadari betapa liciknya musuhnya."Tepat sekali," sahut Matteo dengan bangga. "Dan sekarang, aku akan mengambil segala sesuatu yang telah kau curi dariku."Isabella masih tidak percaya. "Kami tidak mencuri apa pun darimu, Matteo! Hubungan kita telah berakhir—""Tambang marmer ini seharusnya menjadi milikku!" Matteo membentak, wajahnya memerah. "Villa, bisnis, dan kau—semuanya adalah milik

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Petunjuk Di Tuscany

    Andrea menatap Luca lagi, mencari konfirmasi. Luca mengangguk mantap. "Dia bisa dipercaya, Andrea. Leo sendiri yang akan memastikan itu jika dia ada di sini."Setelah beberapa detik merenung, Andrea akhirnya menghela napas. "Baiklah. Ikuti saya."Dia mengeluarkan kartu akses dari saku dalam jaketnya dan memimpin mereka menuju lift khusus di ujung koridor. Saat lift turun ke kedalaman tambang, Isabella bisa merasakan tekanan udara yang berubah. Dinginnya mulai merambat melalui lapisan pakaiannya."Gudang ini," jelas Andrea sambil menunjuk ke lorong yang terang benderang di depan mereka, "menyimpan marmer kualitas tertinggi dan beberapa... aset penting lainnya."Isabella memperhatikan kamera keamanan di setiap sudut dan sensor gerak di sepanjang langit-langit. "Sepertinya

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Perjalanan Di Tuscany

    Isabella menjalani hari-harinya dengan ketegaran yang membuat banyak orang terpana. Di balik senyum tenangnya, ada api yang terus menyala—keyakinan tak tergoyahkan bahwa Leonardo masih hidup.Suatu pagi, di apartemen mewahnya yang kini dijaga ketat, Isabella berbicara serius dengan Luca."Aku butuh bodyguard terlatih," ujarnya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja marmer.Luca menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, izinkan aku yang menjagamu."Isabella mengerutkan kening. "Aku tidak enak hati. Kau sahabat Leonardo, bukan pengawal bayaran.""Keselamatanmu sekarang menjadi tanggung jawabku," jawab Luca tegas. "Jika Leo tahu aku tidak peduli, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status