Matahari pagi menyengat kelopak mata Isabella. Tubuhnya terasa berat, lembab oleh keringat dan sesuatu yang lain—rasa bersalah yang lengket.
Ia membuka mata perlahan.
Kasur kosong di sebelahnya, tapi bau Leonardo masih menempel di kulitnya—kayu pinus dan garam, seperti laut di pagi hari.
"Tuhan..." suaranya parau.
Ia mencoba duduk, tapi rasa sakit di antara pahanya mengingatkannya pada semalam. Pada bagaimana tubuhnya melengkung mengejar kepuasan, sementara jiwanya menjerit ingin kabur.
Rasa lelah tapi terpuaskan satu hal yang kontradiktif dia rasakan pada tubuhnya. Dia mengingat semuanya. Semua yang dia lakukan bersama Leonardo. Meskipun logikanya terus menolak tapi, semalam dia lebih liar dari yang dibayangkan. Bahkan mengingatnya membuat Isabella malu.
Tiga tahun pernikahan, dia tidak pernah seliar itu saat bercinta dengan Matteo.
Pintu kamar terbuka. Matteo masuk dengan nampan sarapan, wajahnya cerah seperti tak ada yang terjadi.
‘Apakah lelaki ini gila? Apakah benar dia suamiku’ pikir Isabella.
"Selamat pagi, sayang," ujarnya, mencium kening Isabella.
Isabella gemetar. "Kau—kau bisa pura-pura semuanya normal?"
Matteo menghela napas. "Ini untuk keluarga kita, Bella. Leonardo hanya... alat. Kamu tetap istriku tidak akan berubah menjadi istri Leonardo hanya karena kamu tidur satu kali dengannya"
‘Dia mengatakan itu seolah itu sesuatu yang biasa? Seharusnya dia cemburu, marah, apa benar dia masih mencintaiku?’ Batin Isabella menjerit dan menangis, dia tatap mata suaminya, mencoba menyelami sorot mata itu, dan sialnya Isabella tidak menemukan sorot mata penyesalan ataupun cemburu setelah istrinya bercinta dengan saudara angkatnya.
Alat. Kata itu menggantung di udara, lebih kotor dari selimut yang berantakan.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Isabella turun ke dapur dengan nampan di tangannya.
Setiap langkah menuruni tangga terasa seperti mengaraknya ke medan perang baru. Bau kopi pahit sudah menyergap hidungnya sebelum ia sampai di dapur—tapi yang lebih menusuk adalah kehadiran Leonardo yang sudah menunggu.
Ia memergoki Leonardo di sana.
Lelaki itu sedang menuang kopi, tubuhnya yang tinggi membayangi pintu. Saat ia menoleh, matanya—hijau seperti hutan yang terbakar—menyapu tubuh Isabella dari kepala hingga kaki.
"Kau seharusnya tidak berada di sini," Isabella mendesis.
Leonardo mendekat, suaranya rendah. "Aku ingin memastikan kau baik-baik saja, maaf kalau semalam aku terlalu bersemangat."
Napas Isabella tersengal. Tubuhnya ingat. Ingat bagaimana jari-jari Leonardo—
"Jangan!" Isabella mundur. "Ini salah. Semuanya salah!"
Tapi Leonardo mengejarnya, menahannya di sudut meja. "Aku tahu kau merasakannya juga," bisiknya. "Kau menggigit bahuku semalam. Kau meneriakkan namaku bukan Matteo."
Isabella memalingkan muka, berusaha mengubur kenangan tubuhnya yang berkhianat. Tidak. Itu hanya pengaruh obat. Itu pasti hanya efek zat yang mereka berikan padanya.
Tapi kenapa, saat ini juga, jantungnya berdegup kencang mendengar suara Leonardo? Kenapa dadanya sesak ketika bau kayu cendana dan tembakau yang melekat pada lelaki ini menyusup ke hidungnya?
Sepanjang hari, bayangan sentuhan Leonardo terus menghantuinya. Setiap kali ia menutup mata, tubuhnya mengingatkan pada sensasi yang seharusnya dibencinya. Matahari bergerak melintasi langit, tapi pikiran Isabella tetap terjebak dalam labirin rasa bersalah dan keinginan yang tak bisa diakuinya.
Ketika senja tiba dan bayangan panjang mulai menyapu lantai kayu rumah mereka, Isabella menyaksikan dari balik tirai kamar saat Matteo dan Leonardo memasuki ruang kerja bersama. Setelah kejadian semalam, seharusnya ia tak ingin berurusan lagi dengan keduanya. Tapi rasa penasaran menggerogotinya—apa mungkin mereka membicarakan bisnis di saat seperti ini? Atau... apakah mereka merencanakan sesuatu yang lain untuknya?
Malam itu, Isabella melihat Matteo dan Leonardo masuk ke ruang kerja, setelah peristiwa semalamnya sebenarnya dia malas berurusan lagi dengan suaminya ataupun Leonardo. Namun, dia penasaran apa yang akan mereka bicarakan, tidak mungkin bisnis. Akhirnya dia menguping pembicaraan Matteo dan Leonardo di ruang kerja.
"Dia bakal hamil atau tidak?" geram Matteo.
"Butuh waktu, Matteo, kau tunggu saja! Benihku sehat tapi tidak menjamin akan jadi hanya dalam satu kali percobaan" jawab Leonardo dingin. "Aku bukan mesin yang bisa kau kendalikan."
"Tapi, Kau hanya bisa melakukannya satu kali, Leo!"
“Terserah kamu, Matt! Aku hanya membantu, menurutku satu kali tidak menjamin istrimu hamil!” Leonardo mengatakan itu tanpa tekanan.
“Okay, kamu boleh lakukan satu malam lagi! Tapi, kali ini harus hamil!”
Isabella menahan napas. Satu malam?
Tapi Leonardo tertawa—suara yang dalam dan berbahaya. "Bagaimana kalau ternyata tidak berhasil juga? Kau mau aku masuk ke kamarnya lagi?"
Matteo mulai gusar
Isabella tidak mau mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai, dia lari.
‘Sialan! Aku tahu orang tua Matteo menginginkan keturunan, tapi tidak harus seperti ini. Kenapa Matteo harus menyuruh Leonardo yang menghamiliku, ada apa dengannya?’ Isabella membenamkan wajahnya di bantal.
Setelah lelah menangis Isabella masuk ke kamar mandi, dia ingin mengusir noda yang ada di tubuhnya. Hari ini entah sudah berapa kali dia mandi, namun bekas sentuhan Leonardo rasanya masih tertinggal di sana.
Ini bukan masalah suka atau tidak suka, namun moral.
Di kamar mandi, Isabella menatap cermin. Tangannya mengelus perut yang masih rata.
Bagaimana jika ia hamil? Artinya dia mengandung anak Leonardo?
Air matanya jatuh. Tapi yang lebih mengerikan—ada bagian dirinya yang berharap ia mengandung bayi Leonardo.
"Aku gila," bisiknya pada bayangan di cermin.
Di luar, hujan mulai turun. Seperti air mata langit yang tahu—mungkin saja ini menjadi awal kehancuran rumah tangga yang sudah mereka bangun dengan cinta.
Pintu gudang berderit keras saat Matteo mendorongnya dengan kasar. Sorot matanya liar, mencari sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Dan di sana, persis di tengah ruangan yang diterangi cahaya bulan, Leonardo berdiri tegak. Tenang. Terlalu tenang."Leonardo!" sergah Matteo, suaranya parau. "Kau pikir kau bisa main hakim sendiri? Menculik Naomi? Kau sama brengseknya denganku!"Leonardo tak bergerak. Hanya matanya yang menyipit, mengamati setiap detail penampilan Matteo yang compang-camping."Kau tahu, Leonardo," Matteo melangkah mendekat, senyum sinis terukir di wajahnya yang dipenuhi janggut pirang tak terurus. "Dari dulu aku selalu jijik melihatmu. Berlagak suci, tapi ternyata sama bejatnya. Merebut istri orang—"Bug!Tidak ada peringatan. Tidak ada kata-kata balasan. Hanya sebuah pukulan keras yang menghunjam tepat di pipi Matteo. Begitu kuatnya sampai Matteo terhuyung mundur, menabrak tumpukan karang kosong."Dasar—!" Matteo mencoba membalas, tapi Leonardo sudah terlalu cepat.B
Serangan balik Isabella dan Leonardo bagaikan badai yang membelah langit. Opini publik pun terbelah, masing-masing dengan narasinya sendiri.Ini memang tujuan Isabella. Dia bukan mencari dukungan penuh tapi memecah. KUBUH SKEPTIS & CUEK:"Lagi, lagi. Orang kaya berantem." Komentar ini mewakili kelompok yang lelah dengan drama elite. Bagi mereka, ini sekadar sinetron berbiaya tinggi yang tak ada hubungannya dengan hidup mereka. Mereka membaca headline, menggeleng, lalu melanjutkan aktivitas. "Buat apa peduli? Yang penting harga sembako turun." Mereka adalah penonton pasif yang jumlahnya tak sedikit. PASUKAN PEMBELA ISABELLA: #KuatSepertiBelleKelompok inilah yang suaranya paling lantang. Terdiri dari para penyintas kekerasan, profesional muda yang menghargai kerja keras, dan masyarakat yang terinspirasi oleh ketangguhannya.Mereka adalah masyarakat yang selama ini mengikuti perkembangan kegiatan La Belle lama dalam kegiatan-kegiatan charity juga yang menerima manfaat dari donasi dan
Malam itu, kediaman Matteo yang mewah terasa seperti penjara berlapis marmer. Dia mondar-mandir di ruang kerjanya, gelas wiski di tangannya tak lagi membawa kehangatan, hanya menambah getar di ujung jarinya. Telepon di meksa berdering, memecah kesunyian yang mencekik.Suara orang kepercayaan Theodore Fia di seberang sana, berbisik tergesa-gesa, penuh tekanan. "Matteo... ada perkembangan buruk. Naomi... dia hilang."Gelas di tangan Matteo pecah berantakan di lantai, isinya membasahi karpet mahal. Wajahnya yang biasanya tampan, mendadak pucat bagai kain kafan. "Apa? Hilang? Apa maksudmu hilang?" desaknya, suaranya serak."Beberapa orang tak dikenal menyergapnya di parkiran bawah tanah, tepat setelah pertemuannya dengan Theodore. Mereka membawanya pergi. Cepat dan bersih.""Tidak mungkin..." Matteo terisak, tubuhnya limbung. Seluruh strategi, semua rencana licik yang telah mereka rajut berbulan-bulan, runtuh seketika. Naomi. Dia bukan sekadar sekutu. Dialah otak di balik setiap gerakan,
Sementara itu, di balik layar, Cassandra aktif. Dia dengan licik menyusun "bukti" untuk mendukung serangannya:Foto-Foto yang Dimanipulasi: Dia membocorkan foto lama Isabella saat sedang terlihat lesu atau sedih, dikirim ke media dengan caption yang menyudutkan, seperti "Isabella terlihat tidak stabil di sebuah acara amal, sebelum akhirnya pulang lebih cepat."Rekaman Suara Palsu: Sebuah rekaman suara samar yang di-edit diedarkan, di mana suara yang mirip Isabella terdengar berteriak histeris. Rekaman itu pendek dan tidak jelas konteksnya, tetapi cukup untuk menciptakan keraguan."Saksi Ahli" Bayaran: Naomi, melalui koneksi Theodore Fia, menyewa seorang psikolog yang tidak bermoral untuk memberikan pernyataan umum kepada media tentang "betapa umumnya pasien PTSD bisa memiliki memori palsu (false memory) yang terasa sangat nyata."Sebenarnya sangat mudah memecahkan bukti-bukti palsu seperti ini, namun jika langsung dilakukan pembalasan rasanya mereka tidak akan mendapatkan efek jerah.
"Dan aku," timpal Leonardo, "memilih untuk berdiri di sisi Isabella. Bukan sebagai 'pebinor', tapi sebagai pria yang telah menemukan belahan jiwanya dalam cara yang paling tidak terduga. Kami membangun hubungan kami dari puing-puing pengkhianatan, dan kami tidak malu akan itu."Video itu diakhiri dengan mereka berdua berpegangan tangan. "Kami menceritakan ini bukan untuk simpati," kata Isabella tegas. "Tapi sebagai peringatan untuk Matteo dan Naomi, juga siapa pun di belakang mereka. Kami tidak akan lari lagi. Kami akan melawan dengan kebenaran."Tak lama setelah video dirilis, gemparlah media sosial. Benar, ada yang mencibir, menyebut hubungan mereka tidak suci. Tapi jauh lebih banyak suara yang mendukung, terharu dengan kejujuran dan keteguhan mereka.Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Matteo membanting gelasnya ke dinding. "Berani sekali mereka! Mereka pamer!"Naomi yang berdiri di dekat jendela memandangnya dengan dingin. "Tenang, Matteo. Emosi tidak akan menyelesaikan masa
“Matteo!” teriak Isabella keras-keras, membuat Leonardo menoleh dengan cepat.“Ada apa? Kenapa kau sebut namanya?” tanya Leonardo mendekati istrinya.Isabella berdiri dan menarik tangan Leonardo, menuntunnya ke setumpuk dokumen yang membuktikan identitas asli Cassandra sebagai Suzan. Alamat rumah, agensi, hingga klinik operasi plastik—semuanya mengarah ke satu nama: Naomi.“Naomi?” ucap Leonardo, seolah mengais ingatan.“Naomi. Ingat, model teman sekolah kita yang dulu juga selingkuhan Matteo,” Isabella mengingatkan.“Ya… aku ingat, Belle,” gumam Leonardo sambil mengangguk.“Aku yakin dia bekerja sama dengan Matteo. Musuh kita tetaplah dia. Matteo. Dia pasti sangat marah, bukan hanya karena uangnya yang hilang, tapi juga harga dirinya yang tercabik,” jelas Isabella dengan semangat berapi-api.“Belle, Sayang… aku masih belum sepenuhnya paham.”“Suzan adalah sepupu Naomi. Dan kebetulan, Naomi juga sudah lama membenciku karena mengira aku selalu lebih beruntung darinya. Padahal…” Isabell