Masuk
Happy Reading 🎈
•••• "Lagi ngapain?" tanya Virly ketika melihat Reno di seberang yang grasak-grusuk. "Apa sayang? Gak kedengeran, tunggu bentar mau pindah posisi dulu." Terdengar jawaban dari seberang telepon. "Lagi ngapain sih? Kayak cewek aja, kameranya gak bisa diem." Virly menatap kesal layar handphone nya. "Apa sayang? Cewek? Cewek siapa? Di sini gak ada cewek." Suara Reno kembali terdengar, tapi tidak dengan mukanya. "Reno anak setan. Kalau nggak jelas aku matiin aja ya?" Virly ngedumel kesal mendengar ucapan Reno. "Ehhh, jangan dulu dong! Ini udah selesai." Reno tersenyum menampilkan mukanya di layar HP. "Lagi di mana? Kok banyak suara?". tanya Virly penasaran. "Lagi di luar sama teman, sayang!" jawab Reno. "Ihh, geli banget dan di panggil sayang. Panggil nama aja bisa nggak?" Virly geli sendiri mendengar ucapan Reno yang memanggilnya sayang sedari tadi. "Biar terbiasa sayang, lagian kita kan pacaran." jawab Reno santai. "Baru juga sehari." Virly memutar matanya malas. "Ya kan tetap aja namanya pacaran." Reno terkekeh kecil. "Ya udah, Kalau gitu aku matiin dulu ya. Babayy sayang!" Reno melambaikan tangan ke kamera. "Bayyy, " Virly membalas lambaian tangan Reno. Begitu kameranya mati, Virly langsung meletakkan hpnya dan terdiam sejenak. "Argghhh, Reno Setann! Kan jadi baperrr!" Virly memekik tertahan, menutup mukanya dengan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya di bantal salah tingkah. Ia dan Reno baru jadian tadi pagi setelah sekian lama PDKT Alias Pendekatan. Wajar saja ia mudah salah tingkah ketika mendengar ucapan sayang dari Reno. "Aku yakin kali ini pasti hubungan kami langgeng. Mau bagaimana pun caranya harus langgeng, kalau bisa sampai menikah. Hahaha," Masih dengan acara salah tingkahnya, Virly kembali berguling-guling di ranjang karena perasaan yang membuncah. Sedangkan di luar kamar, tepatnya di ruang tamu. Pak Bagas, papanya Virly kedatangan tamu mendadak. Arsenio, Bos nya di tempat ia bekerja mengais rezeki. "Saya langsung saja, Pak Bagas. Saya ke sini untuk menindaklanjuti kesepakatan kita semalam. Di mana uangnya? Ini sudah lewat dari batas perjanjian kita." Wajah Pak Bagas langsung memucat. Ia hanyalah karyawan biasa di perusahaan Arsen, dan hutang 1 miliar lebih yang ia pinjam setahun lalu untuk operasi jantung istrinya terasa seperti jurang yang tak mungkin ia daki. Pak Bagas menatap gugup, mengusap telapak tangannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya... saya belum bisa melunasinya sekarang. Bisakah Tuan beri saya waktu satu bulan lagi? Saya janji akan berusaha semampu saya-" Arsen langsung memotong dengan suara dingin dan berbahaya. "Tidak ada lagi penundaan. Saya bisa menelepon pengacara Saya sekarang juga, Pak Bagas. Saya akan menjebloskanmu ke penjara atas tuduhan penipuan dan penggelapan, dan menyita semua aset yang kau miliki, termasuk rumah kecil ini. Bagaimana? Pilihan yang bagus, bukan?" Tepat saat ancaman itu meluncur, Bu Anisa, istri Pak Bagas, yang wajahnya masih terlihat pucat karena sakit jantung, keluar dari kamar. Ia terkejut dan ketakutan mendengar ancaman Arsen. Ia segera duduk di samping suaminya. "Apa yang terjadi, Pak? Kenapa Tuan Arsen bicara soal penjara?" Bu Anisa berbisik, terkejut. Pak Bagas menelan ludah yang terasa pahit. Jika ia dipenjara dan asetnya disita, bagaimana nasib anak dan istrinya? "Tuan, mohon jangan! Mohon belas kasihnya. Jangan masukkan saya ke penjara! Saya mohon! Apa saja akan saya lakukan! Apa saja, Tuan! Saya akan lunasi, secepat mungkin, saya janji!" Pak Bagas berlutut di hadapan Arsen, air mata nya berlinang. Senyum tipis, dingin, dan penuh kemenangan tersungging di bibir Arsen. Momen inilah yang ia tunggu. Arsen tetap santai, menyilangkan kakinya dengan angkuh. "Baiklah. Ada cara lain agar kau tidak dipenjara dan tetap bekerja di perusahaanku. Saya punya tawaran." Arsen menatap pak Bagas datar. Pak Bagas mendongak dengan tatapan penuh harap."Tawaran apa, Tuan?" Arsen menghela napas perlahan, seolah meminta hal sepele. "Kau hanya perlu menyerahkan putrimu untuk kunikahi. Sekarang juga." Kedua orang tua itu membeku. Wajah Pak Bagas berubah dari memohon menjadi kaget yang ekstrem. "P-Putri saya? Maksud Tuan... Virly? Putri kami, Tuan?" Pak Bagas bertanya terbata-bata. Arsen mengangguk mantap, nadanya tak terbantahkan. "Tentu saja Virly. Bukankah putri kandungmu hanya satu? Jangan pura-pura bodoh, Pak Bagas. Kau seharusnya sudah tahu aku akan menuntut pembayaran dalam bentuk lain." Bu Anisa langsung berteriak histeris. Ia berdiri, melupakan rasa sakit di dadanya. "Tidak! Tidak bisa! Kami tidak bisa menyerahkan putri kami begitu saja! Dia masih muda, Tuan! Virly masih kelas tiga SMA! Dia sedang sibuk persiapan kuliah! Jangan lakukan ini pada putri kami!" Bu Anisa menangis histeris. Arsen mengedikkan bahu, tanpa empati. "Saya tidak peduli usianya, Bu Anisa. Aku hanya butuh persetujuan Pak Bagas agar pernikahan ini segera dilangsungkan. Saya butuh istri untuk anak-anak saya. Titik." "Tapi... Bukankah Tuan Arsen masih memiliki istri? Nyonya Vina..." Pak Bagas memberanikan diri untuk bertanya. Arsen tersenyum sinis. "Aku sudah menceraikannya. Perceraian kami akan diurus oleh pengacara besok. Virly akan menjadi istriku yang sah, dan yang terpenting, ia akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku, tidak seperti jalang itu." Bu Anisa menangis tersedu-sedu, memegang lengan suaminya. "Tuan Arsen... Tidak bisakah dengan cara lain? Kami akan menjual rumah ini, kami akan bekerja dua kali lebih keras! Tolong, jangan libatkan Virly!" Bu Anisa memohon dengan air mata. "Pilihannya cuma dua, Virly atau Penjara. Kalian punya waktu 24 jam untuk memutuskan. Jika tidak ada jawaban setuju, aku akan menelpon polisi dan memproses penyitaan aset kalian besok pagi. Dan ingat, Pak Bagas, hutangmu lunas secara otomatis begitu Virly menandatangani perjanjian pranikah. Keputusan ada di tangan kalian." Ucap Arsen tak terbantahkan. Saat Pak Bagas dan Bu Anisa masih dalam posisi pasrah dan air mata, terkejut mendengar ancaman terakhir Arsen, pintu kamar terbuka. Virly muncul dari dalam. Gadis itu mengenakan kaus rumahan dan celana pendek, tampak polos dan jauh dari bayangan drama yang sedang terjadi. Ia mendekati ruang tamu karena merasa ada suara yang tak biasa dan tegang di luar. "Ada apa, Pa? Ma? Kenapa Mama menangis? Dan Om... ada urusan apa ya?" Ucap Virly bingung. Pak Bagas yang mendengarnya langsung berdiri tegang. "Virly, Sayang. Duduk dulu sebentar. Ada hal penting sekali yang harus Papa sampaikan." Pak Bagas menarik napas dalam-dalam. Virly menurut, tetapi rasa penasarannya memuncak. Ia duduk di samping ibunya yang buru-buru menyeka air matanya. Mata Virly tanpa sengaja bertemu pandang dengan Arsen. Pria itu duduk tegak, dengan aura yang dingin dan mengintimidasi. Arsen juga menatapnya, tatapan yang mengukur dan menimbang, sebelum akhirnya Virly memutuskan kontak mata lebih dulu, merasa tidak nyaman. Pak Bagas berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini adalah tugas terberatnya. "Virly... Nak, kamu ingat operasi jantung Mama setahun yang lalu?" Tanya Pak Bagas, dengan suara parau. Virly mengangguk. Operasi itu berjalan sukses, tetapi meninggalkan trauma besar bagi keluarga mereka. "Ingat, Pa. Kenapa?" "Uang untuk operasi itu... Papa pinjam dari Bos Papa, dari Tuan Arsen yang ada di sini. Jumlahnya sangat besar, Sayang. Satu miliar lebih." Virly masih diam, matanya mengerjap, mencoba menghubungkan benang merah ini dengan keberadaan Arsen di rumah mereka. Ia hanya mengamati kedua orang tuanya yang tampak hancur. Pak Bagas menatap istrinya, Bu Anisa, untuk mencari kekuatan. Bu Anisa menatap balik dengan mata penuh kesedihan, dan dengan berat hati, ia hanya bisa mengangguk pasrah. Pak Bagas menoleh kembali ke putrinya. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk lidahnya sendiri. Pak Bagas terisak, meraih tangan Virly. "Nak... demi keluarga kita... demi Mama agar Papa tidak dipenjara dan rumah kita tidak disita... Kamu harus menikahi Tuan Arsen." Keheningan melanda ruang tamu. Kata 'menikah' menggantung di udara, absurd dan mengerikan. Virly menatap ayahnya, lalu ke ibunya, seolah mencari konfirmasi bahwa ini hanyalah lelucon buruk. Virly yang merasa ini situasi yang serius pun mundur, dan berteriak kaget. "APA?! Menikah dengan Bos Papa?! Tidak mau! Papa, ini lelucon, kan?! Aku masih kuliah Pa! Aku bahkan sudah punya pacar! Papa tidak bisa melakukan ini padaku!" Virly menolak mentah-mentah. •••• Jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar yaaaHai💙💙Ayok bantu votee dan komenn yang buaanyakkk🥳🥳 Bantuin Promosiinn juga boleh yaa😋😋Selamat membaca bagi yaa gaysss. Votee dan komen yang banyak ya! Spam dengan emot ini dulu biar semangat 💙💙 💙 💙 💙 💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙••••••Setelah kepergian Arsen, kamar anak-anak mendadak terasa sunyi. Virly hanya diam saja, tubuhnya terasa mati rasa. Ia menatap hampa ke depan, memproses semua yang terjadi begitu cepat. Ia masih mengenakan gaun pernikahan yang kini terasa seperti rantai.Rasa tidak adil menyelimuti dirinya."Apakah orang kaya selalu seenaknya terhadap orang di bawahnya?" batinnya menjerit. Di usianya yang baru 17 tahun, saat ia masih harusnya memikirkan ujian akhir SMA dan kencan dengan pacarnya, kini ia dipaksa menjadi ibu bagi dua anak yang tidak ia harapkan.Di hadapan Kayla dan Kay, Virly menjatuhkan dirinya, duduk lemah di lantai berkarpet. Ia mengingat kembali wajah kejam Arsen saat mengancam ayahnya.Rasa benci itu perlahan menguasa
Happy Reading 🎈 ••••••Di sudut kota yang jauh dari rumah Arsen yang penuh ketegangan, Vina memasuki sebuah kafe private yang mewah dan tersembunyi. Tempat itu terasa kontras dengan suasana rumahnya pagi tadi—di sini, segalanya ringan dan bebas.Candra, pacar Vina, atau lebih tepatnya selingkuhannya, segera berdiri begitu melihat Vina. Pria muda bertubuh atletis itu tersenyum lebar, senyum yang memancarkan kegairahan dan kenikmatan hidup. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar."Akhirnya, ratuku datang juga!"Vina segera masuk ke dalam pelukan Candra, menghirup aroma parfum maskulin yang berbeda dari aroma kemeja Arsen yang kaku."Aku merindukanmu, Sayang." Vina mendekap erat.Setelah melepaskan pelukan, Candra memegang wajah Vina, menatap matanya dengan penuh puja."Kenapa lama sekali, Darling? Aku bahkan sudah menunggu dari tadi. Aku hampir bosan melihat layar ponselku." Keluh Candra.Vina mendengus, ekspresinya kembali berubah malas begitu mengingat drama di rumahnya.Vina me
Happy Reading 🎈 ••••••"Bagaimana para saksi, sah?""Sah!"Virly tidak dapat menahan tangisnya. Ia kini resmi menjadi istri dari pria yang ia benci dan takuti, seorang pria yang membelinya untuk melunasi hutang ayahnya.Begitu akad selesai, Arsen langsung menyela, memotong waktu untuk doa dan salam."Virly, sekarang kamu harus ikut ke rumahku. Sekarang juga."Virly menatap Arsen tajam, melampiaskan sisa perlawanannya. "Tidak mau! Aku tidak mau ikut! Kau tidak bisa memaksaku!""Jangan membantah! Segera pamit kepada keluargamu! Kita akan pergi sekarang."Virly tetap keras kepala, ia tetap menggeleng. Arsen yang mulai kehilangan kesaaran, meninggikan suaranya, memperingatkan. "Aku bukan orang yang sabar, Virly. ""Satu...""Dua...""Ti__"Tepat sebelum kata 'tiga' keluar, Mama Arsen, Diana, yang sedari tadi diam dan mengamati drama itu dengan wajah prihatin, menegur putranya.Diana menarik lengan Arsen dengan lembut. "Arsen! Jangan seperti itu. Dia baru saja menikah."Di
Happy Reading 🎈 ••••••"Di sini... berat, Papa. Kayvan capek..." Kayvan mendekap leher Arsen dengan isakan kecil.Arsen menatap Bi Lastri, yang terlihat lelah tapi penuh perhatian."Bi Lastri, terima kasih banyak. Biar malam ini saya yang jaga Kayla dan Kayvan. Bibi istirahat saja.Bi Lastri adalah asisten rumah tangga yang bertanggung jawab untuk dapur dan kebersihan, tetapi ia harus merangkap menjadi pengasuh sejak Arsen memecat dua baby sitter sebelumnya karena mereka sering memukul Kayvan dan Kayla saat menangis."Tidak apa-apa, Pak Arsen. Biar saya saja yang jaga. Bapak pasti lelah setelah bekerja. Bapak istirahat saja." Bi Lastri tersenyum lembut."Tidak, Bi. Saya yang harus di sini. Saya ingin memeluk anak-anak saya malam ini. Bibi istirahat ya. Besok masih harus beres-beres. Terima kasih banyak, Bi." Ucap Arsen tegas, namu terdengar lembut.Tak ingin membantah majikannya, wanita paruh baya itu mengangguk, memberikan senyum penuh dukungan, dan segera keluar dari kamar
Happy Reading 🎈••••"APA?! Menikah dengan Bos Papa?! Tidak mau! Papa, ini lelucon, kan?! Aku masih kuliah Pa! Aku bahkan sudah punya pacar! Papa tidak bisa melakukan ini padaku!" Virly menolak mentah-mentah.Reaksi Virly sama sekali tidak menggoyahkan Arsen. Ia bangkit dari sofa, menjulang tinggi di atas keluarga yang sedang hancur itu."Aku tidak peduli kau punya pacar atau masih kuliah. Kau punya waktu satu hari untuk memutuskan, Nona Virly." Arsen berkata dengan suara dingin, tegas, dan menindas.Ia melangkah maju, memaksa Virly mendongak untuk menatapnya."Menikah denganku, dan hutang ayahmu lunas. Atau, ayahmu masuk penjara besok, dan semua asetmu akan kuserahkan ke bank. Aku hanya butuh ibu untuk kedua anakku. Aku tidak butuh drama cintamu.""Kau tidak boleh seenaknya! Kau tidak bisa membeli hidup orang lain seperti ini! Ini tidak adil!" Teriak Virly marah."Keadilan? Keadilan adalah hutang yang harus dibayar. Sekarang pilihan pembayaran ada di tanganmu. Pikirkan baik-b
Happy Reading 🎈 ••••"Lagi ngapain?" tanya Virly ketika melihat Reno di seberang yang grasak-grusuk."Apa sayang? Gak kedengeran, tunggu bentar mau pindah posisi dulu." Terdengar jawaban dari seberang telepon."Lagi ngapain sih? Kayak cewek aja, kameranya gak bisa diem." Virly menatap kesal layar handphone nya."Apa sayang? Cewek? Cewek siapa? Di sini gak ada cewek." Suara Reno kembali terdengar, tapi tidak dengan mukanya."Reno anak setan. Kalau nggak jelas aku matiin aja ya?" Virly ngedumel kesal mendengar ucapan Reno."Ehhh, jangan dulu dong! Ini udah selesai." Reno tersenyum menampilkan mukanya di layar HP."Lagi di mana? Kok banyak suara?". tanya Virly penasaran."Lagi di luar sama teman, sayang!" jawab Reno."Ihh, geli banget dan di panggil sayang. Panggil nama aja bisa nggak?" Virly geli sendiri mendengar ucapan Reno yang memanggilnya sayang sedari tadi."Biar terbiasa sayang, lagian kita kan pacaran." jawab Reno santai."Baru juga sehari." Virly memutar matany







