"Ah! Damar, ternyata kamu nakal juga ya! Safira pasti nggak tahu kalau kelakuan kamu ternyata begini!"
Deg. Tubuhku meremang seketika. Aku mendengar suara rintihan perempuan juga laki-laki bersahutan. Bukankah kamar ini harusnya kosong? Aku mengendap lebih dekat. "Safira gak bisa buat aku seneng kayak kamu. Dia kuno dan bosenin. Beda sama kamu, Sayang!" Suara Damar! Di kamar! Kenapa dia ada di rumah ini? Dengan siapa? Jangan-jangan... Tanganku mengepal. Aku baru saja pulang pagi ini karena rapat sekolah yang harusnya selesai siang ternyata lebih cepat dari biasanya. Sekaligus berpamitan karena cuti sudah mulai turun jelang satu minggu pernikahan. Rumah biasanya memang sepi di jam-jam kerja seperti ini. Bapak masih di kelurahan. Sementara ibu ada urusan ke desa sebelah untuk menghadiri hajatan. Akhir-akhir ini memang banyak warga yang menggelar hajat. Namun saat aku akan masuk ke kamar, aku malah mendengar suara desahan yang tak biasa di kamar sebelah. Jadi ini sebabnya, Damar sering menghindar dan sering menjauh dengan alasan sibuk. Bahkan fitting baju untuk pernikahan saja, terpaksa harus tertunda hingga hari ini. Tanpa pikir panjang, kakiku menendang pintu yang tak terlalu rapat. Seketika mataku membelalak saat Damar ada di atas tubuh seseorang. Keduanya tanpa pakaian. Dasar hidung belang. Seminggu lagi akan menikah denganku, tapi dia malah tidur sama perempuan lain? Di rumahku lagi! "Safira?" "Meta?" Tubuhku seketika lemas. Dengan sadar, aku menekan tombol darurat ponsel yang masih ada di saku seragam. Tombol darurat yang menghubungkanku dengan Bapak. Selama ini aku berpikir, fitur itu tak ada manfaatnya. Ternyata, sekarang aku bisa menggunakannya. Meta yang kini ada di bawah tubuh Damar justru menatapku tanpa bersalah, sedangkan Damar tersentak, segera beranjak bangkit dan menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. "Safira, ini gak seperti yang kamu pikir. Aku dan Meta cuma...!" Damar mendekatiku dan berusaha meraih tanganku. "Cuma apa? Cuma latihan? Praktek? Atau apa?" Aku menatapnya dengan tatapan sinis dan mundur untuk menghindarinya. Sementara Meta hanya tersenyum miring dan bergulung dengan spreinya. Tangannya menahan kepala dengan tubuh miring. "Sudahlah Safira. Cukup. Jangan cari pekara. Anggap saja kau tak melihat semua ini. Aku akan tetap menikahimu, tak ada yang berubah. Kamu mau pernikahan kita batal?!" bentak Damar dengan gelagat paniknya. Damar mendorongku saat aku mencoba untuk mendekati Meta, ingin rasanya menjambak rambut dan mencakar wajahnya. Mendapat pembelaan Damar, senyum miring Meta semakin lebar. "Apa? Aku cari perkara? Kamu pikir aku buta?" Aku menatap Damar tak percaya. Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, Damar justru mengancamku. "Ya! Pernikahan kita batal kalau kau tak mau diam dan tetap mempermasalahkan ini! Tapi jika kau diam dan menerima, aku akan tetap menikahimu, dan Meta..." Aku melihat ujung mata Damar yang melirik Meta. "Aku akan putuskan Meta!" Aku mendengus mendengar jawaban Damar. Berani sekali dia mengancamku dan berpikir aku masih mau melanjutkan pernikahan ini, setelah apa yang mereka perbuat? "Apa maksudnya kamu akan putuskan Meta? Jadi selama ini kalian pacaran? Kalian memang sudah biasa melakukannya?" Aku sinis menatap mereka bergantian. Meskipun sebenarnya, hatiku sakit melihat pengkhianatan dari orang yang kupercayai. Apakah selama ini Damar memang cuma mempermainkanku? "Ayolah, Safira. Jangan keras kepala! Terima saja semuanya dan kita akan jalani seperti biasa!" Damar mengacak rambutnya. Aku menatapnya dengan tatapan terluka. “Aku sudah panggil Bapak.” Kulihat mata Damar yang membulat dengan panik. Meta di kasur juga mulai blingsatan mencari pakaiannya. Terdengar suara mobil berhenti di depan. Tepat dengan apa yang kuduga. Bapak segera meluncur pulang dengan sopirnya setelah mendapat telepon daruratku. Langkah-langkah kaki mulai mendekat. Damar dan Meta semakin pucat. "Ada apa, Safira...?" Bapak menghentikan kalimatnya saat melihat Meta dan Damar yang tergesa-gesa merapikan pakaiannya. "Damar, Meta? Apa yang kalian lakukan?" Bapak nanar melihat kami bergantian. Fatih, sopir Bapak, segera ikut masuk menyusul Bapak yang telah masuk lebih dulu. "Bapak lihat? Apa yang sudah mereka lakukan? Aku gak mau melanjutkan pernikahanku dengan Damar. Aku gak mau laki-laki bekas orang!" seruku, emosiku seketika pecah di hadapan Bapak. Bapak mengurut dada. "Kau bisa jelaskan, Damar?" Suara bariton Bapak menggelegar. Kemarahan yang tertahan justru membuat Bapak semakin menakutkan. Meta kini hanya bisa menunduk. Wajah jumawanya tak lagi terlihat seperti tadi. "Maaf, Pak. Saya khilaf. Saya cuma main-main dengan Meta. Saya gak ada maksud untuk menyakiti Safira. Saya...!" Damar menghentikan kata-katanya untuk melihat respon bapak. "Ini... Ini karena Safira selalu menolak saya, Pak. Lalu... Lalu meta mencoba menggoda saya!" "Lalu, kamu melakukannya? Di rumah ini? Dengan sepupunya?" Bapak mendekati Damar perlahan. Tangan Bapak terlihat mengepal. Sebagai kepala desa, bapak memang bukan orang yang mudah terpancing untuk marah. Tapi tentu saja, Bapak tidak akan tinggal diam saat anak perempuan satu-satunya disakiti. PLAK! Semua tersentak dan menatap Bapak dengan takut. "Bagaimana jika aku katakan hal ini pada orang tuamu?" "Jangan, Pak. Jangan! Saya... !" Damar tak lagi bisa berkata-kata. "Batalkan pernikahanmu dengan Safira!" tegas bapak. Akhirnya. "Tapi, Pak. Bagaimana dengan Safira? Apa Bapak tidak kasihan dengan Safira?" Suara panik Damar membuat Bapak memicingkan mata. “Safira pasti akan jadi bahan pergunjingan di desa karena batal menikah! Apa Bapak gak kasihan? Tolong, Pak! Biarkan kami menikah... Saya...!" Aku menggamit lengan bapak dengan mata berkaca-kaca. "Pak, tadi dia ancam aku. Katanya aku gak usah masalahin yang dia lakukan sama Meta. Kalau gak, dia gak mau nikahin aku, biar Bapak malu, katanya!" Mereka pikir cuma mereka yang bisa sandiwara? Aku juga bisa kan? Damar dan Meta melirik ke arahku dengan tatapan berang. Suara tegas Bapak terdengar lagi. "Selamanya aku tak akan mengijinkan kamu menikahi Safira! Aku akan menikahkannya dengan laki-laki lain, Damar!" Aku melongo, tidak menyangka ucapan bapak. "Bapak mau nikahin aku sama siapa?" Ulangku. Bapak menoleh ke belakang, ke arah sopirnya yang berdiri di belakang kami. "Dengan Fatih!" "Apa, Pak!" Seketika tubuhku luruh.Setelah hampir satu jam menemaniku, Elena akhirnya pamit. Ia mencium kedua pipiku dan berjanji akan datang lagi besok. Aku mengangguk, mengantarnya dengan senyum tipis. Tapi setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyergap. Aku menatap langit-langit kamar. Sinar matahari mulai redup. Rasanya... damai sekaligus hampa. Tiba-tiba, ponselku yang diletakkan di nakas bergetar. Nada deringnya menyayat sunyi. Aku menoleh, dan nama itu terpampang jelas di layar.Nomof Fatih. Jantungku berdegup. Tanganku ragu saat meraihnya, tapi akhirnya kutekan tombol hijau. "Halo?" suaraku lirih. "Safira!" Suara Fatih terdengar panik. Nafasnya terdengar berat. "Kamu... kamu gak apa-apa, kan? Aku baru tahu dari Bram... kenapa kamu gak kabari aku, Safira?" Aku diam sejenak, menatap luar jendela untuk mengusir lara. Suaranya... hangat sekaligus asing bagiku kini. "Aku baik-baik saja," jawabku datar. "Bram sudah menjagaku. Dokter juga bilang bayinya selamat. Jadi... kamu gak perlu khawatir." "Safira.
Hari kedua dirawat. Aku masih harus bed rest total sesuai saran dokter. Bapak dan Ibu pamit sejak pagi karena ada rapat penting di kelurahan yang tak bisa ditinggalkan. Mereka merasa tenang karena ada Bram yang menjaga dan mengawasi kebutuhanku. Aku sendiri tak masalah karena perutku tak lagi terasa sakit. Dan Bram yang setia menunggu sejak semalam kuminta untuk pulang dan istirahat. “Mbak, saya pulang. Kalau Mbak Safira butuh apa-apa segera telepon saya, ya?" katanya sambil menyisakan segelas air putih dan roti di nakas. Aku mengangguk. "Mbak Safira, beneran gak papa saya tinggal pulang?" Bram kembali menatapku, ragu. Aku mengangguk lemah, "Beneran, Mas Bram. Mas Bram pulang saja. Mas Bram capek nungguin saya dari semalam loh!" Bram manggut-manggut. "Mbak Safira sudah menghubungi Mas Fatih?" Tanya Bram kembali. Aku menggeleng. "Kemaren aku udah menghubungi Fatih berkali-kali. Gak ada tanggapan! Gak papa, Mas Bram. Aku udah baikan kok. Gak usah kabarin Fatih. Biar dia sel
Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Fatih tidak bisa dihubungi. Bram pun terkesan menyembunyikan sesuatu. Aku merasa sendirian di tengah badai informasi yang tiba-tiba menerpaku. Sesaat kemudian, perutku terasa kram. Berita pertunangan Fatih dan Nancy, ditambah kebungkaman Bram, memicu sakit hingga ke perut. Ternyata tak hanya hatiku yang sakit, perutku juga ikut terasa sakit. Aku merosot ke lantai, memegangi perutku yang terasa begitu nyeri. Napasku tersengal, pandanganku mengabur. Apa ini? Kenapa rasanya begini sakit? Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir di antara kakiku. Aku mulai panik. Tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah aku hamil?Kenapa aku tak merasakan kehamilanku? Dengan tangan gemetar, kuraba area itu. Cairan kental, bercampur kehangatan, membuatku merasakan firasat buruk. Aku menunduk, dan pandanganku jatuh pada noda merah pekat yang luruh di kaki. Darah! "MAS BRAMMM!" Teriakanku pecah, membelah keheningan rumah. Suarak
Aku terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meski bayangan Damar semalam masih menari-nari di benakku. Setidaknya, semua sudah jelas. Aku sudah memilih, dan pilihanku adalah Fatih. Keyakinan itu mengalir hangat, menenangkan sisa bara emosi yang sempat membakar dadaku. Pagi seperti biasa. Aku bersiap dengan rutinitasku untuk mengajar. Sesekali melirik infotainment yang selalu ibu putar untuk menemaninya beraktifitas pagi. Suguhan yang menayangkan berita para selebritis dan sosialita tanah air. Hingga berita itu muncul. Saat pembawa acara dengan intonasi ceria mengumumkan, “Pemirsa, kabar mengejutkan datang dari dunia sosialita! Salah satu pewaris Keluarga Maulana. pemilik Fath Company yang merajai bisnis property dan beberapa tambang ini, kemaren sore resmi bertunangan dengan Nancy Gumelar. Acara meriah ini tentu memakan biaya yang tak sedikit. ...!" Aku tak bisa lagi mendengarnya. Telingaku tak bisa lagi merespon. Jantungku berdebar tak karuan. Maulana? Fath Company? La
Pintu kamar kututup perlahan. Tubuhku lemas, bukan karena lelah secara fisik, tapi karena jiwaku nyaris habis terbakar oleh emosi yang kutahan sepanjang malam. Kukunci pintu, lalu bersandar pada dinding. Aku mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya masih ada bara yang menyala di dada. Damar benar-benar sudah melewati batas. Suara dari ruang tengah masih terdengar samar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjauh. Aku ingin malam ini berakhir. Aku hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Namun, baru saja aku hendak duduk di atas tempat tidur, suara berat dan keras terdengar menggema dari luar kamar.Brak! Aku terkesiap. "Kalian kira semudah itu? Kalian pikir apa kesalahan Damar samoai Safira harus kunikahkan dengan sopir!" Aku melangkah pelan ke arah pintu. Tidak membukanya, tapi menempelkan telinga. Nafasku tertahan. "Tapi Pak Atmojo, Damar tidak bisa melupakan Safira. Dia sangat merasa bersalah. Itu ssbabnya dia dia datang maalm ini dan kami terpaksa ikut untuk menga
Selepas isya, seperti biasa, kami berkumpul di ruang tengah. Suasana malam yang seharusnya hangat tiba-tiba jadi hening kala Damar dan Meta kembali datang tanpa pemberitahuan. Bapak dan ibu saling pandang sementara aku memutar mata malas. Entah kenapa dengannya, seharian ini, senang betul cari pekara. "Maaf, Lak Bu saya datang lagi!" Damar duduk seolah tak pernah terjadi apapun. Bapak yang justru tampak canggung, Ibu berusaha tersenyum meski sorot matanya jelas tak menyukai suasana ini. Aku duduk di seberang mereka, masih memegang toples kue yang kubawa sejak tadi. Akhir-akhir ini, nafsu makanku memang meningkat dan aku tak bisa menahannya. Perutku gampang lapar, tapi selera makanku menguap saat dua manusia ini muncul lagi. Meta duduk di sebelah Damar, tangannya bersedekap, wajahnya cemberut sejak awal. Seolah menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sedangkan Damar… ah, pria itu justru terus-menerus menatapku, seakan hanya aku satu-satunya yang ada di ruangan ini. "Safi