"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak.
Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku." Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya. "Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar. "Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!" Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam. "Nikmati malam pertamamu." Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulitnya berkeringat dingin. Ia semakin merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Tubuh Binar diseret melewati ruangan penuh pengunjung yang hanya menatap tanpa peduli—kecuali satu orang. "Berhenti." Mendengar langkah kaki yang mendekat, sontak Binar mengangkat kepalanya. Ia berusaha menatap wajah pria dengan nama familiar baginya, tapi tertutupi oleh air mata dan keringat yang membasahi wajahnya. "Lepaskan dia," perintahnya tak menerima bantahan. Kedua pria itu saling memandang dengan raut cemas dan ketakutan yang nyata. "Tapi ... Tuan Dante ...." Salah satu pria berusaha berargumen meski suaranya bergetar. Tatapan Dante cukup membuat mereka patuh. Tubuh Binar nyaris jatuh jika pria itu tak menangkapnya. "To-tolong ...." bibir Binar nampak bergetar, genggamannya melemah di jas hitam Dante yang mulai kusut. Pandangan Dante menggelap, menyadari gadis ini telah diberi obat perangsang. Tanpa mengatakan apapun dia menggendong Binar dengan mudah, segera melangkah pergi. "Tenang, kau aman bersamaku ... Binar." Dante berjalan dengan rahang mengeras, mengabaikan banyak pasang mata yang melihatnya penasaran. "Urus mereka," perintahnya pada empat pria berseragam yang mengikutinya. Namun, sebelum benar-benar pergi. Suara keras melengking datang dari arah belakang. "TUAN DANTE! TUNGGU SEBENTAR!" Madam Siska berlari dengan keringat yang mengucur deras. Ia berniat menghampiri Dante, tapi pria itu bahkan tak menghentikan langkah panjangnya sembari mendekap Binar lebih erat. Semua orang memilih menepi meski merasa penasaran, tak ingin terlibat dalam masalah yang akan ditimbulkan Madam Siska. Dia sudah bosan hidup, begitulah isi pikiran semua orang ketika melihat keberanian Madam Siska. "Tuan Dante. Maafkan aku, tapi anda tidak bisa membawanya," seru Madam Siska terburu-buru, mengabaikan beberapa pria berjas hitam yang berdiri tegak mengawasi gerak-geriknya. "Kata siapa?" Madam Siska merasakan tubuhnya tiba-tiba menggigil ketika pria itu menatapnya tajam. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia hanyalah pedagang yang menginginkan keuntungan dari bisnisnya. "Maaf, tapi saya sudah membayarnya mahal dari seseorang. Saya tahu anda berkuasa, tapi bisnis adalah bisnis. Jika anda menginginkannya, anda harus-" DOR Tubuh Madam Siska menghantam tanah dengan peluru yang bersarang di dahinya, memutus perkataannya yang belum selesai. "Berisik." Dante mengernyit jijik, tak mengacuhkannya dan memasuki mobil. Mengabaikan satu nyawa yang baru saja ia renggut. "Ke hotel A," Suara Dante mendingin, membekukan udara dalam mobil. "Baik, Tuan." Secepat angin, mobil itu membelah keheningan malam yang terasa lebih dingin dari malam biasanya. --- Binar menahan tubuh Dante yang akan menjauh setelah membaringkannya di ranjang. Ia butuh sentuhannya. Sentuhan yang bisa meredakan rasa frustasi di tubuhnya. "Tolong ... aku ...," bisik Binar patah-patah. Nafasnya memburu dengan wajah memerah sepenuhnya. Dante tetap tenang, meski sedikit goyah. "Kau mungkin akan menyesalinya jika aku membantumu," ucapnya berat, memperhatikan Binar yang terus bergerak menempel padanya. Binar membuka sedikit matanya, menangkap sosok pria tampan meski terlihat buram. Ia butuh sesuatu yang bisa menenangkan rasa frustasinya. Dengan naluriah, ia menarik kerah pria itu dan mencium bibirnya dengan rakus. "Aku ingin lebih." Sesuatu dalam dirinya sedang mengendalikan tubuhnya. Rasanya menjengkelkan, tapi ia tak mampu menguasai dirinya. Ciumannya terkesan amatir, dengan gerakan terburu-buru. Dante memejamkan matanya, menikmati ciuman Binar yang kini turun ke lehernya. Perlahan, nafasnya menjadi berat dan ia menelan ludah sesekali kala Binar menggigitnya dengan liar. Namun, Dante dengan cepat menarik diri, menatap Binar yang kini bahkan menangis. "Apa yang harus kulakukan padamu?" tanyanya dengan nada berat, menahan hasratnya yang membumbung tinggi. Binar mencoba menjangkau tubuh Dante, sesuatu yang bisa menolongnya. "Aku mohon ...," rengeknya. Tiba-tiba, Dante mencium bibir Binar dengan gerakan lebih liar. Lidahnya menjelajah, membelit dan menghisap membuat Binar kuwalahan. Satu tangannya mulai menelusuri kulit Binar yang terekspos, membuat gadis itu meleguh tanpa sadar. Binar mengambil oksigen dengan rakus kala Dante melepaskan ciumannya. “Maaf,” gumam Dante pelan, lalu dengan hati-hati menekan arteri karotis dengan presisi tepat di bawah rahangnya. Hanya butuh beberapa detik. Binar mengerjap saat rasa pusing tiba-tiba menyerangnya. Telinganya berdenging saat mencoba meraih lengan Dante, tapi kekuatannya melemah dengan cepat. “Apa ... yang ...,” bisiknya hampir tak terdengar sembelum kegelapan menelannya sepenuhnya. Dante memperhatikan nafas Binar yang mulai stabil dan mengatur tubuhnya supaya ia bisa berbaring dengan nyaman. Matanya yang tajam memindai beberapa luka memar ditubuhnya dengan pandangan gelap. Dia bangkit menuju dapur dan kembali setelah dengan membawa kompres dan salep di tangannya. "Maafkan aku," gumamnya dengan rasa bersalah di wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi. Begitu Dante menyingkap lengan bajunya, ia terdiam beberapa saat. Tangannya mengelus bekas luka bakar yang sedikit memudar dan mengecupnya penuh perasaan. "Aku kembali." Dante menetap lembut wajah Binar yang kini tertidur lelap. Setidaknya, ini lebih baik daripada harus membiarkannya tersiksa oleh efek afrodisiak yang mengendalikan tubuhnya. Dia beranjak untuk tidur di samping Binar dan menariknya dalam pelukan. Rasanya seperti dulu, saat ia selalu menidurkan adik kecilnya yang selalu ketakutan karena mimpi buruknya yang berulang. --- Suara detak jarum jam yang terdengar samar, bersaing dengan degup jantung Binar ketika mendapati dirinya terbangun di sebuah kamar mewah asing. Ketakutan dan kebingungan merayapi hatinya kala mencium aroma parfum maskulin yang tersisa di ranjang. Binar panik dan segera terduduk meski kepalanya masih berdenyut. "Di mana aku?" gumamnya kebingungan. Binar mengingat sesuatu. Madam Siska, dua pria besar yang menyeretnya dan ... Seorang pria. Binar ingat kalau dia jatuh di pelukan seorang pria sebelum jatuh tak sadarkan diri. Apa pria itu telah menyelamatkannya atau- Sebelum Binar bisa mencerna semuanya, pintu kamar terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tenang. Lengan kemeja hitamnya digulung sampai siku memperlihatkan lengan yang berurat. Wajahnya tampan, apalagi matanya yang tajam menatap Binar dengan intens bak tengah mengamati buruannya. "Kau sudah bangun," ucapnya dengan suara rendah dan santai, tapi Binar tak bisa mengabaikan nada tegas dibaliknya. Binar mundur selangkah, menatap pria asing itu dengan tatapan antisipasi. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. Alih-alih menjawab, pria itu malah menyeringai. Langkahnya mendekati Binar hingga berhenti tepat satu langkah darinya. “Sudah lama sekali ... Binar,” katanya pelan. Binar mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Pria itu tertawa pelan, seolah sudah menduga reaksi yang akan ia terima. “Kau tidak ingat aku?” Binar menelan ludahnya gugup. Ia menatap mata pria itu dalam, tapi belum berhasil menggali ingatannya. Namun, entah mengapa ia merasa familiar dengannya. Dengan tenang, pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bulan sabit. Binar membelalakkan mata. Itu miliknya. Lebih tepatnya, kalung itu telah ia berikan kepada seseorang lima belas tahun yang lalu. Mungkinkah? “Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya. Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.” Binat tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya.Ruang rawat Dante terasa sunyi meski diisi oleh tiga orang. Namun semua sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.Tubuh Dante masih belum pulih sepenuhnya, bersandar di ranjang tanpa mengenakan atasan, memperlihatkan luka-lukanya yang dibalut perban.Di tangan kiri Dante, ada sebuah belati kecil kesayangannya, mengkilap ketika terkena cahaya lampu.Binar melirik Matthias dan Dante beberapa kali sembari fokus mengoleskan salep di beberapa luka gores di tangan Dante.Kecanggungan merayapi ketiganya. Dan Binar memilih diam, memperlambat gerakannya.“Bicara, Matthias,” ucap Dante dingin. Namun mengandung tekanan. “Aku tahu kau datang bukan hanya untuk menatap istriku.”Matthias menatap Dante tenang meskipun mendengar nada sarkastis. Mata hitamnya berkilat. “Kau tetap setajam biasa.”“Dan kau tetap terlalu diam untuk orang yang menyimpan terlalu banyak,” sahut Dante menyipitkan mata.Binar menunduk, pura-pura sibuk dengan luka Dante, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia bisa merasakan
Binar menggenggam tangan Dante dengan erat. Ia memilih duduk dan menyandarkan kepalanya di ranjang, menolak saran Matthias yang menyuruhnya istirahat. "Kau tau, Dante. Awalnya ... aku membencimu." Binar menarik napas panjang seakan memikul beban berat di dadanya. "Kau bertindak sesukamu ... mengurungku ... menganggap aku sebagai barang yang harus kau miliki, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku."Tangan Binar memainkan jemari Dante dengan hati-hati. "Tapi kau juga dengan kejam menjeratku. Sampai aku sangat bergantung padamu sekarang."Binar mengatakan semua itu dengan ekspresi kosong di matanya. Ia tak tau bagaimana hatinya. Ia benci, tapi ... ia juga peduli.'Apa yang membuatku jatuh cinta padamu?'Pertanyaan itu masih mengambang tanpa jawaban di hati Binar."Maaf."Binar tertegun mendengar suara lirih itu. Begitu mendongak, matanya bertubrukan dengan mata Dante yang nampak sayu."Kau sadar."Binar sudah berdiri hendak memanggil tenaga medis, tapi Dante menggenggam tangannya erat,
Darah terus menetes dari tubuh Dante saat Binar membopongnya masuk bersama Matthias dan dua pengawal lain. Binar menolak melepaskan Dante, mengabaikan seluruh ucapan Matthias. Napas Dante terdengar berat dan pendek-pendek, semakin membuat tubuh Binar bergetar. Ia melihat luka menganga di bahu dan dada kanan pria itu terlihat mengerikan. "Tenanglah, Binar! Dante akan baik-baik saja," ucap Matthias berusaha menenangkan Binar yang nampak kesetanan. “RUANG MEDIS!! SEKARANG!!” teriak Binar panik. Telinganya seolah tuli akan segalanya. Yang ia pikirkan hanya satu ... keselamatan Dante. Baju Binar telah basah oleh darah, mengejar tubuh Dante di atas brankar yang hendak dibawa ke ruang emergency yang terletak di basement Mansion. Saat pengawal membuka pintu ruang medis, Binar ikut berlari masuk, menekan luka Dante dengan tangannya sendiri.“Jangan mati ... kumohon ... kumohon ....” Binar gemetar melihat wajah pucat Dante yang tak sadarkan diri. Penglihatan Binar mengabur dan tubuh Dant
Suara hantaman pedang bak melodi bercampur dengan deru angin sore di halaman belakang yang selama beberapa waktu terakhir telah menjadi tempat latihan Binar.Kini, Binar mulai mahir menggunakan senjata berkat ketekunan dan kegigihannya. Dengan keringat yang membanjiri pelipisnya, binar bergerak gesit menghindar dan menyerang Sera yang menjadi mentornya."Aku harus menjadi kuat."Kata-kata itu terus Binar rapalkan sepanjang waktu sebagai pemecut semangatnya.Dari kejauhan, Binar bisa merasakan tatapan menusuk yang mengintainya sejak tadi. Namun, ia berusaha fokus denan latihannya dan berusaha untuk tak menoleh ke belakang.Dante duduk di serambi, menatap BInar dengan dingin. Menunggu dengan sabar walau Binar terus saja mengabaikan keberadaanya.Hingga beberapa waktu berlalu, Binar akhirnya mendekat sambil mengusap peluhnya.“Kau selalu terlihat paling hidup saat mengincar sesuatu," ejek Dante mengandung kekesalan.Binar hanya menoleh sebentar, mengeluarkan senyum polosnya. “Kau ingin b
Matahari bahan belum menampakkan diri, tapi Binar telah berdiri dengan nafas terengah di halaman belakang mengenakan setelan sederhana dan rambut yang diikat ekor kuda.Tak ada lagi sorot mata ketakutan, yang ada hanyalah mata tajam dan serius memperhatikan instruksi dari asistennya-Sera."Fokus! Jangan hanya mengandalkan insting. Kau juga harus menyerang menggunakan logika."Sera berdiri di sampingnya memberi arahan, sesekali memperbaiki postur tubuh Binar yang salah.Binar mengangguk, menghela nafas panjang sebelum kembali bergerak sesuai ajaran Sera.Meski beberapa kali terjatuh dan tergores, ia pantang menyerah. Hidup di dunia Dante, ia harus bisa melindungi dirinya sendiri.Binar samar-samar teringat Ayahnya yang mengajarinya gerakan sederhana.Seketika semangatnya semakin berkobar."Aku harus bisa melindungi diriku sendiri," tekad Binar dalam hati.Dari balkon lantai dua, Dante berdiiri menyilangkan tangan. Mata tajamnya mengikuti setiap gerakan Binar dalam diam.Memang ia menye
Binar terbangun di tengah malam dan menyadari gelasnya kosong, mau tak mau ia harus turun ke dapur untuk mengambil air. Malam itu, mansion rasanya terlalu hening. Biasanya, para pengawal bersliweran di koridor, tapi Binar tak menjumpai satupun dari mereka.Meski merasa janggal, Binar tetap meneruskan langkahnya ke arah dapur, kali ini lebih waspada.Tangannya mencengkeram gelas kosong, melangkah hati-hati saat menuruni anak tangga. Bisa saja Binar kembali ke kamar, tapi tenggorokannya benar-benar kering."Di mana mereka semua?" batinnya bertanya-tanya.Bahkan Sera yang biasa berjaga di luar kamar pun tak nampak batang hidungnya. Namun, Binar berusaha menenangkan diri. Mungkin saja sistem keamanan sedang diuji?Lampu otomatis menyala ketika Binar menginjakkan kakinya di dapur. Ia mengisi gelas dan minum dengan tenang. Begitu melihat pisau buah di meja, ia meraihnya perlahan. Entah mengapa, nalurinya berbisik untuk bersiap.Dan benar saja.Terdengar langkah kaki yan mendekat perlahan d
Pagi ini, Binar mengenakan kemeja longgar dan celana hitam panjang duduk tegak di ruang kerja Dante. Dokumen berserak penuh diatas meja, layar monitor yang menyala, dan beberapa foto berkas hadir di depannya. Di hadapannya, Sera berdiri tegap bak mentor menunjuk pada layar yang menampilkan struktur organisasi Daggers Pact.“Daggers Pact adalah organisasi bawah tanah paling ditakuti di benua barat yang bersekutu secara terbuka dengan pemerintah Orsaria. Mereka bukan sekadar mafia, tapi bagian dari sistem pemerintahan bayangan,” jelas Sera sambil menggeser layar ke bagian sejarah.“Dibentuk oleh kakek buyut Tuan Dante, Viero De Vaux. Filosofi mereka sederhana ... yang berguna akan dilindungi, yang mengkhianat akan dilenyapkan.”Binar menahan napas saat nama itu muncul. Viero. Nama yang kini dijadikan marga Keluarga Dante sejak turun temurun ternyata adalah nama pendiri Daggers pact. Lalu, ada Leonard De Viero, nama yang juga tercatat dalam catatan lama yang diam-diam ia baca semalam
Pagi harinya, Dante memanggil Binar untuk ke ruang kerjanya dan mendapati seorang wanita tinggi tegap berambut pendek sebahu berdiri layaknya prajurit di depan meja kerja Dante. Binar tak menanyakan apapun, ia hanya berjalan tenang menghampiri Dante. "Ada apa?" ia tak bisa mengendalikan rasa penasarannya. Dante menarik lembut tangan Binar untuk mengelusnya. "Dia adalah Sera. Agen wanita terbaik yang kumiliki. Sekarang dia akan menjadi asisten pribadimu."Raut terkejut tercetak jelas di wajah Binar. Kenapa Dante tiba-tiba memberikan seseorang di sampingnya? "Pengawal?"Dante tersenyum tipis. "Semacam itu. Dia akan membimbingmu untuk mempelajari duniaku perlahan-lahan."Binar semakin syok saat Dante dengan mudah memberinya akses masuk setelah lama dikurung tanpa bisa melihat atau mendengar dunia luar. "Kau serius?" tanya Binar memastikan. "Tentu saja. Surat ancaman semalam menjelaskan kalau penghianat keparat itu mengincarmu. Aku tak boleh lengah dan membiarkanmu terluka lagi," jel
Binar berdiri diam di ambang pintu kaca, memandangi taman kecil di halaman belakang DAnte yang luas-hasil karyanya sendiri. Lama, Binar tampak merenungkan sesuatu. Ia merapatkan sweaternya saat angin dingin mulai terasa di kulitnya. Dante menutup laptopnya, mendapati Binar hanyut dalam lamunan. Pria mempesona itu bangkit, menggulung kemeja hitamnya hingga siku, memperlihatkan urat-urat menonjol di lengannya yang terkena cahaya lampu. “Sudah malam,” kata Dante akhirnya. Binar menoleh pelan, “Aku suka melihatnya.” Dante sedikit mendengus. Ia bangkit dan mendekati Binar, meligkarkan tangan besarnya di pinggang Binar yang mungil. Menyalurkan hangat tubuhnya pada wanita keras kepala yang sayangnya ia cintai. "Jangan di luar terlalu lama," ucap Dante tepat di lekuk leher Binar dengan suara rendah. “Kau mudah masuk angin.” “Dante ...,” bisik Binar, jari-jarinya menyentuh lengan suaminya. “Kau ... tak marah lagi?” tanyanya ragu. Dante membuang pandangannya sebentar, “Tidak lagi.” Tan