“Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya.
Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.” Binar tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya. Binar membisu untuk sesaat. Benarkah dia adalah Dante yang ia kenal? Dilihat dari wajahnya memang mirip dengan yang ada di ingatannya, tapi mata itu ... aura dingin yang bertolak belakang dengan kepribadian Dante-nya yang hangat sedikit membingungkan untuknya. Tubuh Binar menegang kala Dante makin mendekat, mengungkungnya di kepala ranjang. Ia terkesiap kala tangan besar itu mengelus rambutnya lembut. “Sebenarnya aku ingin membawamu sejak dulu,” ungkapnya pelan. “Tapi aku terlalu lambat. Dan orang-orang itu ...,” Tatapannya menjadi gelap penuh kebencian. “ ... membuangmu ke neraka.” Tangan Binar mengepal begitu mendengar pengakuan Dante. Jadi, apa sebenarnya Dante mengetahui semua tentangnya? Tentang hidupnya yang sengsara dan berakhir di tangan mucikari sialan itu? Dante menatapnya dengan intens. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.” Binar menelan ludah. “Apa maksudmu?” Dante menyeringai, mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari sakunya dan membukanya di hadapan Binar. Tubuh Binar hampir goyah ketika disuguhkan sebuah cincin berlian yang nampak berkilau saat terkena cahaya matahari pagi. Jantung Binar seketika berhenti berdetak. “Menikahlah denganku.” Suaranya yang dalam terdengar tenang, seakan dia telah merencanakan semua ini. Hanya Binar yang menatap kosong ke depan. Ini gila. Mereka baru bertemu kembali setelah lima belas tahun, dan sekarang Dante melamarnya? Binar ingin membuka mulut untuk menolaknya, tapi suara tegas Dante yang penuh ancaman membuatnya bergetar. “Kau tahu, Binar.” Dante menyentuh Binar lembut, memaksanya untuk melihat keseriusan di matanya. “Ini bukanlah permintaan.” Binar semakin terperangah mendengarnya. Ini bukan lamaran biasa. Ini adalah klaim sepihak darinya. Binar mencengkeram ujung bajunya erat. Jemarinya bergetar saat ia menatap Dante. Lamaran ini terlalu mendadak untuknya. Meski dia adalah Dante, tapi ia tetap merasa asing dengannya. Dia ... sangat berbeda. "Kak Dante, kita bahkan tidak saling mengenal lagi," tutur Binar lemah. "Kau tidak bisa memaksaku untuk menikah denganmu!" Mata tajam Dante menelisik wajah Binar penuh perhitungan. "Ini bukan paksaan, tapi pilihan." "Pilihan?" Binar tertawa sinis. "Sejak kapan pilihan tak membiarkanku menjawab tidak?" geramnya. Dante makin memupus jarak keduanya hingga hidung mereka saling menempel. "Kau sendirian," bisik Dante, menatap lekat mata Binar yang berpendar ketakutan. "Kau tidak punya rumah, keluarga, ataupun teman. Hanya aku. Hanya aku yang bisa melindungimu dari bahaya di luar sana." Binar tertohok mendengar fakta yang baru saja Dante ungkapkan. Ia sendirian. Orang tua yang ia sayangi telah dengan tega menjualnya. Tak ada lagi tempat untuknya. "Kenapa sekarang?" gumam Binar dengan suara bergetar. Mata Dante sulit ditebak. Ia mengelus bibir Binar dengan gerakan seduktif. "Karena aku tak akan membiarkanmu jatuh ke tangan orang lain. Kau adalah milikku sejak awal." Binar mengertakkan giginya, mendorong dada Dante menjauh. "Aku bukan barang!" Dante tak mengacuhkannya. Ia menarik tangan Binar, memaksanya untuk memakai cincin itu di jemarinya. "Kau tau ... ini adalah pertama kalinya aku begitu menginginkan sesuatu." Dante menatap Binar tepat di matanya. "Dan kau akan terus berada disisiku, suka atau tidak." Binar menelan ludah. Ia tahu kalau ia tak punya pilihan sejak berurusan dengan Dante. --- Binar pasti telah gila saat ini. Ia berdiri di altar bersama Dante, dikelilingi wajah-wajah yang tampak menakutkan. Seolah mereka berasal dari kegelapan. Kepala Binar terasa pening mencerna semua hal yang tiba-tiba terjadi. Walaupun ia menjadi tokoh utama di ruangan yang telah dihias dengan megah ini, ia tetap merasa asing dan ... aneh. Dante tak berhenti menatapnya tajam sepanjang acara berlangsung. Harus Binar akui, kalau Dante memang mempesona dengan tubuh tegap yang menunjang wajah tampannya. Hanya saja ... aura gelap yang menyelimutinya membuat Binar bergidik. Andai, dia adalah Dante yang dulu. "Mulai sekarang, kau adalah istriku," klaim Dante dengan rasa puas yang tergambar jelas di wajahnya. Lalu, dengan gerakan cepat, Dante menarik Binar mendekat dan mencium bibirnya. Tubuh Binar menegang kaku kala bibir tebal itu bergerak liar menjelajah isi mulutnya. Ia tak menghindar, tak juga menikmati. Pasrah sepenuhnya pada pria yang kini telah mengikatnya. Ketika akhirnya Dante menyudahi ciuman panjangnya, benang perak tipis masih menghubungkan bibir mereka yang seakan enggan menjauh. Mata kelam Dante menyorot tajam Binar. Menegaskan posisinya sebagai sang pemegang kendali. Binar tidak tahu harus merasa apa. Namun, satu hal yang pasti. Tak akan ada jalan kembali. --- Tubuh Binar terhimpit antara dinding dingin dan tubuh Dante yang membara. Bibirnya terkunci rapat oleh bibir tebal pria itu yang terus bergerak liar menginvasi mulutnya. Gaun pengantin putih yang Binar kenakan telah berkerut akibat gerakan Dante yang terburu-buru. Tangan kecil Binar tak sanggup menahan tenaga yang berkali-kali lipat lebih besar darinya. Dante memberi jeda hanya untuk melihat wajah kemerahan Binar yang tengah meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Sangat. Menggairahkan. Binar terengah, menatap Dante murka. Ia ingin bererak menjauh, tapi rengkuhan pria itu sangat erat. "Lepaskan, Dante!" sungutnya kesal. Binar bahkan enggan memanggilnya kakak lagi. Baginya, Kak Dante yang ia kenal telah lama hilang. "Aku suka panggilanmu. Terdengar intim." Dante menyeringai senang. Bertolak belakang dengan Binar yang makin geram. "Brengsek!" Satu tangan Dante mulai merayap naik, melepas resleting gaun Binar dan mengelus punggung terbuka itu lembut. Membuat Binar meriding. "Kau bisa terus mengataiku, tapi itu tak bisa mengubah fakta kalau sekarang kau adalah milikku." Dante kembali menyerang bibir Binar lebih liar. Tak butuh usaha lebih, gaun itu telah lolos sepenuhnya. Mempermudah Dante menelusuri tubuh yang akan menjadi candunya. Sentuhan Dante yang panas, membakar perlahan tembok yang Binar bangun. Ia kehilangan arah seiring deru napasnya yang memburu. Binar telah kalah. Kedua matanya berkabut, dadanya naik turun seirama dengan geraman halus Dante yang menggema di seluruh kamar pengantin bernuansa merah. Ratusan kelopak mawar berhamburan ke lantai menandai betapa Dante tak menahan diri. Setiap sentuhan, bisikan, dan gerakan Dante yang berirama membawa Binar ke tempat yang tak pernah ia duga. "Kau milikku," bisik Dante dengan suara serak. Jemari besarnya terus bekerja di bawah sana, kembali membuat Binar mengerang keras untuk kesekian kalinya. Di tengah kamar temaram, dua siluet itu saling bertaut erat. Terbuai dalam harmoni hingga fajar menyingsing.Dante baru saja pulang dari rapat panjang bersama para petinggi Daggers Pact yang baru. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Binar duduk di ujung ranjang mengenakan kemeja hitam miliknya yang kebesaran.Binar buru-buru menutup buku tua yang sedang ia baca ketika Dante masuk tiba-tiba. Meski terlihat sedikit pucat, Binar tetap menampakkan senyum terbaik untuk menutupi rasa paniknya. Namun, Dante hanya acuh tak acuh, melepas jasnya dan menghampiri Binar. "Kau menungguku?" tanyanya dengan suara rendah. Binar tersenyum kecil, meremas ujung kemeja yang ia pakai. "Kau lama. Aku hampir saja ketiduran," jawabnya mendayu. Dante mendekat dan mencium pelipis Binar, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Binar sempat kaku sepersekian detik sebelum memeluk balik.Namun, mata Binar terlihat kosong, membuang pandangan ke luar jendela. Dante bersandar di kepala ranjang tanpa melepas pelukan mereka, menyadari gelagat Binar yang nampak tak biasa. "Apa yang kau lakukan seharian? kau tidak pergi ke
Di markas Daggers pact, suasana hening. Dante menyandarkan tubuhnya di meja sambil menatap layar CCTV yang tersebar di seluruh markas. Bisa dilihat, Velda tengah duduk santai di pojok, bahkan tersenyum lebar. "Dia tidak takut. Bahkan setelah kita habisi semua kekuatannya," gumam Dante.Matthias menyilangkan tangan dengan kening berkerut. “Malah sekarang terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.”"Senjata rahasia," desis Dante. "Aku yakin Velda punya kartu truf yang membuatnya sangat percaya diri."Matthias membolak-balikan halaman penyidikan tentang Velda, termasuk sang dalang utama "Alder Voss."Matthias menarik berkas hasil penyelidikannya terhadap Velda diam-diam. Dan sebuah nama tebuah nama samar muncul, hanya sekali disebut."Alder Voss."---Di malam hari yang menggigit, Binar justru berkeringat. Ia membaca tiap lembar jurnal yang disimpan ayahnya. Tulisan tangannya mulai memudar, tapi masih tetap bisa dibaca. “...dilarang menyebut nama kerajaan itu. Bahkan di antara kami ya
Sera meletakkan berkas tipis di hadapan Binar dengan helaan nafas panjang. "Kau tak akan menyukai isinya," kata Sera pelan. Setelah bersantai beberapa hari di villa, Dante dan Binar kembali ke mansion. Dante kembali sibuk di markas hingga jarang pulang dan Binar ... diam-diam menyelidiki sesuatu, tanpa sepengetahuan Dante. Binar menoleh, lalu menarik nafas dalam. Kedua matanya terlihat lelah karena banyak beban pikiran yang menghantuinya akhir-akhir ini. Sejak kejadian dengan Velda, Binar semakin sadar untuk tak lagi ingin menjadi pion. Ia ingin bangkit dan mempunyai andil sendiri untuknya ... dan Dante. "Aku tak menyukai banyak hal akhir-akhir ini, tapi aku tak bisa tutup mata untuk masalah yang benar-benar di depan mataku."Tak lagi ragu, Binar membuka berkas itu. Foto-foto tempat yang asing baginya, gudang, jejak logistik, catatan pengiriman bahan kimia ke sebuah kota kecil di ujung Orsaria dengan atas nama V. L. Itu pasti Velda. "Kau yakin, Velda hanya pion di sini?" Sera m
Seperti yang bisa Binar prediksi, sarapan agak siang mereka memang tertunda selama satu jam karena kemesuman Tuan Dante. Binar duduk di atas meja makan dengan baju acak-acakan terengah, bersandar sepenuhnya ke dada bidang Dante yang tak tertutup apapun. "Kau .... " Binar tak sanggup melanjutkan perkataannya. Hanya bisa mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin setelah tragedi kilat menyerang. "Luar biasa," sahut Dante percaya diri. Lengan besarnya melingkupi Binar dengan senyum kepuasan. Tangan Binar bergerak mencubit perut keras Dante. Merasa kalimatnya terasa menyebalkan. Setelah memulihkan diri, Binar akhirnya membersihkan diri dan lanjut memasak. Kali ini, Dante duduk tenang di meja makan dengan secangkir kopi hitam bersanding dengan iPadnya. Matanya menatap lekat istri cantiknya yang tengah bergerak kesana kemari cekatan mengolah masakan. Tak pernah ia sangka, gadis mungil yang dulunya ia jaga dan sayangi akan benar-benar menjadi miliknya. Walau harus menggunakan cara keras d
“Inikah pemimpin Daggers Pact?” ejek Binar pelan dengan suara nyaris seperti bisikan. “Yang katanya berdarah dingin, tanpa ampun, dan brutal?"Dante tertawa pelan, senyum tipis di sudut bibirnya membuatnya makin terlihat menawan. Apalagi dengan wajahnya yang bangun tidur. “Aku memang seperti itu,” ucap Dante pelan. “Dan aku akan melakukannya lagi jika perlu.”Yah, Dante tetaplah Dante. Dia adalah pemimpin Dangers pact yang sudah seharusnya seperti itu untuk menjaga keutuhan dan kejayaan organisasi. “Kalau dipikirkan lagi, kau tidak pernah menyakitiku," ucap Binar, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Memang tidak. Hanya dulu ... saat Binar terlalu sering memberontak berusaha melepaskan diri. Dante hanya melakukan Dante mendekat, napasnya terasa di pipi Binar. “Kau bukan orang asing, Binar. Kau milikku.”Binar tak mengelak. Dulu, dia akan menggertak, mencaci, bahkan berusaha melarikan diri. Namun sekarang, ketika Dante mengatakan hal itu, yang ada hanyalah rasa aman.
Binar menatap mata Dante lekat, memastikan kalau pria dingin itu benar-benar siap menyerahkan kendali penuh padanya. Hal yang dulunya mustahil terjadi bahkan dalam bayangan sekalipun. Kedua Mata Dante terlihat satu dengan kabut gairah. Berulang kali ia menelan ludah untuk meredakan rasa panas yang membakar di tubuhnya akibat gerakan kecil yang Binar lakukan. Jemari besarnya mengusap pelan garis rahang Binar, mencoba menggoda wanitanya untuk bergerak lebih. "Kau menggemaskan sekali," lirih Binar. Ia mendekatkan wajahnya seolah menantang, tapi matanya tetap bergetar dibawah tatapan Dante yang mendebarkan. "Benarkah?""Uhum." Binar mengangguk. Matanya berkilat sama-sama tertutup nafsu yang menggebu. Tanpa berkata apa-apa, Binar memegang tengkuk Dante dan menariknya ke dalam ciuman. Meski gerakannya terasa amatir, tapi sanggup menjebol pertahanan Dante. Pada akhirnya, tetap Dante lah yang memimpin permainan. Binar memejamkan mata saat lidah Dante masuk dan menginvasi, mengobrak-abr