~ Ara ~
Ketukan dua kali di pintu menyadarkan aku pada remang-remangnya lamunan yang tengah menjajah pikiran.
"Ra, breakfast is ready"
Aru?
"I'm coming, Bi..." sahutku dengan semangat keceriaan baru, namun berubah jadi kaku saat wajah yang tanpak diambang pintu berbeda.
"Bieee?" wajah heran Tasya muncul dari baliknya, "Kau memanggilku, Bi? Seriously?" protesnya.
"Oh, sorry. Ku kira itu−"
"Aru?" Tasya memutar bola matanya lelah menanggapiku.
"So sorry, Sya. Habis kau melakukan kebiasaa−" belaku sendiri.
"Kau bahkan tidak bisa membedakan suara cantikku dengan suaranya ARU, apa?" katanya tampak sangat kecewa.
"Kenapa kau mengetuk pintu? Biasanya juga tidak!"
"Apa hanya Aru yang boleh mengetuk pintu? Aku tidak
"... Akan ada saatnya indah datang menyapamu ..."~ Ara ~Aku masih bersama Tasya dan belum keluar dari mall inni, tapi kalimat tadi sungguh masih terperangkap di pikiran dan membuatku terganjal.Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa pikiranku tak berhenti memikirkannya? Mengapa aku membawa bayang-bayang Aru kemana saja aku pergi? Apa ini semacam rindu? Atau hanya sebuah perasaan kacau yang tak menentu? Ku harap ini bukan semacam firasat buruk, karena dia tak menanggapi chat dari sapaan-sapaan beruntun ku.Baiklah. Mungkin aku hanya perlu mengeluarkan ingatan itu tentangnya. Jikka ini hanya rinndu, ingatan itu pasti akan sedikit membantu mengobatinnya."Apa aku boleh membeli ini?" tanyaku waktu itu pada Aru.Dia tidak langsung menjawab, tapi malah balik menatapku dengan tanyanya."Kenapa kau ingin membeli itu?""Imut aja. Lagian aku juga belum punya""Araa
"... Semoga bersamamu, membuatku lupa pada sakitnya patah hati ... "~ Aru ~- INDONESIA -Aku mengikuti saran Zein untuk memberitahukan Quin saat aku pulang kampung, itulah kenapa dia ada disini sekarang. Dia sedang main ke rumahku."Kak sudah lihat grup keluarga belum?" teriak adik perempuanku dari dalam rumah, maklum aku ada di teras."Belum. Kenapa?""Ke pantai" Dila melongokkan wajahnya dari balik pintu, "Kak Quin? Wah, apa kabar? Lama ngak ketemu, kangen deh" sapanya pada temanku dan ikut serta duduk begitu saja di kursi kosong sebelah Quin.Aku yakin jika dia seumuran, dia akan sama akrabnya dengan Quin. Bahkan mungkin mengalahkanku."Baik, sehat, alhamdulillah""Kakak sudah lama disini? Kok aku sampai ngak tahu sih?""Gimana mau tahu, kau cuman tidur aja seharian ini" aku mengguraui adikku."Enak aja, orang aku di dalam lagi beres-beres
"... Kami terjebak dalam kebuntuan, dengan akhir yang tidak menentu ..." ~ Aru ~ Semua keluargaku berada dalam mobil Quin. Dan keluarga Budhe dalam mobil anaknya. Pakdhe tidak jadi ikut karena masih di bengkel. Mungkin dia akan menyusul nanti jika urusan mobilnya beres dan waktunya juga cukup. Mobil Quin berhenti disebuah mini market setelah berjalan sekitar 15 menitan. Kakak ku berbicara pada Dila sebentar, memberi instruksi padanya apa yang harus dibeli. "Ada yang mau nitip?" "Es krim" Quin berkata padaku lirih seraya memegang lengan tanganku. Tatapan polos dan manisnya membuatku luluh seketika. "Es Krim" teriakku menyampaikan titipan. "Aku juga mau es krim" Zufan ikut berteriak memesannya. "Aku mau... Aku mau... Aku juga" riuh. Semua bocil-bocil didalam mobil ini menyuara, menginginkannya juga.Quin makin melebarkan senyumnya.
"... Sulit memag, jika kau masih memiliki nafas cinta untuk orang yang melukai hatimu juga ..."- PANTAI -"Aru.... Kau tahu apa yang paling berat?"AKU MENGANGKAT BAHU. TIDAK TAHU."Saat aku mencintaimu dan kau tak bisa dimiliki"What? Apa Quin baru saja mengungkapkan perasaannya padaku?Aku jadi menatapnya dengan raut paling serius. Apa yang baru saja terjadi? Sulit mencerna dengan benar dengan maksud dan ucapan Quin barusann.Dia membuatku hampir salah paham.Aku tahu dia tidak sedang serius mengatakannya, walau wajahnya terlihat cukup serius dan meyakinkan. Aku hampir terkelabuhi olehnya."Aku tahu kau tidak srius. Jangan bermain dengan kalimat seperti itu untuk mempermainkan perasaan dan fokusku Quin. I kknow you!"Quin tersenyum girang karena aku tidak tertipu dengan kalimatnya. Mungkin dia juga tersenyum untuk mele
"... Namanya mampu mengundang perih datang, menghapus jejak bahagia ..."~ Aru ~"Aku rapuh, Ru. bisakah kau memelukku?" katanya lirih dengan pandangan melamun.Aku ragu jika itu benar-benar sebuah permintaan dari Quin. Kurasa itu hanya sebuah simbol ungkapan akan perasaan dia yang tengah kacau juga gundah. Jadi aku tidak menanggapinya dengan serius.Kami diam lagi, sampai suara Dila hadir memecah keheningan ini."Kak saatnya pulang" teriaknya dari kejauhan jarak yang memisah kami.Aku memberinya simbul tangan OK. Lantas adikku pergi lagi."Ru, mulailah menghiburku dari sekarang" ujarnya padaku mengganti wajah sedihnya dengan senyum hangat.Alright.Quin kembali tegar kini."Yahh, you better get ready!" teriakku saat jarak kami terpisah agak jauh......."Cek-cek sebelah kalian. Ja
"... Untuk pertama kalinya aku mengerti jika wajah rindu bisa memberi siksa ... "~ Ara ~Hari-hari ini terlewati dengan sangat membosankan, terlebih karena waktu terasa berjalan seperti di punggung kura. Lama sekali dan itu mengesalkan, terlebih saat aku tidak banyak kegiatan belakangan ini. Lembur pun tidak.Pikiranku jadi kembali lagi pada Aru, dan perasaan kesepian ini makin mengikat juga mendekapku terlalu erat. Hingga semua ini membuatku berlari lagi pada kenangan indah yang bisa menghibur perasaan kacau juga sendiriku.Mana bisa aku tahan air mata kesepian ini. Mana bisa aku tahan perasaan rindu ini, walaupun mungkin beberapa hari lalu aku masih mengelak jika ini bukan rindu. Ini hanya perasaan hampa. Hanya perasaan sakit patah hati. Tapi kali ini aku harus mengalah dan jujur pada diriku sendiri. Jika ini adalah rindu yang cukup menyiksa, rindu yang tak bisa ditampakkan dengan benar wujudnya.
"... Aku tahu rindu bisa menghadirkan nyilu dan siksa, tapi baru tahu jika rindu bisa membuat orang jadi anomali ..."~ Aru ~Aku terbangun dari tidurku karena mimpi yang cukup menyedihkan. Aku melihat Ara terjatuh dari sepeda dan aku menangis begitu kacaunya karena melihat Ara tidak bergerak lagi.Aku duduk dipinggiran kasur dengan wajah agak pucat tapi perasaan melega, karena semua itu hanyalah mimpi.Semoga dia baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja! Apa dia baik-baik saja? Perasaanku jadi kacau lagi hanya dengan menanyakan pada diriku sendiri pertanyaan keraguan semacam itu. Tapi aku segera menepisnya.Dia baik-baik saja. Terakhir kali aku melihatnya, dia masih baik-baik saja. Dia terlihat baik-baik saja tanpa adaku.Menyedihkan. Tapi begitulah adanya.Ara masih bisa tersenyum dan masih juga bisa makan dengan benar. Dia masih bisa hang out dan mengob
"... Putus, tidak membuat keadaan kita lebih baik ..."~ Ara ~Aku membeku didepan pintu, melihat orang yang kurindukan berdiri tegak didepanku. Bagaimana bisa dia datang diwaktu yang sangat tepat begini? Apa kini aku juga punya pemancar radar seperti milik ...? Jadi dia bisa merasakannya? Atau ini hanya sebuah kebetulan belaka. Padahal aku kira dia masih disana bersama ....Tunggu! Tunggu sebentar. Ini bukan hanya halusinasi atau ilusi dari perasaan rinduku yang terlalu kuat semata, bukan?Nyata atau tidak. Yang jelas semua perasaan berat dan lesu dan sunyi itu lenyap dalam sekejap hanya dengan melihatnya kembali. Aru memang obat mujarab untuk semua gundahku.Ah, ini hari apa? Malam minggu kelabu?! Kenapa imaginasi ini terasa begitu nyata? Karena aku merasa amat kosong, kurasa. Jadi bayangan Aru jadi senyata ini."Hai..."Dia bahkan mengucapkan hai yang ter