Se connecterTok...tok...tok
Suara ketukan pintu terdengar nyaris keseluruh rumah kontrakan sederhananya ini. “Engh, siapa?” sayup-sayup Gadis itu melenguh, meregangkan tubuhnya. Mengucek-ucek matanya yang masih kantuk, ketika sadar hari sudah malam. Tampak dari jendela yang lupa ditutupnya itu.
“Hoam~ aku ketiduran ya? tadi rasanya masih sore.” Gadis itu bermonolog sendiri. Melirik jam dinding bututnya yang menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengaku masih lelah.
Tok … tok …
Kembali suara ketukan itu terdengar, dengan langkah gontai. Dia pun berjalan untuk membukakan pintu. Didapatkan, seorang pria mengenakan setelan jas rapi tampak sudah berumur namun memiliki postur tubuh yang tegap.
“Apakah Anda Nona Valyria Soga Kinaru?”
Gadis itu, Valyria mengangguk. “Benar, Siapa Anda?”
“Saya dari lembaga Asuransi, memberikan beberapa santunan asuransi kematian dari Tuan Kinaru, dan juga ... Tuan Kinaru pernah menitipkan kunci ini untuk diberikan kepada Nona.” Pria itu berucap sembari memberikan sebuah amplop cokelat beserta sebuah kunci.
Valyria menatap heran sebuah kunci dengan motif bunga berkelopak putih berputik kuning. Dia bahkan tak mengetahui kunci itu, ketika Valyria hendak bertanya. Pria itu sudah sirna dari hadapannya “Eh?! Kemana perginya?” Valyria menegok kekanan dan kekiri. Celinga-celingu bingung, namun tak lama kedua bahunya menaik dengan acuh. “Sudahlah, mungkin hanya perasaanku,'' ucap Valyria sambil menutup kembali pintu rumah kontrakannya itu. Valyria menghela nafas, dia memengang secarik amplop yang berlogo lembaga asuransi. Dia menatap sekeliling rumah kontrakan kecil dan sederhana ini, sudah sejak lama terasa sepi. Senyuman nanar itu terukir dari bibir ranum kemerahannya.
“Aku tak akan tidur, lebih baik menyelesaikan lukisanku.'' Gadis itu pun kembali berjalan kekamarnya, sambil meletakkan kunci itu diatas nakas meja.
Kamar tak besar itu berserakan dengan kuas serta beberapa botol-botol cat acrylic. Dia mengambil sebuah canvas, lukisannya setengah jadi. Bahkan dengan penerangan lampu yang seadanya. Gadis itu tetap melanjutkan melukisnya, hanya itu hal yang dapat mengusir rasa gundahnya.
Pikirannya saat itu berkecamuk, kedua tangannya menari-nari lihai diatas canvas putih. Semulanya putih, namun kini sudah penuh dengan warna demi warna.
“Kakakku, Valerin Darly Kinaru ... Meninggal diusianya yang baru dua puluh empat tahun. Tiga tahun lalu pulang kerumah kami, dalam keadaan depresi berat. Demi itu ... kujual rumah peninggalan ayah dan ibu yang tak kuketahui keberadaannya pula. Demi pengobatan kakak. Lalu ... warna merah tampaknya akan bagus setelah membuat sketsa wajahnya.” Dia bergumam sendiri, tangan lentiknya menggengam kuas yang baru saja dicelupkan oleh warna merah.
Kedua tangannya penuh akan cat-cat berwarna warni “Aku tahu gejala halusinasi kakakku baru tampak setelah masuk Rumah Sakit Jiwa tapi apakah seseorang halusinasi tak memiliki penyebabnya. Bahkan kak Darly terus mengatakan nama seseorang, ah ... seharusnya dibagian mata harus diberi garis yang tegas.”
“Frederick Drew Raymond. Nama itu yang disebutkan kebetulan sama dengan surat-surat yang kubaca. Apakah itu temanmu? Kenapa kau tak menceritakan apapun soal masalah dikehidupanku, Kak Darly.''
Pukul enam pagi, ketika suara kokok ayam tetangga terdengar. Matahari mulai tampak, namun udaranya terasa dingin. Gadis beriris violet itu menatap sebuah canvas dengan lukisan seorang wanita beriris merah yang berpose baru bangun dari tidurnya. Tatapan tajam sengaja dilukisnya, seolah mengatakan jika gadis yang dilukisnya itu bersiap menghadapi dunia ketika dia bangun dari tidur.
“Nah Kak Darly. Apakah adik kecilmu ini, begitu tak berguna sampai-sampai tak kau ikut sertakan dalam masalahmu?”
“Kuberikan namamu Briar Rose, Sang Puteri Tidur yang bangun menghadapi kenyataan.”
Kedua iris violet itu menatap kosong, akan lukisan indah yang baru saja diselesaikannya itu. Tangannya menggengam kuas itu terlalu erat, sampai kuas kayu itu pun patah. “Kak Darly ... Aku janji, pasti akan membalaskan dendammu!”Bibir bawahnya digigit, akan semua perasaan sesak yang sulit pudar disanubarinya. Kakaknya tercinta, kehilangannya adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah dirasakan gadis beriris violet itu.
Membersihkan diri dengan air yang dingin, gadis itu mandi didalam kamar mandi kecil yang sempit. Bahkan airnya lumayan kotor, dia tak mampu membayar uang pengairan air kemudian menggantikan kebutuhan air hanya dengan menadah hujan pada sumur yang ada dibelakang halaman rumah kontrakan ini. Hidup yang kurang dari kata mampu, dia mengalami hal itu selama tiga tahun ini. Hidup sendiri dengan melarat.
Usai mandi, surai hitam panjang itu dia keringkan dengan handuk. Hari ini dia tetap memutuskan untuk pergi kuliah, setidaknya dia tak akan putus kuliah. Beasiswa masih menanggung biaya perkuliahannya sampai lulus. Jika hidup dengan ekonomi yang baik, gadis beriris violet ini mungkin akan menjadi gadis yang berbakat dan terawat. Dia jenius, berbakat dan periang. Dulunya, sebelum semua musibah yang menimpa kehidupan Valyria Soga Kinaru ini.
Menyeduh kopi hitam pagi ini dengan sarapan roti kemarin yang sengaja dia sisakan. Dia membakar roti itu dengan mentega, setidaknya memakan roti kemarin dengan hangat akan menambah nafsu makannya.
“Ada berita apa pagi ini?” Valyria mengambil sebuah koran kemarin, yang sengaja ia ambil dari kantor polisi. Setidaknya dia tak ketinggalan isu-isu hangat seminggu ini, dia meneguk kopi hitam panasnya kemudian melahap roti bakarnya. “Hm? Membosankan,'' celetuk Valyria sambil melipat kembali koran itu. Dia beranjak membereskan peralatan makannya kedapur, mungkin dia akan mencucinya setelah pulang dari Universitas.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu itu terdengar. Valyria pun meraih tas ransel bututnya, dia segera membuka pintu rumah kontrakan itu. Disana dia melihat seorang gadis manis dengan jilbab merah mudanya “Hai! Selamat pagi Valyria yang imut...”Gadis itu terkekeh, dia memang benar. Valyria memang cantik, manis dan imut. Terutama warna iris mata tak biasanya itu, begitu langkah dimiliki oleh orang-orang.
“Hentikan itu Tarra.” Valyria berkata datar. Dia keluar dari rumah kontrakan kemudian mengunci pintunya.
Tarra, nama gadis berkerudung pink itu. Teman baiknya sejak memasuki perkuliahan, berkat Tarra pula, Valyria menghemat biaya transportasi pulang dan pergi ke Universitas. Gadis berkerudung pink itu akan dengan senang hati menjemput Valyria.
“Bagaimana keadaanmu hari ini? Kukira kau akan izin tak masuk kuliah hari ini.” Tarra berbincang sambil menaiki motor maticnya, dia juga memberikan sebuah helm kepada Valyria.
Valyria tak langsung menjawab. Dia meraih helm itu dan memakainya. “Aku baik-baik saja.”
Tarra, menatap dengan prihatin. Namun dia langsung merubah raut wajahnya dengan tersenyum sambil menghidupkan motornya. “Ayo berangkat!” ajak Tarra.
Valyria Soga Kinaru, tergolong mahasiswi yang populer dikalangan pengajar namun tidak dikalangan mahasiswa lainnya. Dia tak perduli, mungkin karena kepribadiannya yang tampak tak ‘ramah’ pada teman-temannya. Valyria hanya tak suka berpura-pura, dia pun lelah bersikap baik dengan semua orang.
Brukhh. Tubuhnya sengaja disenggol, oleh beberapa gadis yang melintasi beserta sahut menyahut akan tatapan sinis yang mereka berikan. Valyria tahu, namun tak mengubris. Dia bahkan memengang pergelangan tangan Tarra yang saat itu malah naik pitam. “Sudahlah ... Tidak penting.” Valyria berucap dengan raut wajah malasnya, dia menghela nafas dan berjalan lebih dahulu menuju lorong koridor universitasnya.
Kelasnya ada diujung Universitas, Valyria dan Tarra berbeda jurusan namun masih berada pada satu gedung yang sama. “Nanti, aku jemput ya? Dadah Valyria,'' ucap Gadis berkerudung merah muda itu. Sembari melambaikan tangan, dia pun berlari pada sisi arah yang berbeda.
Valyria hanya menatap gadis seusianya itu, dia pun memasuki kelas. Meletakkan tas bututnya diatas meja dan menduduki tubuhnya. Tak berapa lama Sosok Pria Gendut itu masuk ke dalam kelas. Valyria buru-buru membuang pandangannya.
“Good Morning class, oh ... Valyria! Nanti bantu Bapak mengoreksi uas kas minggu lalu,'' suruh Pria buncit itu tersenyum pada Valyria. Bagi teman-teman sekelasnya, mereka akan berdecak iri. Namun bagi Valyria, itu adalah hal yang menyebalkan.
Jenius dan pintar. Terkadang pula ceroboh, Valyria dulu sebenarnya gadis polos yang periang. Sehangat mentari dengan senyumannya yang senantiasa merekah manis, setidaknya sebelum berbagai masalah menghampirinya. Itulah yang membuat Valyria tak memiliki banyak teman, Tarra adalah satu-satunya gadis yang paling keras kepala untuk menjadi temannya. Walaupun berulang kali diacuhkan oleh Valyria. Kini, Tarra malah selalu ada untuk Valyria sebagai teman baiknya.
Menghela nafas sejenak sebelum Valyria mengetuk pintu yang terbuat dari akasia itu. “Permisi Pak Yudha. Saya datang untuk mengoreksinya.” Valyria termasuk yang sering dimintai bantuan oleh Para Pengajar, dia terbiasa dengan wilayah perkantoran Para Pengajar.
“Valyria, Kemari-kemari.” Pria paruh baya berperut buncit itu menepuk-nepuk pahanya.
Valyria menatap jijik reaksi Si Pria. Valyria mengabaikan setelah itu berjalan untuk duduk di kursi didepannya. “Jika Anda hanya ingin melecehkan saya, maka saya lebih baik segera keluar dari sini.'' Valyria berucap kasar.
''Padahal keadaanmu sulit, aku menawarkan tawaran bagus,'' ucap Pria itu terhela oleh Valyria yang langsung menyerobot tumpukan kertas diatas meja.
“Jadi, tidak ada tumpukan kertas yang perlu dikoreksi bukan? Kalau begitu saya permisi.” Valyria beranjak dari duduknya. Tanpa berbasa-basi lagi dia pun berjalan keluar dari ruang kantor itu. Valyria menutup kembali pintu ruangan.
Pria itu memerhatikan Valyria yang keluar dengan gopoh. ''Subjek surgawi itu, benar-benar menggoda Haha, sebentar lagi kau akan sama binasa dengan Keturunan Kinaru yang lain,''
Kedua mata violet berkedip-kedip lucu, wajah penasaran dengan bibir ranum yang terbuka. Dia masih tak percaya. “Woah~Paris! Paris!” jerit Valyria takjub.Valyria baru sampai di Paris. Seharusnya mereka menuju Amsterdam hari ini namun Tarra meminta untuk menenangkan diri di Paris terlebih dahulu, jadi disini mereka sekarang menghantarkan Tarra ke kediaman kerabatnya yang ada di Paris. Kemudian siangnya, Valyria bersama tantenya Tarra itu akan menuju ke Amsterdam. “Untung saja ini liburan semester, jadi tante bisa membawa kalian berdua," ujar sang tante sambil menggendong anaknya, Bobby yang tampak masih mengantuk itu.“Iya Tante, Tarra titip Valyria ya. Good luck, Valyria.”Gadis yang mengenakan jilbab cokelat muda itu tersenyum sekenanya, dia masih tampak lesu dengan dukanya. Valyria memeluk dirinya itu. Ia tersenyum melihat Valyria yang tersenyum sumringah."Aku berangkat dulu ya Tarra!” Valyria berseru, baru kali ini dia tersenyum amat manis bahkan bersemangat pula. Valyria memakl
Sebenarnya, ini pertama kalinya Valyria bertemu keluarga besar Tarra. Selama ini jika Valyria berkunjung ke rumah Tarra, dia hanya bertemu ayah dan ibunya. Maka dari itu Valyria menjadi canggung .“N-namaku Valyria Soga Kinaru, tante Tasya,” ucap Valyria yang menuruni tangga dari lantai dua kamar Tarra. ''Namamu cantik begitu juga orangnya, apa kamu Bule Nak?'' tanya Tante.Valyria hanya terkekeh nanar. Wajahnya ini sering disangka ‘bule’ oleh orang kebanyakan. Apalagi kedua iris mata violetnya. “Tidak juga, Ibu memang orang Indonesia kalau Ayah, kata kakakku Ayah berasal dari Belanda, Valyria juga tak terlalu tahu soal itu.'' Valyria menjawab sebisanya dengan senyum nanar itu.“Oh pantas aja, sama dong, Bobby juga campuran Belanda, Ayo sapa Kak Valyria Bobby,'' suruh Tante pada Bocah itu.Bocah itu malu-malu menatap Valyria. “H-halo. Namaku Bobby balu ti-tiga tahun.” “Oh iya, Tarra sempat mengatakan padaku soal temannya yang jenius dalam seni. Apakah itu kamu Valyria? Mengingat, Ta
“Ya Tuhan, aku tak sanggup semua ini benar-benar menjijikkan," ujar Valyria sambil menghela napas. Setelah itu Valyria berjalan melalui koridor gedung universitasnya. Dia berjalan dengan tenang dengan raut wajah yang tenang pula, biarpun kepalanya terasa pening akibat kurang tidur. Sepasang mata Violet Valyria melihat Tarra yang berlari dengan secarik kertas yang dibawanya.Gadis berjilbab merah muda itu tersenyum sumringan. “Ini lihat! Pelelangan lukisan. Kau ratunya urusan ini, ayo ikut.” Tarra berucap dengan antusias sembari memperlihatkan secarik kertas berisi brosur pelelangan lukisan. “A-Amsterdam? Kau Gila Tarra, ini jauh sekali dan aku tak punya ongkos untuk ke sana,” ucap Valyria dengan kedua matanya melotot, nyaris melongo tak percaya.“Ah sudahlah, masalah itu urusanku karena kebetulan acara ini Tante Tasya salah satu staff penyelenggara, ini kesempatan baik untukmu Valyria, " ucap Tarra senyum dengan ceria, dia menggegam tangan sahabatnya itu. Tarra teman terbaik yang Val
Tok...tok...tokSuara ketukan pintu terdengar nyaris keseluruh rumah kontrakan sederhananya ini. “Engh, siapa?” sayup-sayup Gadis itu melenguh, meregangkan tubuhnya. Mengucek-ucek matanya yang masih kantuk, ketika sadar hari sudah malam. Tampak dari jendela yang lupa ditutupnya itu.“Hoam~ aku ketiduran ya? tadi rasanya masih sore.” Gadis itu bermonolog sendiri. Melirik jam dinding bututnya yang menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengaku masih lelah.Tok … tok … Kembali suara ketukan itu terdengar, dengan langkah gontai. Dia pun berjalan untuk membukakan pintu. Didapatkan, seorang pria mengenakan setelan jas rapi tampak sudah berumur namun memiliki postur tubuh yang tegap. “Apakah Anda Nona Valyria Soga Kinaru?” Gadis itu, Valyria mengangguk. “Benar, Siapa Anda?” “Saya dari lembaga Asuransi, memberikan beberapa santunan asuransi kematian dari Tuan Kinaru, dan juga ... Tuan Kinaru pernah menitipkan kunci ini untuk diberikan kepada Nona.” Pria it
Kabar mengenai kematian kakak laki-lakinya itu baru ia terima pagi ini, tepat pada pukul tujuh pagi. Dari sebuah ponsel genggam yang dipegangnya, dia hanya bisa bergetar dengan kedua mata membelalak namun air mata dari pelupuk matanya hampir jatuh. Mengairi, wajah manis yang sembab. Namanya Valyria Soga Kinaru, baru berusia dua puluhtahun. Kini setelah jadisebatang kara kemudian harus kehilangan sosok penyokong kehidupan utamanya, Sang Kakak. “Baik, saya akan kesana. Saya akan membawa kakak saya untuk segera dimakamkan serta mengambil barang-barangnya.” Valyria berucapsembarimengakhiritelepon. Keduamatavioletnyajadikosongmenatapkehampaan. Tubuhnya langsung lemas, berpegang pada nakas meja yang ada disampingnya. Terisaklah dia dengan seluruh kepedihannya. Mengutuk takdir yang kejam, setelah kedua orang tua yang meninggal saat dia masih begitu kecil. Kini kakak laki-lakinya, yang tercinta. Tulang punggung keluarga, penyanggah hidup sebagai satu-satunya keluarga y
“Tuan, terimakasih atas makanannya!” “Hm~ tentu saja, nanti akan yang banyak dan tersenyumlah.” Pria muda itu baru membagikan roti-roti hangat yang baru ia beli, berdiri ditengah kerumunan tawa dan canda anak-anak yang terlantar disebuah wilayah kumuh pada ujung kota pusat disebuah negara kerajaan yang megah. Nasib yang tak berpihak kepada anak-anak kumuh itu membuatnya menghibur anak-anak ini.“Ayo, aku punya sebuah permainan kalau kalian bisa menjawab kuis ini, aku akan memberi ini secara Cuma-Cuma,” ucap Pemuda itu mengeluarkan sekantung permen dari saku mantelnya. “Wah permen!” sorak anak-anak yang menginginkan permen yang dipegang Pria itu. Pria Bangsawan Muda itu. Ia tersenyum suka cita dan memulai permainannya. “Kalau begitu jika kalian memiliki tiga belas apel jika aku minta tiga apel dari kalian. Kira-kira kalian masih memiliki berapa apel ya?” tanya Pria itu. “Tiga puluh, Tuan,” jawab asal seorang anak, dikala sem







