“Papa kenapa maksa sekali sih, Pa?” Tiba-tiba saja Elise menyahut dengan ketus. Dia duduk di sofa sebelah Henry. “Kalau memang maunya cerai, yaudah biarin mereka bercerai.”Martin semula bisa menahan emosi, justru dibuat emosi dengan ucapan Elise.Dengan nada tegas Martin berkata, “Hatimu benar-benar sudah dipenuhi dengan kebencian, Ma. Harusnya kamu bisa memberikan contoh yang baik untuk putramu ini!”Kening Elise berkerut marah. “Memangnya apa salah dari Mama? Mama ‘kan tidak mau memaksakan kehendak mereka. Untuk apa dipaksa jika memang tidak bisa dipertahankan lagi? Hanya membuat tersiksa saja!”“Sebaiknya Mama pergi saja dengan teman-teman sosialita Mama. Jangan membenarkan perceraian hanya karena hati benci Mama pada orang lain.” Martin beralih menatap Henry dengan wajah tegasnya. “Dan kau Henry, cepat cari keberadaan Eva sampai ketemu. Jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus kau tanggung.”Martin beranjak berdiri meninggalkan Henry dan Elise. Emosinya terasa ingin meledak d
Samuel melamun sejenak, mengarungi pikirannya yang dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Dia tahu siapa Julia.“Kalau begitu, apa mungkin dia sedang melakukan sesuatu,” gumam Samuel pada diri sendiri. “Dave, mintalah rekaman CCTV di kafe sebelum Eva pergi. Salah satu dari mereka mengatakan jika Eva pergi terburu-buru setelah berbicara dengan salah satu pelanggan perempuan. Aku rasa jika pelanggan itu adalah Julia. Dan kemungkinan besar-,”Samuel menjeda ucapannya. Wajahnya terlihat banyak menyimpan sesuatu. Dia mulai menyambungkan informasi yang dia dapatkan sedikit demi sedikit. “Bukankah Nyonya Eva adalah Istri dari Tuan Henry, kenapa kita yang dibuat repot?” Dave mengeluarkan sedikit keluh kesahnya. Samuel menjawab, “Aku hanya membantunya saja. Ini hal serius. Datanglah ke Kafe dan mintalah rekaman CCTV itu.”Dave menunduk. “Laksanakan, Tuan.”Dave melangkah pergi, melaksanakan tugas dari Samuel. Setelah kepergian Dave, Samuel menghela napas panjang. Ada sesuatu yang tidak bisa i
Julia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Oke, Julia. Jangan panik. Kau harus tetap tenang.”Ia menyandarkan dirinya di dinding, berusaha berpikir keras. Memastikan Ryan tidak mengetahui apa yang dia lakukan. Julia mengangkat ponselnya. Namun ia urungkan saat terdengar suara langkah kaki disertai pembicaraan serius mendekat ke arahnya. Ia bisa mengenal jelas suara orang tersebut. Ryan, itu adalah suara Ryan. Dengan cepat Julia membalikkan tubuh, pura-pura untuk mengambil air di dispenser yang tidak jauh dari jangkauannya. “Saya baru saja dari ruang monitoring keamanan mengecek CCTV di depan gedung saat Nyonya Eva pergi meninggalkan gedung, Tuan. Nyonya menaiki taksi dengan plat nomor NYC-5432-,”Ryan terus berbicara sepanjang perjalanannya.Julia berusaha mencuri informasi dari Ryan. Kedengarannya sangat menarik.Dia tersenyum miring atas kekacauan yang terjadi menimpa Eva dan Henry saat ini. Julia berkata dengan nada remeh. “Heh, ternyata mudah sekali
Eva mengambil sebutir pil, meneguknya dengan sekali tegukan. Dia menunggu sebentar, sampai kondisi matanya berangsur-angsur membaik.Eva bernapas lega dan merasa sedikit tenang.Ia memandang obat miliknya di atas meja. Mengatasi glaukoma tidaklah hal mudah, memerlukan perhatian khusus.Eva berjalan ke arah cermin, memandang bayangan sendiri dengan mata menyipit. Tangannya terangkat, menyentuh matanya. “Bagaimana jika akhirnya aku benar-benar tidak bisa melihat lagi?”Eva sadar jika penyakit mata yang ia derita semakin parah. Penglihatan kabur dan nyeri semakin sering mengganggu hari-harinya.Meski kondisi matanya semakin memburuk, Eva memilih untuk tetap diam, tidak memberitahu siapa pun. Dia berusaha menutupi ketidaknyamanan dengan senyuman setiap harinya.Eva mengambil napas dalam-dalam berusaha tersenyum pada diri sendiri. “Jika memang hal itu terjadi, aku akan menggunakan waktuku dengan baik selama bersama Mama.”Eva melangkah ke arah tempat tidur, kembali meletakkan obat ke dalam
Di sisi Samuel, ia mendapatkan petunjuk mengenai kepergian Eva. Semua CCTV yang ia dapatkan saling berkaitan.Dia juga tidak menyangka jika sebelum pergi, Eva terlibat keributan dengan Henry atas kekacauan yang terjadi pada perusahaannya.Berselang beberapa detik, Dave menyerobot masuk ke dalam ruangannya dan berkata, “Tuan, saya mendapatkan informasi jika Nyonya Eva berada di Millbrook saat ini?”Samuel membenarkan posisi duduknya. “Millbrook?”Dave mengangguk. “Benar, Tuan. Saya mendengar jika Asiten Ryan datang ke Millbrook untuk menjemput Nyonya Eva. Tapi … dia datang ke Millbrok sendiri. Tuan Henry memilih mengantar Nona Julia ke rumah sakit.”Samuel marah mendengarnya. Seharusnya Henry ‘lah yang datang menjemput Eva, tetapi, justru Ryan-asistennya yang menjemput Eva.Samuel kesal dengan sikap sepupunya yang lebih memprioritaskan wanita lain, melupakan perannya sebagai seorang suami.Samuel berdiri. Dengan tekad bulat, ia mamutuskan mengambil tindakan. “Aku akan pergi ke Millbroo
“Pinggirkan mobilmu, Henry,” ucap Julia dengan pelan.Henry menoleh ke arah Julia dengan raut wajah cemas. “Kenapa kita harus menepi. Aku harus membawamu cepat ke rumah sakit.”“Tidak-tidak, jika Henry membawaku ke rumah sakit, semua pasti ketahuan,” pikir JuliaJulia menggelengkan kepala cepat. “Tidak perlu, Henry. Kita beli obat saja di apotek terdekat. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku cukup membeli obat biasa yang aku pakai.”Henry mengerutkan keningnya, menunjukkan rasa khawatir. “Tapi, Julia, kau terlihat sangat tidak nyaman. Apakah kau yakin hanya cukup dengan obat yang biasa kau beli? Sebaiknya kita memeriksakan kondisimu ke Dokter.”Julia menatap Henry dengan tatapan meyakinkan. “Henry, aku tahu bagaimana kondisi tubuhku. Ini hanya gejala gerd yang kambuh. Aku hanya perlu obat yang biasa aku pakai untuk meredakan asam lambungku. Lagipula, aku bisa mengatasinya dengan obat yang biasa aku gunakan.”Julia takut akan kebenaran yang terungkap. Dia terus membujuk Henry dengan alasan
Wassaic Station. Eva masuk ke dalam kereta, duduk sembari menunggu jam pemberangkatan 20 menit lagi. Dia duduk dengan tenang. 30 menit berlalu, Ryan dan Samuel akhirnya tiba di Wassaic. Keduanya terburu-buru mencari pemberangkatan menuju Grand Central Terminal, stasiun utama dan ikonik di New York City. Itu adalah terminal utama untuk kereta Metro-Nort Railroad yang menghubungkan Manhattan dengan wilayah utara lainnya. Sialnya, kereta tujuan Grand Central sudah meninggalkan stasiun 10 menit yang lalu. Satu-satunya rute yang tersedia menuju Harlem. Itupun mereka harus melakukan transit menuju Poughkeepsie Station lebih dulu sebelum tiba di Herlem. “Asisten Ryan, sepertinya kita sedang tidak beruntung hari ini,” ucap Samuel dengan terengah-engah karena berlari. Ryan menghela napasnya pasrah. Samuel kembali melanjutkan, memberikan saran pada Ryan. “Asisten Ryan, mungkin Anda bisa mencoba untuk menghubungi Henry untuk menjemput Eva di terminal.” Dengan cepat Ryan merogoh ponselny
Mobil Henry terparkir rapi di depan rumah megah memiliki halaman luas dan nyaman. Mereka tiba di sana saat awan gelap. Eva dan Henry sedari tadi menjawab tanpa ada yang bicara. Keduanya saling cuek. Henry menghela napas lalu berkata dengan nada dingin, “Papa sudah tahu kalau kau pergi melarikan diri. Jadi sebisa mungkin kau memberikan alasannya. Jangan berharap aku membantumu untuk berbicara. Kau tanggung sendiri resiko dari tindakanmu” Eva mengepalkan tangannya. Situasi ini bukanlah pertama kalinya untuknya. Namun hatinya tetap merasakan sakit dengan ucapan Henry. Eva menoleh ke arah Henry dengan memutar ulang. “Kalau kamu berpikir aku meminta bantuanmu, kamu salah, Henry! Aku sudah biasa berada dalam situasi seperti ini sendiri tanpa bantuanmu. Jadi tidak perlu kau membantuku.” Henry melebarkan kedua matanya, tidak menyangka jika Eva akan mengeluarkan kata-kata seperti itu. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak dengan kata-kata Eva seolah-olah dia tidak dibutuhkan. Eva
Perlahan, Eva mengerjap. Dia tak tahu sudah berapa lama tertidur. Cahaya senja masuk melalui celah tirai, menandakan waktu sore. Sudah sore?Seketika, mata Eva terbuka lebar. Ternyata, dia tertidur dalam waktu yang lama. Dia berniat untuk bangun, tapi gerakannya terhenti saat menyadari ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh perlahan dan melihat sosok di sampingnya. Sudah pulang? Sunyi beberapa saat.Dia memerhatikan wajah Henry yang masih tidur dengan napas teratur dan wajah tenang. Pria itu masih mengenakan baju kantornya, dengan kancing kemeja atasnya terbuka. Saat tidur, pria ini begitu pulas seperti bayi, tapi saat terbangun, sikapnya begitu menyebalkan. Entah mengapa, pria ini membingungkan, terkadang tak masuk akal bahwa ada orang sepertinya di dunia ini. Masih dengan mata terpejam, Henry bergumam, suaranya serak khas seseorang yang baru bangun tidur. “Apa kau selalu menatapku diam-diam seperti itu?”Eva terkejut, tidak menyangka jika pria itu sudah ban
Ryan meringis, lalu menjawab, “Tuan … apakah Anda tahu berapa banyak laporan yang saya kerjakan saat Anda liburan?”Henry menatapnya datar. “Itukan memang tugasmu sebagai Asisten,” jawabnya santai dan bodo amat. “Berarti saya tidak bermalas-malasan, Tuan ….” Ryan menjawab dengan suara merendah. “Kalau tidak malas, kenapa dokumen ini masih menumpuk di mejaku?” Henry ngotot menyalahkannya.Ahirnya Ryan terdiam sejanak, meratapi nasibnya. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya-tanya, kenapa hari ini Henry begitu menyebalkan? Biasanya, bosnya itu biasa saja mengatasi semua dokumen itu dan asik tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kenapa hari ini berbeda sekali? Dia seperti serba salah di mata Henry. Pasti gara-gara tadi pagi aku menerornya!Tapi, itukan karena Nyonya Besar. Kenapa tidak marah saja padanya? “Baiklah, maafkan saya, Tuan,” katanya pasrah.Tak ada yang menang berdebat dengan Henry. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya melirik ke arah ponselnya yang ada di s
“Kurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!” gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. “Mungkin ada hal yang benar-benar mendesak,” katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. “Jangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,” katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. “Kau tidak mau menahanku?”Eva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. “Untuk apa?”Seketika Henry memasang wajah serius. “Kau benar-benar tidak peka dengan keadaan.”Eva mengedipkan matanya cepat. “Memangnya apa yang harus kulakukan?” Wajah Henry s
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
“Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
“Itu ….” Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik