Ciumannya jatuh bukan seperti embun, tapi seperti hujan deras di tengah badai. Tangannya menggenggam erat, menuntut, dan menguasai. Namun, Nayla tetap diam dan tidak terbuai.Damian memporak-porandakan tubuhnya sekali lagi. Namun, matanya tetap kosong, bahkan saat tubuh mereka bersatu.Damian menatap wanita di pelukannya. Rambut Nayla tergerai berantakan di atas bantal, kulitnya masih panas di bawah jemarinya, tapi matanya … mata itu seperti mati.“Katakan sesuatu,” bisik Damian. Suaranya dalam dan nyaris gugup. Itu bukan perintah, lebih kepada satu permohonan.Nayla mengedip pelan. “Apa yang ingin kamu dengar?” tanyanya datar.“Bahwa aku milikmu?”Damian mencengkeram sprei. Nafasnya tertahan. “Kamu memang milikku.”Nayla tertawa ringan tanpa rasa. “Kalau begitu, kamu tidak ada bedanya dengan Nathan.”Damian bangkit dan melepaskan penyatuan. Otot-ototnya tegang. Obsesinya bukan lagi tentang tubuh Nayla, tapi tentang memilikinya seutuhnya.Sialnya, Nayla kali ini bukan menolak, tapi ju
Hangat. Itulah yang pertama Nayla rasakan saat membuka mata.Pelukan Damian masih membungkusnya seperti selimut yang terlalu pas dan terlalu nyaman. Dada telanjangnya menjadi bantal tempat Nayla bersandar sepanjang malam. Tangan kekar itu masih melingkar di pinggangnya, seolah tubuhnya adalah sesuatu yang berharga, bukan sekadar objek pelampiasan. Seolah dia dipilih, dimiliki, dan dicintai.Tidak ada yang salah dari pelukan itu. Tubuh saling mengikat, napas menyatu, dan kulit melebur satu sama lain.Dari luar, mereka seperti sepasang insan yang tak ingin lepas. Keduanya seperti larut dalam sesuatu yang membakar. Namun, bila cukup peka untuk memperhatikan, akan ada satu hal yang kontras.Nayla tidak balik memeluk.Tubuhnya pasif dan dingin seperti arus bawah laut yang tak terjamah matahari. Tatapannya kosong menatap langit-langit tanpa merasa dekapan ini harus dinikmati. Pikirannya mengendap seperti ampas kopi di dasar cangkir. Tidak ada getar manja yang menandakan kalau Nayla kini sud
Nayla hanya mampu menarik napas panjang saat Damian menunduk, menjelajahi setiap inci dirinya dengan ciuman yang semakin panas. Lidahnya, tangannya, tubuhnya, semuanya bicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua pahami.Dan malam pun menjadi saksi, ketika gumpalan emosi meleleh menjadi satu. Tidak ada batas. Tidak ada jeda. Hanya dua orang yang terbakar dalam ketertarikan yang terlalu dalam untuk disangkal.Damian tak memberinya ruang untuk bernapas. Sentuhannya bergerak cepat, tapi tak pernah terburu-buru. Dia tahu betul apa yang membuat Nayla bergetar, dan dia memainkannya seperti seorang maestro memainkan alat musik yang paling dikenalnya.“Tubuhmu sangat menyukaiku, Nayla. Lebih dari dia menyukai siapapun,” gumam Damian saat jarinya melingkar lembut di titik paling sensitif.Nayla mengerang. Lengannya melingkari leher Damian, mencoba mencengkeram apa pun yang bisa membuatnya tetap berada di bumi.Namun, … dia melayang.Guncangan pertama menghampirinya seperti badai. Nayla melengk
Tubuh Nayla masih bersandar di dinding ketika Damian kembali menutup jarak. Di antara napas yang masih tercekat, Nayla tahu kalau dia sedang jatuh. Bukan pada cinta, tapi pada kehancuran yang terasa terlalu nikmat untuk ditolak."Aku benci kamu, Damian," desisnya, pelan, nyaris tak terdengar.Damian mengangkat wajahnya dengan satu tangan. Ibu jarinya menyentuh dagu Nayla, memaksa mata mereka bertemu. “Tapi kamu tidak pernah membenci sentuhanku.”Damian memandangi Nayla seperti memandangi mimpi yang tak pernah benar-benar bisa dia miliki. Tangannya menyapu pipi Nayla pelan, lalu turun ke leher, dan berakhir di tulang selangka yang naik turun selaras dengan deru napas."Aku seharusnya menjauh darimu," gumam Nayla, antara sadar dan tak lagi peduli.Damian tak langsung menjawab. Dia mendekat pelan, lalu mencium bagian bawah rahangnya. “Tapi itu mustahil.”“Berhenti berbicara seolah kamu yang berkuasa.”Mendengarnya, tiba-tiba tangan Damian mencengkeram leher Nayla. Ibu jarinya berlabuh di
Satu pesan masuk dari akun seorang wanita yang Nayla kenal. Tanpa sapaan, tanpa basa-basi, dia hanya mengirim satu foto.Nathan.Telanjang.Tertidur di atas ranjang dengan sprei kusut.Dan lengan wanita itu terlihat jelas. Dia berbaring di sampingnya, dan sebagian wajahnya masuk ke dalam frame.Pesan singkat muncul di detik selanjutnya.-[Kamu masih percaya dia? Tapi dia tampak sangat menikmati yang baru saja terjadi di atas ranjang ini.]-Rasa sesak yang tadi sempat mereda, kembali menyerbu dengan kekuatan berlipat. Kali ini lebih dalam. Lebih memalukan. Lebih menyakitkan.Bagaimana tidak? Hal yang paling menertawakan dirinya bukan lagi dunia, tapi orang yang masih dia coba lindungi.Rasanya seperti seseorang baru saja menampar wajahnya dengan besi panas.Bukan hanya karena pengkhianatan itu nyata, tapi karena dia masih sempat berharap. Masih sempat berpikir mungkin Nathan menyesal. Masih sempat mengira dia panta
Kalah.Ya. Nayla akhirnya mengakui kalau dirinya kalah. Dan kekalahan terbesarnya bukan karena dikhianati. Melainkan karena hatinya masih saja mencintai setelah dihancurkan. Perasaan dalam dirinya tidak ikut mati saat kepercayaannya dibakar habis.-Nathan:--[Nayla, aku tahu aku bukan orang yang pantas bicara tentang penyesalan. Tapi malam ini, aku benar-benar merasakannya. Bukan hanya sebagai suami yang gagal, tapi sebagai manusia yang kehilangan rumahnya.]--[Aku tidak akan membela diri. Mungkin semua kata-kataku akan terdengar kosong di telingamu sekarang. Tapi satu hal yang tak pernah berubah, bahkan saat aku hancurkan segalanya adalah kamu. Rasa itu tetap tinggal.]--[Kalau kamu sudah benar-benar marah, aku mengerti. Tapi izinkan aku minta satu hal saja, jangan hapus aku dari hidupmu secepat itu.]-Nayla membaca pesan panjang itu tanpa kedipan. Deretan kata itu tampak berbeda.Pesan Nathan tidak lagi dibungkus amarah, tidak pula dengan kalimat manis palsu yang menggoda untuk dipe