Memiliki seorang suami dengan gaji tujuh juta per bulan tidak membuat Nika hidup berkucukupan sebagai seorang istri. Ia harus memutar otak untuk mencukupkan uang satu juta rupiah pemberian dari sang suami. Hingga suatu ketika, batas kesabaran Nika benar-benar telah habis. Hingga membuatnya mau tak mau memberikan pelajaran bagi sang suami. Mungkinkah tabiat suami yang begitu pelit akan berubah, atau malah sebaliknya? Ikuti terus kisahnya!
View MoreSilakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!
Part 1"Mas, stok beras habis. Aku mau beli sepuluh kilo tapi uangnya hanya sisa lima puluh ribu. Mas ada uang?" Mas Rudi yang sedang menatap fokus ke arah layar ponselnya seketika langsung melirik tak suka padaku.Aku memainkan ke sepuluh jemariku begitu Mas Rudi langsung bangkit dari sofa tempatnya berbaring dan lalu tiba-tiba ....Prank!Benda pipih yang baru ia beli satu bulan yang lalu dengan harga empat juta rupiah ia banting di lantai keramik hingga terpental di lantai beberapa kali lalu berhenti tepat di depan kakiku.Mas Rudi bangkit dari sofa lalu berdiri memasang wajah tak suka tepat di depanku. Lelaki yang telah membersamaiku selama satu tahun itu mengacak rambutnya dengan kasar.Namaku Nika Rahma Wati. Anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan Gunawan dan Sumiasih. Selama ini aku dibesarkan di kampung. Hidup sederhana dengan keluarga tapi sangatlah merasa bahagia.Rudi Dermawan Wiratomo, itu lah nama suamiku. Usianya tiga puluh tahun, lebih tua lima tahun dibandingkan denganku. Dan inilah hasil dari satu tahun pernikahan kami, janin yang sedang tumbuh di rahimku dan berusia lima bulan.Sebelum menikah dan sampai detik ini, Mas Rudi bekerja sebagai operator pabrik bonafit yang ada di kota yang kutinggali sekarang.Sebenarnya rumah Mas Rudi hanya berbeda kabupaten denganku, tapi ia bekerja di kota yang memakan waktu lebih dari tiga jam dari tempat asal kami, hingga akhirnya aku memilih ikut dengan suamiku hidup di kota tempat ia mengais rupiah.Kami hidup berdua di rumah kontrakan yang sebelumnya ditempati oleh Mas Rudi sebelum menikah. Selama satu bulan kami tinggal berdua, hingga akhirnya kami menggabungkan uang hasil sumbangan tetangga saat acara pernikahan kami sebagai pembayaran uang muka untuk membeli sebuah perumahan yang berukuran minimalis.Kami sepakat, membeli dengan mengangsur.Sebagai karyawan operator di pabrik yang besar, setiap bulannya Mas Rudi selalu mengantongi gaji lebih dari tujuh juta rupiah!Akan tetapi, hal itu tak membuatku hidup enak dan berkecukupan. Sebab, Mas Rudi hanya memberikanku uang untuk biaya hidup satu juta rupiah setiap bulannya. Apalagi ditambah di saat usia pernikahan kami menginjak bulan ketiga, Mas Rudi mengajak Ibunya untuk tinggal di sini. Semakin membuatku keteteran tentunya dalam memutar uang satu juta untuk biaya makan kami selama satu bulan lamanya.Sebenarnya ia juga memberikan uang sebesar tiga juta lagi, akan tetapi uang itu khusus untuk membayar cicilan rumah, cicilan sepeda motor dan beli token listrik. Itu saja aku masih harus mengambil uang belanja untuk membayar uang sampah di komplek perumahan kami.Jadi, setiap bulan Mas Rudi memberikanku uang empat juta."Duit! Duit! Dan duit! Kenapa tidak ada kata lain selain duit yang keluar dari mulutmu itu, ha?!" bengis Mas Rudi berkata.Aku menghela napas dalam-dalam, menekan rasa takut yang saat ini telah mendera.Mas Rudi mendengkus kesal."Tak bisakah kau membuatku betah di rumah ini, ha?!" sungut Mas Rudi lagi."Tapi stok beras habis, Mas. Buat masak besok sudah nggak ada. Sedangkan sekarang sudah jam delapan malam, pasti warung sebentar lagi tutup," jelasku.Terdengar Mas Rudi menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara kasar."Nika, bukankah setiap bulan aku sudah memberimu uang empat juta buat biaya hidup kita?! Masih kurang kah uang sebanyak itu kuberikan cuma-cuma padamu?!" ucap Mas Rudi penuh dengan penekanan."Tapi uang segitu masih kurang, Mas. Kamu tau sendiri kan buat bayar angsuran rumah, motor dan listrik saja menghabiskan tiga juta rupiah," ucapku dengan nada masih berusaha setenang mungkin. Jangan sampai aku ikut tersulut oleh emosi seperti dirinya saat ini."Kau pikir mudah cari uang sebanyak itu, Nik? Kalau kau merasa kurang dengan uang segitu yang kuberikan, silahkan kerja! Jangan bisanya cuma minta! Minta! Dan minta! Kau mau peras keringatku hanya untuk menyenangkanmu?!" ketus Mas Rudi dengan napas tersengal.Jujur, mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut suamiku itu ciptakan rasa nyeri di dalam hati ini.Bagaimana bisa ia mengatakan jika aku hanyalah beban dan hanya bisa meminta? Bukankah mencukupi semua kebutuhanku adalah mutlak tanggung jawabnya sebagai seorang suamiku?"Di luar sana, banyak yang uang belanjanya jauh di bawahmu, Nik! Emang kamunya yang nggak bisa bersyukur! Kamu tuh boros! Nggak bisa atur uang! Hasil kerjaku, keringatku hanya kau buat senang-senang makanya uang itu tak akan cukup untuk buat biaya hidup selama satu bulan!"Seketika emosi yang sedari tadi kutahan langsung menjalar hingga ke puncak ubun-ubun."Hey, Mas! Kau pikir uang segitu cukup untuk memberikanmu makan, ibumu dan juga aku tiga kali sehari?! Asal kamu tau, Mas! Setiap bulan aku hanya mendapatkan sisa sejuta buat mengenyangkan perut tiga orang dewasa di rumah ini! Apalagi kamu tau sendiri, ibu selalu minta makanan yang enak-enak. Kamu pikir itu bisa cukup?!" sungutku yang telah dikuasai oleh emosi."Itu karena kamu nggak bisa atur uang, Nik! Kamu itu boros! Padahal belum ada anak, itu seharusnya menjadi kesempatan nabung buat lahiran nanti! Tapi apa?! Kamu habiskan uang itu untuk foya-foya! Jangan kamu pikir aku nggak tau, selama aku bekerja, kamu sering sekali beli makanan di luar, Nika! Sudah cukup ya aku bersabar dan menahan kedongkolan di dalam hati selama ini!" cerocos Mas Rudi.Sungguh, aku terperangah mendengarkan kalimat terakhir itu. Bagaimana bisa ia menuduhku seperti itu? Jangankan untuk membeli makan di luar dan foya-foya, bisa menyisihkan uang hanya untuk sekedar membeli celana dal*mku yang sudah molor karetnya saja aku tak sanggup.Aku yakin, pasti ada yang menciptakan fitnah murahan seperti itu.Ibu mertua?Tentu saja!Aku yakin, dia lah pelakunya. Sebab, semakin lama Ibu mertua semakin menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Ditambah hampir setiap hari ia selalu saja memancing keributan denganku. Hanya saja aku lebih memilih langsung berlalu pergi meninggalkannya yang mulai menciptakan drama."Siapa yang memberi aduan seperti itu, Mas? Ibumu? Iya? Seharusnya kamu bisa berpikir dong, apa mungkin aku bisa membeli makan di luar, hidup foya-foya dengan uang sejuta darimu itu?!" Gurat emosi semakin terlihat jelas pada wajah suamiku.Sepertinya ia tak terima dengan ucapanku yang langsung menuduh ibu mertuaku.Aku menghela napas dalam-dalam. Sepertinya sudah cukup aku hanya diam, sekarang jangan salahkan aku jika setiap perkataannya akan keluar jawaban dari mulutku. Persetan dengan sematan istri durhaka dari suamiku.Cukup!Cukup sudah kugunakan uang pribadiku untuk menutupi kebutuhan keluarga kecilku!"Jika kau merasa aku boros, hidup foya-foya dengan uang sejutamu itu, silakan atur sendiri uangmu, Mas!""Ibu senang sekali melihat hubungan kalian kembali bersatu. Nika, ibu ucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang kamu sudah kamu berikan untuk Rudi," ucap Darmi setelah terjadi perbincangan di antara mereka. Ya, Nika telah menceritakan semuanya pada mertua dan juga iparnya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti saat ini. "Rud, jangan pernah membuat kesalahan yang sama. Andai itu terjadi, maka Mbak sendiri yang akan mengantar Nika ke pengadilan agama untuk menggugat cerai kami." Ucapan Reni bernada ancaman. "Ish! Sebenarnya adik Mbak itu aku apa Nika sih? Kok dari dulu berpihak sama Nika dibanding Rudi. Lah itu malah mau bantu Nika gugat cerai aku." Rudi bersungut-sungut. "Mbak berpihak pada yang benar lah. Enak aja!" Ucapan Reni disambut lengkungan senyum oleh Nika. Perbincangan itu terasa begitu hangat, sudah selayaknya seperti sebuah keluarga yang bahagia. Hingga akhirnya Nika melayangkan satu pertanyaan pada sang Mertua. "Ibu, kita balik ke rumah Mas Rudi ya. Kita tinggal ba
Kali ini lengkungan senyum tak bisa sirna dari bibir lelaki itu. Entahlah, dia sangatlah bahagia dengan kesempatan kedua yang diberikan oleh sang istri. "Terima kasih, Nik. Mas janji, tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan. Terima kasih, terima kasih banyak ...." Rudi berucap dengan air mata yang terus bergulir. Air mata yang mengisyaratkan suatu kebahagiaan yang luar biasa. Nika mengangguk, ada yang menghentak di dalam batinnya saat melihat respon sang suami yang seperti ini. Ya, ini adalah kali pertama Nika melihat Rudi yang bersimbah air mata. Nika mengulas senyum, setelahnya Rudi meraih tangan kanan Nika lalu dibawanya mendekat ke bibir. Rudi mengecup beberapa kali punggung tangan itu. "Sudah, Mas. Jangan begitu, malu dilihat orang ...."Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. Setelahnya ia kembali tersenyum. "Kamu dan Kevin ikut Mas pulang, ya. Rumah terasa begitu tak nyaman dan hampa setelah kepergian kalian." Nika mengangguk."Tapi besok pagi saja ya, Mas. Ka
"Tak perlu risau, Nduk ..., pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu. Bahkan, Bapak yang akan menjemputmu jika kamu menginginkannya ...." Ada yang bergetar di dalam sudut hatinya saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Sang Ayah. Ada suatu harapan yang tersorot dari kedua manik hitam itu. Ya, bagaimana pun juga Nika sadar jika setiap orangtua menginginkan kelanggengan dalam rumah tangga yang dibina oleh sang anak. "Kamu mau mendengarkan alasan dari Bapak Nduk kenapa Bapak memintamu memberikan kesempatan untuk Suamimu?" Nika mengangguk dengan patah-patah. Satu patah kata pun tak keluar dari bibir itu. Entahlah, lidah Nika terasa begitu kelu. Hingga tak mampu untuk berucap sedikit pun. "Bapak tau, kamu tidak akan seperti ini jika suamimu tidak keterlaluan. Bapak lihat, dia begitu menyesali sikapnya selama ini, Nduk. Bapak yakin, suamimu pasti akan berubah ....""Tapi, Pak. Sebelumnya Nika sudah memberikannya pelajaran, Pak. Dengan tidak mau mengurus keperluannya. Nika piki
"Bapak, Ibu, Rudi pamit dulu. Rudi nitip Nika dan Kevin di sini, ya, Bu, Pak. Maaf, jika Rudi masih saja merepotkan Bapak dan Ibu ...." Rudi mengucapkan kalimat itu dengan rasa sesak yang luar biasa. Tertangkap dengan jelas sebuah keseriusan pada sorot mata yang terpancar pada kedua netra Rudi. Bahkan, kedua kelopak mata lelaki itu terlihat berkaca-kaca. "Tenang saja. Tanpa kamu bilang pun Bapak dan Ibu akan menjaga Nika dan juga Kevin dengan baik.""Rudi janji, Pak. Rudi akan membawa kembali Nika dan juga Kevin. Rudi minta restu sama Bapak dan Ibu ...." Suara Rudi kali ini terdengar bergetar, seiring rasa gemuruh di dalam dada yang begitu ia rasa. "Boleh Bapak bertanya sesuatu?" Rudi mengangguk. "Duduklah ..., sebentar saja," titah Gunawan yang direspon gerakan anggukan kepala oleh Sang Menantu. Rudi pun lantas menuruti perintah sang bapak mertua. Hingga akhirnya Rudi dam Gunawan duduk bersebelahan. "Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian? Sejauh ini, Nika belum mencerita
[Kepergian kalian bukan hanya menjadi cobaan untukku. Melainkan suatu hukuman yang sangat lah menyiksaku. Tolong ... berikan aku kesempatan untuk menjadi suami dan ayah yang baik untuk kalian. Aku berjanji, setelah ini, akan kulakukan kewajibanku dengan sebagai mana mestinya. Aku sadar, aku salah. Oleh sebab itu, berikan aku kesempatan satu kali lagi. Sungguh ... aku benar-benar menyesal. Nik, tolong terima uang pemberianku ini sebagai bentuk nafkah untuk kalian. Meskipun aku tau, tanpa aku, kalian bisa hidup jauh lebih bahagia dan bisa mencukupi semuanya ....Tertanda, Rudi ]Nika membaca dengan seksama setiap coretan tangan yang ditulis oleh suaminya. Ada yang bergetar di dalam hatinya. Akan tetapi, seketika otaknya kembali bekerja. "Sampai kapanpun, orang pelit tidak akan pernah berubah." Nika membatin, kembali meyakinkan dirinya sendiri. Setelah secarik surat itu ia baca, bergegas ia melipat kembali kertas tersebut. Setelahnya, ia memasukkan kembali ke dalam amplop itu bers
"Bapak? Bapak kok ada di sini?" Bergegas Rudi meraih tangan kanan lelaki yang wajahnya telah dipenuhi oleh keriput itu. Lalu, diciumnya punggung tangan sang mertua dengan takdzim."Iya, baru saja tiba. Mau jemput Nika ...."Deg!Seketika jantung Rudi seperti terpacu lebih kuat lagi. "Jemput Nika?" Rudi berucap hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. "Ma–maksud Bapak jemput mau dibawa kemana, Pak? Rudi ke sini mau jemput Nika dan Anak Rudi juga ...." Gunawan menghela napas berat. "Bicaralah dulu dengan Nika, kalau ada masalah, bicarakan dulu dengan baik-baik dan kepala dingin ...," titah sang bapak mertua yang dibalas anggukan oleh Rudi. Gunawan menggeser tubuhnya, memberikan ruang bagi Rudi untuk melangkah masuk ke dalam rumah. "Namanya rumah tangga pasti ada permasalahannya. Semoga anak kita menemukan solusi yang terbaik ....""Aamiin ...," sahut Darmi dan Reni secara serempak. Kali ini Darmi bernapas lega, sebab memiliki besan yang memiliki pemikiran yang bijak. Reni dan D
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments